CNBC Indonesia Research
Jalan Terjal Food Estate Dicap Gagal, Data Valid Kuncinya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Food Estate merupakan salah satu program pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan. Sejak awal kalimat ini muncul memang menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Kini, Food Estate lagi-lagi diperbincangkan karena dinilai gagal dan menyajikan data tak valid.
Bagaimana tak heboh, yang mengungkapkan data proyek ini tidak valid adalah DPR Komisi IV. Dalam catatan CNBC Indonesia, proyek food estate ini adalah proyek 'palsu'. Dalam artian disini Ketua Komisi IV DPR menyebutkan tersebut bukan proyeknya yang palsu namun data dan laporan perihal produksinya belum pas.
"Saya juga tergelitik baca di media. Food estate palsu, nggak ada yang palsu food estate. Kalau palsu itu berarti tidak ada food estatenya. Tapi ini ada food estatenya. Yang kurang pas adalah laporan perihal produksinya," Ungkap Ketua Komisi IV DPR Sudin saat membuka Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Eselon I Kementan dalam catatan CNBC Indonesia.
Hal ini membuat para menteri bersuara. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menegaskan, proyek food estate sudah membuahkan hasil. Dia pun menampik pernyataan DPR yang menyebut proyek ini gagal alias berisi data palsu.
Selain itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membantah keras tudingan atas gagalnya proyek lumbung pangan atau food estate yang tengah digencarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Lantas, hal ini tentunya membuat masyarakat bingung. Bagaimana kebenarannya? Terlebih sejak awal proyek ini banyak menuai kontra.
Program Food Estate Pernah Tuai Pro-Kontra
Konsep food estate secara garis besar merupakan merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk melakukan pengembangan pangan secara terintegrasi baik dalam lingkup pertanian, perkebunan, peternakan pada suatu kawasan tertentu.
Namun yang sedang aktif digaungkan pemerintah bertumpu pada persoalan pangan. Food estate ada sebagai upaya menjadikan lumbung pangan nasional agar pasokan makanan dalam negeri tidak mengalami kekurangan.
Berdasarkan informasi KPPIP, food estate juga akan dibangun di Kalimantan Barat (120 ribu ha), Kalimantan Tengah (180 ribu ha), Kalimantan Timur (10 ribu ha) dan Maluku (190 ribu ha) dan Papua (1,2 juta ha).
Khusus di Kalteng, sempat ada program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, lalu sempat direvitalisasi oleh pemerintah lagi.
Kendati memiliki tujuan demi kepentingan rakyat namun proyek food estate menuai pro dan kontra di Tanah Air. Pasalnya, Food estate sebagai salah satu program unggulan pemerintah yang diklaim untuk mewujudkan kemandirian pangan Indonesia dinilai akan menimbulkan masalah lingkungan, hak asasi manusia, dan keberlanjutan.
Program yang membutuhkan biaya cukup besar serta fokus pelaksanaannya berada di lahan-lahan yang berstatus sebagai kawasan hutan baik itu hutan lindung, hutan produksi dimana sebagiannya berada di kawasan areal penggunaan lain (APL) dan di atas lahan gambut menuai kritik dari berbagai pihak.
Bukan tanpa alasan, penolakan bersumber dari rekam jejak program pada rezim sebelumnya yang sempat mencatatkan kegagalan.
Sementara itu, tentunya isu lingkungan menjadi perhatian utama bagi yang kontra terhadap food estate. Banyak penelitian bahkan kajian yang membuktikan bahwa program lumbung pangan nasional ini menimbulkan berbagai ancaman bagi kelestarian lingkungan.
Salah satu contoh investigasi yang dilakukan Tempo di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bersama dengan the Gecko Project yang didukung oleh Greenpeace, Rainforest Investigations Network of Pulitzer Center dan Internews' Earth Journalism Network yang menunjukkan bahwa dalam pembangunan food estate banyak ditemukan pelanggaran aturan pemerintah yang dilakukan oleh perusahaan swasta.
Aktivitas dibukanya lahan hutan yang meningkatkan deforestasi dan pemanasan global telah menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah.
Selain di Kalimantan Tengah, berdasarkan laporan Walhi 2021, konflik agraria juga terjadi di sejumlah wilayah ketetapan food estate.
Di Papua misalnya, penolakan masyarakat adat terhadap food estate bukan tanpa alasan, melainkan karena melihat pengalaman akibat program lumbung pangan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membuat masyarakat adat Malind Anim dan masyarakat adat lainnya kehilangan hak ulayat dimana tanahnya dikonversi menjadi lahan MIFEE.
Di sisi lain sebagai langka antisipatif pemerintah dalam menindaklanjuti peringatan FAO terhadap krisis pangan akibat wabah Covid-19 bukan merupakan alasan yang tepat. Lantas bagaimana perkembangan food estate saat ini? Sudahkan mengambil peran dalam hal ketahanan pangan? Untuk ini, hanya Kementerian Pertanian yang bisa menjawabnya dengan data yang valid.
Baca Halaman Selanjutnya >>> Bukan Gagal, Tapi Data dan Keterbukaan Harus Dilakukan