
Menanti "Kejadian Luar Biasa" Dari Amerika Serikat

Berbagai sentimen akan mewarnai pergerakan IHSG hari ini baik dari dalam maupun luar negeri. Fokus investor tertuju kepada rilis data ekonomi inflasi Amerika Serikat dan menantikan laporan neraca perdagangan Indonesia.
Angin segar bagi IHSG setelah tiga indeks utama Wall Street mencatatkan penguatan. Wall Street adalah indeks acuan bursa global sehingga dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap pasar saham.
Sementara itu investor menantikan laporan inflasi konsumen AS akan dirilis Selasa malam. Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi AS diprediksi melambat menjadi 6,2% secara tahunan (yoy) pada bulan lalu. Angka ini turun dari 6,5% pada Desember 2022.
Meski demikian, secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi AS diprediksi naik 0,5% pada bulan lalu atau lebih cepat dari catatan Desember 2022 di angka 0,1%.
Kenaikan bulanan tersebut terjadi salah satunya didorong oleh permintaan dan konsumsi yang lebih kuat akibat libur natal dan tahun baru.
Rilis data inflasi akan menentukan ekspektasi suku bunga The Fed di tahun ini. Jika kembali menurun, maka pasar akan kembali melihat suku bunga The Fed tidak akan lebih dari 5%.
Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell pada pekan lalu menyatakan jika suku bunga bisa naik lebih tinggi dari prediksi sebelumnya jika pasar tenaga kerja masih terus kuat atau inflasi yang kembali meninggi.
Jepang akan merilis pertumbuhan ekonomi berdasarkan PDB (product domestic bruto). Menurut konsensus Trading economics, ekonomi Negeri Matahari itu tumbuh 2% pada kuartal keempat 2022 dibandingkan tahun lalu (year-on-year/yoy) dan 0,5% secara triwulanan (quarter-on-quarter/qoq).
Dari dalam negeri rilis data neraca perdagangan pada Rabu (15/2/2023) juga dinantikan oleh investor dan dapat mempengaruhi pergerakan indeks.
Polling CNBC Indonesia yang melibatkan 12 lembaga/institusi memperkirakan surplus neraca perdagangan akan menembus US$ 3,47 miliar pada Januari 2023. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pada Desember 2022 yang tercatat US$ 3,89 miliar.
Jika proyeksi menjadi kenyataan maka surplus akan menjadi yang terendah sejak Mei 2022.
Sejumlah lembaga menjelaskan menyempitnya surplus karena anjloknya harga komoditas andalan Indonesia.
Merujuk data Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada Januari 2023 tercatat US$ 317,23 per ton, lebih rendah dibandingkan pada Desember 2022 yang tercatat US$ 379,2 per ton.
Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan kebijakan moneter Kamis nanti.
Gubernur BI, Perry Warjiyo sebelumnya sudah memberikan kode suku bunga tidak akan dinaikkan lagi jika tidak ada kejadian yang luar biasa. Dengan kondisi saat ini, pasar akan melihat apakah BI masih tetap dengan pendirian yang sama, atau memberikan sinyal suku bunga bisa naik lagi. Apalagi misalnya inflasi Amerika Serikat kembali menanjak, apakah akan dianggap "kejadian besar" oleh BI, sehingga harus kembali menaikkan suku bunganya.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti revisi aturan devisa hasil ekspor (DHE). Wacana revisi tersebut menjadi salah satu faktor yang mendongkrak kinerja rupiah sebelumnya.
Pemerintah berjanji untuk menerbitkannya pada Februari, tetapi hingga kini belum ada tanda-tanda aturan itu telah selesai dibahas.
(pap/pap)