Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan pertama pekan ini akan berat, baik itu bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah hingga Surat Berharga Negara (SBN) tekanan besar datang dari eksternal, sementara dari dalam negeri hari ini ada rilis pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2022 sekaligus setahun penuh.
Faktor-faktor yang berisiko membuat ketiganya rontok pada perdagangan Senin (6/2/2023) dibahas pada halaman 3 Newsletter ini.
Melihat pergerakan pasar pada pekan lalu IHSG tercatat naik 0,18% ke 6.911,73, rupiah menguat 0,6% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.890/US$. Mata Uang Garuda bahkan berada di dekat level terkuat dalam nyaris 5 bulan terakhir.
Pasar obligasi juga kembali menarik bagi investor asing. Imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) turun 15,9 poin ke 6,568% yang menjadi level terendah sejak Maret 2022 lalu.
Untuk diketahui, harga obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.
Saat harga naik, artinya permintaan sedang tinggi.
Bukti investor asing kembali tertarik dengan SBN terlihat dari capital inflow di pasar sekunder yang nyaris mencapai Rp 49,7 triliun sepanjang Januari lalu.
Besarnya inflow ke pasar obligasi sudah dimulai sejak November lalu, sejak pelaku pasar melihat bank sentral AS (The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, dan ternyata benar kejadian.
The Fed Kamis pekan lalu menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 4,5% - 4.75%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 50 basis poin.
Pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell, dalam konferensi pers pun disambut baik pelaku pasar
"Kami saat ini bisa mengatakan saya pikir untuk pertama kalinya proses disinflasi sudah dimulai," kata Powell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (2/2/2023).
Artinya, inflasi di Amerika Serikat sudah mencapai puncaknya, dan sedang memulai periode penurunan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kejutan Pasar Tenaga Kerja AS Bikin Wall Street Rontok
Bursa saham AS (Wall Street) menguat pasca pengumuman kebijakan moneter The Fed, tetapi semua berbalik pada perdagangan Jumat (3/2/2023).
Indeks Dow Jones tercatat melemah 0,38%, kemudian S&P 500 lebih dari 1%, dan Nasdaq paling parah 1,6%.
Jebloknya Wall Street terjadi setelah rilis data tenaga kerja.
Secara mengejutkan perekonomian Paman Sam mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 517 ribu orang sepanjang Januari, berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi di atas survei Reuters sebanyak 185 ribu orang.
Kemudian, tingkat pengangguran yang diprediksi naik menjadi 3,6% malah turun menjadi 3,4%. Rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Pasar tenaga kerja yang kuat, begitu juga dengan rata-rata upah berisiko membuat inflasi semakin sulit turun ke target bank sentral AS (The Fed) sebesar 2%. Artinya ada risiko The Fed kembali akan agresif menaikkan suku bunga, dan suku bunga tinggi ditahan lebih lama lagi.
Analis dari JPMorgan, Mike Bell, sudah memberikan prediksi tersebut. Jika The Fed bertindak di luar eksepektasi pasar, maka Wall Street dan obligasi AS (Treasury) akan rontok.
Untuk diketahui, pasar saat ini memprediksi puncak suku bunga The Fed berada di kisaran 4,75% - 5%, artinya akan ada kenaikan satu kali lagi sebesar 25 basis poin pada bulan Maret. Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga 4,75% - 5% akan dipertahkan sebelum dipangkas pada akhir 2023.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Kabar baik adalah berita buruk, seperti itulah kondisi di Amerika Serikat. Dalam kondisi normal pasar tenaga kerja yang kuat, tingkat pengangguran yang turun, serta rata-rata upah per jam yang naik cukup tinggi adalah kabar baik. Tetapi dalam kondisi saat ini itu menjadi berita buruk.
Seperti disebutkan sebelumnya, inflasi akan sulit turun mencapai target. Jika The Fed bertindak lebih agresif lagi, pasar finansial global akan guncang.
Aliran modal bisa kembali keluar dari negara emerging market seperti Indonesia, dolar AS menjadi perkasa lagi dan nilai tukar mata uang lainnya berisiko kembali terpuruk.
Guna menstabilkan nilai tukar, bank sentral negara lain tentunya akan ikut mengerek suku bunga, alhasil perekonomian akan kembali merosot.
Tidak menutup kemungkinan, Bank Indonesia (BI) yang sudah memberikan kode tidak akan menaikkan suku bunga lagi juga kembali bertindak. Perekonomian Indonesia pun terancam mengalami pelambatan lebih dalam.
Isu tersebut akan menjadi penggerak utama pasar finansial Indonesia hari ini, sehingga ada risiko mengalami tekanan.
Selain itu dari dalam negeri akan dirilis data produk domestik bruto (PDB). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03% year-on-year (yoy). Hasil polling Reuters bahkan lebih rendah lagi, yakni 4,84%
Jika terealisasi, maka produk domestik bruto tersebut akan melambat dari pada kuartal III-2022 sebesar 5,72% ( yoy).
Data pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya akan berdampak pada pergerakan pasar finansial Indonesia. Jika realisasinya di bawah 5% atau bahkan di bawah polling Reuters, maka akan memberikan dampak negatif, sementara jika jauh di atas konsensus bisa memberikan dampak yang bagus.
Meski demikian, efeknya tidak akan berkepanjangan, alias hanya di awal pekan saja. Sebab pelaku pasar kini berfokus pada pertumbuhan ekonomi tahun ini. 2022 sudah lewat dan jadi masa lalu.
Kemudian pagi ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menggelar Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2023. Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan akan memberikan arahan dan menyampaikan sejumlah perkembangan ekonomi di depan ratusan pelaku industri keuangan.
Menarik ditunggu bagaimana arahan Presiden Jokowi terhadap industri perbankan di tengah tingkat suku bunga yang sudah tinggi. Perlu ditunggu juga apakah presiden akan memberi arahan khusus terkait banyaknya kasus penipuan di industri keuangan.
Pada pertemuan tersebut, OJK juga akan memaparkan target kerja tahun depan. Termasuk di dalamnya adalah target pertumbuhan kredit perbankan serta kinerja pasar modal tahun ini
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Penjualan ritel Australia (7:30 WIB)
- Presiden Joko Widodo dan Ketua OJK akan berbicara dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2023. (09:00 WIB)
- Pertumbuhan ekonomi Indonesia (11:00 WIB)
- Pesanan pabrik Jerman (14:00 WIB)
- Penjualan ritel Zona Euro (17:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY) | 5,72% |
Inflasi (Januari 2023 YoY) | 5,28% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2023) | 5,75% |
Defisit Anggaran (APBN Desember 2022) | -2,38% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY) | US$ 1,3 miliar |
Cadangan Devisa (Desember 2022) | US$ 137,2 miliar |
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]