Hari Ini, Bukti China Alami Masa "Tergelap" Sejak 1976!
Jakarta, CNBC Indonesia - Awal pekan ini, pasar keuangan Tanah Air kembali mencatatkan kinerja yang menggembirakan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup bergairah, rupiah mampu melanjutkan momentum penguatan, serta imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat.
Indeks acuan Tanah Air berakhir di zona hijau, naik 0,7% di posisi 6.688,06. Penguatan IHSG yang cukup kencang justru terjadi di sesi II. Meski cenderung sepi dengan transaksi sebesar Rp 10 triliun, tetapi mayoritas saham menghijau.
Statistik perdagangan menunjukkan ada 279 saham yang mengalami penguatan, 250 saham melemah dan 168 saham stagnan.
Nilai transaksi IHSG kemarin mencapai Rp 10 triliun dan melibatkan 19,7 miliar saham dan berpindah tangan 1,07 juta kali. Sementara, investor asing juga tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) jumbo senilai Rp 280,23 miliar di pasar reguler.
Sementara, sektor basic materials memimpin penguatan IHSG kemarin yakni sebesar 1,01%, selanjutnya disusul sektor finansial dengan penguatan 0,92%, dan consumer cyclicals naik 0,92%.
Selanjutnya, Mata uang garuda Rupiah menunjukkan kinerja impresif dalam beberapa hari terakhir, bahkan menembus ke bawah Rp 15.000/US$ pada perdagangan Senin (16/1/2023).
Pada Senin pekan lalu, rupiah sebenarnya masih berada di dekat Rp 15/600/US$. Tetapi pagi tadi sudah menyentuh Rp 14.975/US$, level terkuat sejak 20 September 2022.
Penguatan tajam dimulai pada Rabu (11/1/2023), rupiah saat itu mampu mencatat penguatan 0,58%. Setelahnya Apresiasi semakin terakselerasi hingga pada hari ini sempat menguat lebih dari 1%.
Momentum penguatan rupiah terjadi setelah pemerintah mengumumkan akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Dalam revisi ini, beberapa sektor baru masuk ke dalam daftar yang harus menempatkan DHE kepada regulator. Tidak hanya itu, DHE nantinya akan ditahan lebih lama di dalam negeri.
Penguatan rupiah semakin terakselerasi setelah jebloknya indeks dolar AS pasca rilis data inflasi berdasarkan cosumer price index (CPI) di AS pada Desember 2022 yang tumbuh 6,5% year-on-year (yoy), jauh lebih rendah dari sebelumnya 7,1%. CPI tersebut juga menjadi yang terendah sejak Oktober 2021.
Terakhir, investor mulai melepas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) pada perdagangan Senin (16/1/2023), ditandai dengan mulai naiknya imbal hasil (yield) di seluruh SBN acuan.
Untuk diketahui, pergerakan harga obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika harga naik, maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya. Saat harga turun, artinya ada aksi jual.
Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 5 tahun menjadi yang paling besar kenaikan yield-nya pada hari ini, yakni sebesar 6 basis poin (bp) ke posisi 6,473%. Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara juga naik 4,1 bp menjadi 6,738%.
(aum/aum)