Newsletter

Wah! "Gelapnya" Dunia Ternyata Belum Hilang, Bisa Lebih Parah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 February 2023 06:00
Jerome Powell
Foto: Reuters
  • Tak ada kejutan dari rilis produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2022 yang tumbuh 5,3%. Meski tertinggi sejak 2013, tetapi dampaknya ke pasar finansial minim.
  • Pelaku pasar lebih berfokus pada kondisi perekonomian 2023, yang ternyata masih "gelap", bahkan bisa lebih parah.
  • Ada peluang The Fed menaikkan suku bunga menjadi 5,25% - 5,5%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya, yang berisiko membuat pasar finansial Indonesia kembali merosot.

Jakarta, CNBC Indonesia - Realisasi pertumbuhan ekonomi 2022 gagal mendongkrak pasar finansial Indonesia awal pekan kemarin. Tekanan eksternal masih begitu kuat, dan berisiko berlanjut pada perdagangan Selasa (7/2/2023).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial hari ini dibahas pada halaman 3 Newsletter ini.

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 0,55% ke 6.873,79. Bursa kebanggaan Tanah Air ini bahkan sempat merosot hingga 1%.

Nilai tukar rupiah juga jeblok lebih dari 1% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.050/US$. Dari pasar obligasi, nyaris semua tenor Surat Berharga Negara (SBN) mengalami pelemahan, terlihat dari yield yang naik.

SBN tenor 10 tahun yield-nya mengalami kenaikan 9,5 basis poin ke 6,663%.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 5.01% year-on-year (yoy) pada kuartal IV-2023. Realisasi tersebut tidak jauh berbeda dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia. Dari 12 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03% (yoy).

Sepanjang 2022, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,31%. Adapun, pertumbuhan kali ini didorong oleh kinerja ekspor yang luar biasa sepanjang 2022.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengungkapkan bahwa pertumbuhan 5,31% merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 2013.

"5,31% ini tertinggi sejak tahun 2013, dibandingkan secara nominal tahun 2022, ini lebih tinggi dari 2019," papar Margo dalam konferensi pers, Senin (6/2/2023).

Tanpa kejutan dari data pertumbuhan ekonomi, pasar finansial pun tidak mendapat tenaga tambahan untuk menguat. Apalagi, efek rilis PDB tidak akan berkepanjangan, sebab pelaku pasar kini berfokus pada pertumbuhan ekonomi tahun ini. 2022 sudah lewat dan jadi masa lalu.

Masalahnya, optimisme di benak pelaku pasar akan pertumbuhan ekonomi global yang lebih baik dari prediksi "gelap" sebelumnya mulai terkikis. Sebabnya, pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang masih kuat, inflasi kemungkinan sulit turun dan The Fed (bank sentral AS) bisa agresif lagi dalam menaikkan suku bunga.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Merosot lagi

Pergerakan Bursa saham AS (Wall Street) sejak Jumat lalu mencerminkan kecemasan akan kemungkinan The Fed bertindak agresif lagi.

Pada perdagangan Senin waktu setempat Wall Street kembali merosot di awal perdagangan Senin waktu setempat, sebelum berhasil dipangkas.

Saat penutupan, indeks Nasdaq turun 1%, S&P 500 0,6% dan Dow Jones minus 0,1%. 

Hal yang sama juga terjadi pada Jumat pekan lalu pasca rilis data tenaga kerja AS.

Secara mengejutkan perekonomian Paman Sam mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 517 ribu orang sepanjang Januari, berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi di atas survei Reuters sebanyak 185 ribu orang,

Kemudian, tingkat pengangguran yang diprediksi naik menjadi 3,6% malah turun menjadi 3,4%. Rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.

Dalam kondisi normal pasar tenaga kerja yang kuat, tingkat pengangguran yang turun, serta rata-rata upah per jam yang naik cukup tinggi adalah kabar baik. Tetapi dalam kondisi saat ini itu menjadi berita buruk.

Pasar tenaga kerja yang kuat, begitu juga dengan rata-rata upah berisiko membuat inflasi semakin sulit turun ke target The Fed sebesar 2%. Artinya ada risiko The Fed kembali akan agresif menaikkan suku bunga, dan suku bunga tinggi ditahan lebih lama lagi.

Untuk diketahui, pasar saat ini melihat puncak suku bunga The Fed di kisaran 4,75% - 5%, artinya akan naik 25 basis poin lagi dari level saat ini. Selain itu, The Fed juga diperkirakan akan memangkas suku bunganya di akhir tahun nanti.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Hanya dalam waktu beberapa hari saja, pelaku pasar kembali merubah ekspektasinya terkait suku bunga The Fed. Seperti disebutkan di halaman 1, pasar melihat puncak suku bunga The Fed berada di kisaran 4,75% - 5%.

Tetapi, ekspektasi tersebut kini kembali ke posisi awal, yakni 5% - 5,25%.

Hal itu terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group. The Fed kini diperkirakan akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Maret dan Mei.

Probabilitas kenaikan 25 basis poin pada Mei saat ini sebesar 69%, melesat dari pekan lalu yang hanya 40%.

fedFoto: FedWatch, CME Group

Selain itu, probabilitas pemangkasan suku bunga pada akhir tahun nanti juga semakin mengecil.

Artinya, kebijakan moneter kini diperkirakan kembali ke proyeksi yang diberikan The Fed Desember lalu, puncaknya di 5% - 5,25% dan tidak akan dipangkas hingga 2024.

Yang mengkhawatirkan tentunya jika The Fed menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi akibat inflasi yang bandel.

Saat ini pelaku pasar melihat ada peluang sebesar 26% The Fed menaikkan suku bunga menjadi 5,25% - 5,5% pada Juni.

Semakin tinggi suku bunga, maka "gelapnya" ekonomi dunia pada 2023 akan semakin nyata. Bahkan bisa saja lebih parah dari perkiraan sebelumnya seandainya langkah The Fed memicu capital outflow yang besar dari negara emerging market dan dolar AS menjadi sangat kuat lagi. Negara lain kemungkinan akan ikut kembali menaikkan suku bunga guna menjaga stabilitas nilai tukar dan mencegah capital outflow.

Pasar finansial dalam negeri harus kembali waspada, ada risiko IHSG, rupiah hingga SBN kembali rontok.

Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) akan mengumumkan suku bunga hari ini, dengan prediksi kenaikan 25 basis poin menjadi 3,35%. Pasar juga akan melihat bagaimana proyeksi inflasi dari RBA, begitu juga dengan kondisi ekonomi.

Proyeksi dari RBA bisa memberikan gambaran apakah inflasi benar mulai menurun, atau penurunannya hanya sementara saja.

Sementara itu dari dalam negeri hari ini akan dirilis data cadangan devisa. Seperti diketahui pemerintah sedang gencar berupaya menarik devisa hasil ekspor (DHE) yang banyak parkir di luar negeri. Jika sukses, maka cadangan devisa akan meningkat, dan berdampak positif ke rupiah.

Stabilitas rupiah akan menjadi sangat penting untuk mengarungi 2023. Bagi investor asing stabilitas rupiah akan memberikan kenyamanan berinvestasi, sebab meminimalisir kerugian kurs. Hal ini bisa memberikan dampak positif ke IHSG dan SBN.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Neraca perdagangan Australia (7:30 WIB)
  • Pengumuman suku bunga bank sentral Australia (10:30 WIB)
  • Rilis cadangan devisa Indonesia (11:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY)

5,01%

Inflasi (Januari 2023 YoY)

5,28%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2023)

5,75%

Defisit Anggaran (APBN Desember 2022)

-2,38% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY)

US$ 1,3 miliar

Cadangan Devisa (Desember 2022)

US$ 137,2 miliar

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular