
Sulit! Target Bauran EBT 23% 2025 Hanya Angan Belaka?

Berdasarkan data hasil penelusuran Tim Riset CNBC, hingga November 2022, Dari sisi penambahan kapasitas terpasang untuk pembangkit listrik EBT untuk PLTS mencapai 12.526 MW yang terdiri dari beberapa pembangkit.
Adapun perincian pembangkitnya adalah sebagai berikut.
Dari data tersebut, kapasitas EBT terpasang didominasi dari PLTA sebesar 5.989 MW, kemudian diikuti PLTP (2.343 MW), lalu PLTBm (2.914 MW) dan sisanya dari pembangkit hijau lainnya.
Upaya ini memang sejalan dengan komitmen Indonesia untuk melakukan penurunan emisi gas rumah kaca dengan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, arah kebijakan energi nasional ke depan memprioritaskan transisi menuju energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan melalui optimalisasi pengembangan EBT.
Namun perlu diketahui, dalam catatan CNBC Indonesia tetap satu tahun lalu pihak ESDM menyatakan belum bisa memastikan apakah bauran energi 23% pada 2025 bisa terealisasi atau tidak. Secara terang, kuncinya adalah mengerjakannya di tahun 2022 dan selanjutnya akan melihat lagi apakah masih ada proyek yang terhambat atau tidak.
Di sisi lain, untuk tahun 2022 dalam catatan PLN apaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga Juni 2022 telah mencapai 12,8%.
Kementerian ESDM juga turut menargetkan untuk tahun 2022 bauran EBT ditargetkan sebesar 15,7%. Begitu pula tahun 2023, bagaimanapun pekerjaan rumahnya akan semakin berat karena tiap tahun harapannya peningkatan bisa signifikan.
Pangsa Pasar Energi Terbarukan Masih Rendah
Jika menilik Laporan IETO menemukan, pangsa energi terbarukan dalam bauran energi primer Indonesia menurun dari 11,5% pada 2021 jadi 10,4% pada 2022.
Kondisi ini karena pangsa batubara meningkat 43%, membuat target 23% pada 2025 akan sulit diraih kalau pemerintah tak segera memperkuat komitmen politik terhadap pengembangan energi terbarukan.
Meski ada komitmen mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan, masih ada perbedaan persepsi dan prioritas berbagai pembuat kebijakan tentang bagaimana proses transisi dilakukan.
Kondisi ini, terlihat pada keputusan meniadakanfeed in tariff pada Perpres 112/2022 dan penolakan terhadap klausul apower wheeling (pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik termasuk untuk energi terbarukan) pada perumusan Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU-EBT).
Juga, keputusan mempertahankan subsidi batubara dalam bentuk harga domestic market obligation (DMO). Untuk transisi energi efektif, pemerintah harus punya kesatuan posisi dan menetapkan target.
Kita bisa menyoroti pencapaian investasi energi terbarukan yang masih kurang dari target pemerintah, hanya US$1,35 miliar sampai kuartal ketiga 2022 alias hanya 35% dari target 2022 sebesar US$3,97 miliar.
Dengan ini, iklim investasi perlu diperbaiki dengan memperbanyak dukungan finansial untuk pengembang energi terbarukan, proses pengadaan, skema tarif, dan proses perizinan lebih singkat dan jelas.
Pemerintah, juga perlu mengurangi hambatan masuk investor asing, dan meningkatkan akses ke modal dengan suku bunga yang lebih rendah. Selain itu, penyediaan ruang lebih luas bagi integrasi energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia harus segera dilakukan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)