
Kartu Kuning Soal Korupsi! RI Harus Serius Berbenah

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini kita di hebohkan dengan rilis data terbaru yang memuat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International. Alih-alih mendapatkan kabar menyenangkan, data tersebut malah menunjukkan buruknya persepsi korupsi di Tanah Air.
Bukan menunjukkan perbaikan, IPK Indonesia justru turun 4 poin dari sebelumnya, di mana tahun sebelumnya juga masih mencatatkan poin yang jauh dari harapan. Dari skala 1-100 IPK Indonesia masih berada di 34 pada tahun 2022 atau berada di urutan ke-110 dari 180 negara. IPK Indonesia tahun 2022 dinilai mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi.
Jika melihat data di atas, sebenarnya sejak tahun 2002 hingga 2019 trennya sudah meningkat. Namun sejak 2020 indeks turun menjadi 37 poin. Sejak ini indeks bergerak fluktuatif hingga kini berada di 34 poin dan mencatat level terendah sejak 2015.
Sementara itu, salam satu dekade terakhir IPK tertinggi berhasil di raih Indonesia di angka 40 poin yakni pada tahun 2019.
Jika kita bandingkan dengan negara-negara G20, ironisnya Indonesia masih termasuk negara terkorup urutan ke-3 di antara negara G20 lainnya.
Adapun rata-rata IPK dunia pada 2022 tercatat sebesar 43. Nilai ini tidak berubah selama 11 tahun berturut-turut. Yang patut menjadi perhatian, Transparency International mengatakan bahwa dua per tiga negara masih memiliki skor di bawah 50, yang mengindikasikan negara-negara tersebut memiliki masalah korupsi serius. Ironisnya, Indonesia masuk dalam daftar tersebut.
Bukan sesuatu yang membanggakan karena IPK jadi rujukan penilaian tingkat korupsi di sebuah negara. Dengan indikator ini artinya praktik korupsi di negara kita masih begitu besar. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana IPK bisa terus ditingkatkan.
Perlu diketahui, setidaknya ada 3 indeks yang menyebabkan penilaian persepsi korupsi di Tanah Air memburuk yakni Political Risk Services (PRS) International Country Risk Guide tentang korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan sektor impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis, IMD World Competitibeness Yerabook tentang suap dan korupsi dalam sistem politik, serta Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide.
Nilai PRS International Countr Risk Guide Indonesia turun menjadi 35 dari 48 pada tahun 2021, IMD Word Yearbook turun ke 39 dari 44, serta Political and Economic Risk Consultancy (PEC) Asia Risk Guide turun dari 32 menjadi 29.
Namun, di sisi lain, Indonesia mulai sedikit membaik dalam indeks Wordl Justice Project-Rule of Law Index tentang penggunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian dan militer angkanya naik 1 poin dari 23 ke 24 poin.
Korupsi Telah Menjadi Budaya Di Tanah Air! Bagaimana Menghapusnya?
Ya, sudah menjadi konsumsi publik bahwa praktik korupsi ini masih marak di kalangan politisi, pejabat publik. Perang kepentingan masih menyelimuti Tanah Air. Singkatnya jenis korupsi apapun sudah lazim terjadi.
Ini bukan hanya angka yang mesti dihebohkan sesaat! Ini mesti menjadi renungan bagi pemerintah utamanya bagaimana memperkuat agenda pemberantasa korupsi lewat sejumlah Rancangan undang-undang (RUU) yang hingga kini masih ada di meja DPR. Tak lupa kita kawal RUU Perampasan Aset serta RUU Pemberantasan Transaksi Uang Kuartal (PTUK).
Dalam beleid ini nantinya dapat membatasi transaksi tunai hingga Rp 100 juta. Sementara berdasarkan sejumlah kasus korupsim suap diberikan dalam bentuk uang tunai, baik dalam bentuk rupiah atau[un mata uang asing lain tak terlacak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keungana (PPATK) yang kemudian disimpan di tempat tertentu.
Namun memang kalau kita pikirkan lagi, selama ini negara kita sudah punya regulasi kok dalam pencegakan korupsi. Tapu kenapa masih lazim terjadi? Jawabannya memang karena keserakahan, karena kebutuhan dan karena ada kesempatan. Kesempatan dapat karena ada kekuasaan. Tidak pernah ada korupsi terjadi tanpa ada kekuasaan.
Kalau kita lihat data dari KPK, mirisnya ada banyak sekali pejabat yang berkuasa yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) sepanjang 2022.
Dari data ini, bahkan pejabatnya saja tega berbuat curang pada rakyatnya. Lantas bagaimana dengan yang lain yang tak menjadi sorotan publik? Akankah bisa diselidiki? Ini patut menjadi renungan dan perhatian.
Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai sedemikian rupa agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya.
Pemerintah serta KPK perlu betul-betul fokus berbenah serta melakukan 'bersih-bersih' terlebih sudah menjadi rahasia umum bahwa jenis suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antar politisi, pejabat dan pelaku usaha masih marak terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya punya risiko dalam bentuk untung maupun rugi tapi juga risiko politik.
Pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan satu komitmen. Komitmen ini harus diterjemahkan ke dalam strategi pengurangan korupsi yang komprehensif. Upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan secara preventif, terdeteksi dan jera.
Penting diketahui, selain merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, korupsi juga merusak sistem perekonomian. Akibatnya, apa yang tersisa untuk membuat negara kita kaya masih belum kita bisa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)