Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali pekan perdana tahun 2023, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 2,42% dalam sepekan dan tercatat sebagai salah satu indeks acuan dengan kinerja terburuk pekan lalu. Kinerja bursa domestik hanya lebih baik dari bursa saham Chile dan Turkey yang masing-masing ambles 2,62% dan 6,46% pekan lalu.
Dalam 5 hari perdagangan, IHSG sebenarnya mampu menguat tiga kali. Tetapi kemerosotan tajam pada perdagangan Rabu dan Kamis membuat IHSG menjadi bursa dengan kinerja terburuk di dunia dibandingkan dengan bursa utama lainnya.
Pada perdagangan Jumat (6/1), IHSG berakhir di 6.684,558, dengan penguatan 0,46% secara harian. Kinerja positif di perdagangan hari terakhir tersebut, akhirnya mampu memangkas koreksi yang lebih dalam, di mana pekan ini IHSG bahkan sempat menembus ke bawah level 6.600, terendah sejak 4 Juli 2022.
Sejak menyentuh harga penutupan tertinggi pada 13 September lalu, IHSG tercatat telah terkoreksi 8,66%.
Pelemahan pekan lalu, terjadi bersamaan dengan kaburnya dana asing dari bursa domestik. Data pasar menunjukkan investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih senilai Rp 1,7 triliun di seluruh pasar sepanjang pekan ini.
Pergerakan negatif ini terjadi berlawanan dengan bursa utama global lainnya, yang mayoritas mengawali tahun di zona hijau. Beberapa bursa bahkan mencatat penguatan tajam. Indeks Hang Seng Hong Kong melesat lebih dari 6%.
Bursa saham Eropa, yang diramal akan mengalami resesi tahun ini justru mencatat penguatan yang tajam. Sebaliknya, Indonesia yang perekonomiannya diprediksi masih akan tumbuh cukup tinggi, kinerja bursanya justru jeblok di awal tahun.
Secara sektoral, hanya basic material dan konsumer primer - yang merupakan saham defensif - yang mampu menguat. Sementara itu, sembilan sektor lainnya berakhir merah, dengan pelemahan paling besar dicatatkan oleh sektor energi yang dalam sepekan ambles 7,01%.
Saham-saham sektor energi saat ini bobotnya di IHSG semakin jumbo setelah rekor kenaikan harga komoditas memompa kinerja saham konstituennya di bursa sepanjang tahun lalu. Sektor tersebut tampaknya menjadi pendorong utama arah pergerakan bursa sepanjang pekan lalu, dengan jebloknya harga komoditas energi akibat isu resesi menjadi salah satu penyebab merosotnya kinerja IHSG.
Pada perdagangan Kamis, sektor energi tercatat merosot hingga 4,8% yang, dengan IHSG jeblok 2,7%. Sementara Jumat kemarin, IHSG sukses menguat 0,46% saat sektor energi mencatat kenaikan 2,15%.
Kondisi suram tersebut juga terjadi di pasar keuangan lain dengan nilai tukar rupiah tercatat melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan lalu. Padahal mayoritas mata uang utama Asia mampu menguat.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah tercatat melemah 0,42% ke Rp 15.630/US$. Selain rupiah ada yen Jepang yang juga melemah 0,73% menjadi yang terburuk di Asia pekan ini, dan ringgit Malaysia stagnan.
Mata uang lainnya mampu menguat, baht Thailand bahkan melesat 2,4%.
Ketatnya likuiditas dolar AS di dalam negeri ditambah tingginya permintaan menjadi penyebab rupiah melempem di awal tahun.
Isu kelangkaan dolar AS terus berhembus dalam beberapa bulan terakhir. Sebabnya, cadangan devisa yang terus menurun saat neraca perdagangan justru mencatat surplus dalam 31 bulan beruntun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Januari - November 2022 surplus neraca perdagangan tercatat lebih dari US$ 50 miliar.
Terlihat, ketika neraca perdagangan surplus, tetapi cadangan devisa malah menurun. Para eksportir menempatkan valuta asing mereka di luar negeri.
BI pun sudah "mengakui" hal tersebut, melihat langkah yang diambil belakangan ini guna bisa menahan Devisa Hasil Impor (DHE) lebih lama di dalam negeri.
Terakhir dari pasar obligasi, investor asing tercatat memborong Surat Berharga Negara (SBN). Bank Indonesia (BI) mencatat sepanjang 2 Januari hingga 5 Januari 2023, investor nonresiden di pasar keuangan domestik mencatatkan beli neto sebesar Rp 8,05 triliun. Secara rinci, investor asing menorehkan beli neto Rp 9,74 triliun di pasar SBN.
Tiga indeks utama pasar ekuitas AS tercatat mengalami penguatan sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average menguat sekitar 700 poin pada hari Jumat setelah data baru menunjukkan perlambatan pertumbuhan upah, sinyal optimis pertempuran Federal Reserve melawan inflasi mulai membuahkan hasil yang diharapkan dapat mengurangi tekanan untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Dow naik 2,1%, S&P 500 menguat 2,3%, sedangkan Nasdaq terapresiasi 2,6% pada hari perdagangan terakhir pekan lalu.
Reli tersebut menempatkan ketiga indeks saham utama AS di wilayah positif untuk minggu pertama tahun 2023. Ketiganya naik sekitar 1% atau lebih pekan lalu.
Laporan pekerjaan bulanan Departemen Tenaga Kerja menunjukkan bahwa pemberi kerja menambahkan 223.000 pekerjaan pada bulan Desember, kenaikan terkecil dalam dua tahun tetapi lebih dari yang diharapkan oleh para ekonom sebesar 200.000. Kemampuan perusahaan AS untuk terus merekrut menunjukkan bahwa pasar kerja mampu bertahan bahkan ketika kenaikan suku bunga Fed telah memicu kekhawatiran tentang potensi resesi.
Laporan tersebut juga menunjukkan pertumbuhan upah terus menurun. Penghasilan per jam rata-rata naik 0,3% pada bulan Desember dari bulan sebelumnya, turun dari kenaikan 0,4% pada bulan November. Angka untuk bulan Desember naik 4,6% dari setahun lalu, turun dari kenaikan 4,8% yang direvisi pada November dan jauh di bawah puncaknya di Maret.
Data tersebut mengurangi kekhawatiran akan apa yang disebut wage-price spiral, di mana karyawan menuntut kenaikan gaji sebagai tanggapan atas kenaikan harga, dan masuknya uang tambahan ke kantong pekerja memicu inflasi lebih lanjut. Skenario seperti itu bisa menekan The Fed untuk menaikkan suku bunga secara lebih agresif lagi. Bank sentral AS akan membuat keputusan kebijakan berikutnya pada pertemuan 31 Januari hingga 1 Februari mendatang.
Beberapa investor mengatakan laporan pekerjaan hari Jumat menunjukkan bahwa ekonomi AS berada di jalur untuk soft landing, di mana Fed menaikkan suku bunga cukup untuk menurunkan inflasi tetapi tanpa memicu penurunan yang menyakitkan.
Namun, beberapa tanda lain masih menunjukkan pelemahan ekonomi. Barometer kondisi bisnis Institute for Supply Management yang diawasi ketat pada perusahaan berorientasi layanan yang dirilis Jumat lalu, turun menjadi 49,6% pada Desember dari 56,5% pada November-pertama kali menunjukkan kontraksi sejak awal pandemi.
Dalam beberapa minggu terakhir, investor dan manajer investasi semakin berharap bahwa inflasi akan melambat dengan cepat di bulan-bulan mendatang dan mampu mendorong The Fed untuk mulai memangkas suku bunga akhir tahun ini. Tapi data yang dipublikasikan minggu ini mengingatkan investor jalan ke depan bisa jadi masih rumit.
Risalah dari pertemuan kebijakan terakhir Fed, dirilis Rabu pekan lalu, menunjukkan bahwa para pejabat berharap untuk terus menaikkan suku bunga jika tekanan harga terbukti lebih kuat. Sementara itu, data perekrutan hari Jumat menambah bukti bahwa pasar tenaga kerja AS tetap kuat-situasi yang menguntungkan pekerja tetapi dapat menambah tekanan inflasi.
Berikut adalah sejumlah sentimen yang dapat menjadi penggerak perdagangan pasar saham pekan ini.
Pertama yakni respons pasar dari rilis data tenaga kerja non-farm payrolls (NFP) dan unemployment rate yang dipublikasikan Jumat lalu.
Data NFP AS per Desember 2022 naik 223.000, dari sebelumnya pada November 2022 sebesar 256.000.
Di lain sisi, tingkat pengangguran di AS pada Desember 2022 terpantau turun menjadi 3,5%, dari sebelumnya sebesar 3,6% pada November 2022.
Selain data tenaga kerja, data non-manufaktur AS dari survei purchasing manager's index (PMI) ISM menunjukkan bahwa sektor tersebut di AS juga menurun menjadi 49,6 pada Desember 2022, dari sebelumnya di angka 56,5 pada November 2022.
Alhasil, sektor non-manufaktur masuk ke zona kontraksi. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
Dengan masih kuatnya data tenaga kerja dan kontraksinya sektor non-manufaktur, maka potensi The Fed masih menaikkan suku bunga acuannya masih cukup besar, meski lajunya kemungkinan diperlambat.
Kedua yakni data inflasi China periode Desember 2022. Diprediksi, inflasi China bakal kembali naik menjadi 2% secara tahunan (year-on-year/yoy). Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm) diprediksi juga naik menjadi 0,1% pada Desember 2022.
Tak hanya China, inflasi periode Desember 2022 juga akan dirilis di AS pekan ini, di mana inflasi Negeri Paman Sam diprediksi kembali melandai menjadi 6,5% (yoy).
Data inflasi AS ini akan menjadi acuan The Fed untuk menentukan langkah selanjutnya dari kebijakan moneter.
Ketiga, pidato Ketua The Fed, Jerome Powell. Pada risalah The Fed pekan ini, mereka menegaskan masih akan bersikap hawkish, selama data ketenagakerjaan masih cenderung positif.
Keempat yakni data pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris secara bulanan, di mana PDB Inggris pada November 2022 diprediksi turun menjadi -0,2%.
Kelima, data neraca perdagangan China periode Desember 2022, di mana angka tersebut diprediksi naik menjadi US$ 80 miliar. Adapun dari ekspor-impor China, keduanya diprediksi membaik pada Desember 2022.
Keenam adalah data sentimen konsumen University of Michigan periode Januari 2022, di mana data ini juga dapat dijadikan acuan untuk menilai keadaan ekonomi AS. Diprediksi, sentimen konsumen ini akan cenderung naik menjadi 60, dari sebelumnya pada Desember 2022 di angka 59,7.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
Produksi industri Jerman November (14.00)
Neraca transaksi berjalan Prancis November (14.45)
Tingkat pengangguran Italia November (16.00)
Data cadangan devisa Singapura (16.00)
Tingkat pengangguran Uni Eropa (17.00)
Data ekspektasi inflasi konsumer AS (23.00)
Hari ini setidaknya terdapat sembilan agenda korporasi yakni:
Cum date dividen tunai Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan Roda Vivatex (RDTX)
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BINA, BOBA dan HAIS
Cum date rights issue OASA
Pencatatan saham IPO Cakra Buana Resources Energi (CBRE) beserta waran dan pencatatan saham IPO Sunindo Pratama (SUNI).
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA