CNBC Indonesia Outlook 2023
Jadi Komoditas Andalan RI, Batu Bara Tetap Primadona 2023?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak perang Rusia-Ukraina pada pasar komoditas yang mulai melemah serta beberapa negara mulai berencana untuk meningkatkan produksi, harga batu bara termal Asia diperkirakan akan mengalami koreksi pada tahun 2023. Meski demikian harganya masih berada di level yang relatif tinggi, mengingat adanya kekhawatiran atas kemungkinan pasokan yang bisa jadi berkurang.
Seperti diketahui batu bara merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia yang membawa neraca perdagangan surplus 31 bulan beruntun.
Pada 2022 harga batu bara dunia acuan Newcastle untuk kontrak dua bulan ditutup di US$ 389,60/ton dan sempat menyentuh rekor tertinggi sepanjang di US$ 464/ton pada 5 September. Sepanjang tahun lalu, harga batu bara acuan global tersebut mampu melonjak hingga 157%, lompatan harga tertinggi sejak 2008. Meski demikian dari level tertinggi, harga batu bara acuan global telah surut 45%.
Perang Rusia-Ukraina menyebabkan permintaan batu bara dari Eropa meningkat drastis yang pada akhirnya menciptakan keterbatasan pasokan. Meskipun harga telah surut dalam beberapa bulan terakhir, harga batu bara saat ini masih tetap berada pada level yang jauh lebih tinggi dari rata-rata dua tahun terakhir.
Untuk tahun 2023, sejumlah negara termasuk China dan India telah mengumumkan target produksi yang lebih tinggi sebagai bagian dari tujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri secara internal, yang diharapkan dapat mengurangi beban di pasar perdagangan batu bara termal Asia. Indonesia sendiri juga mengambil langkah yang sama, dengan sejumlah perusahaan seperti Bumi Resources (BUMI) telah menetapkan target produksi yang lebih tinggi untuk 2023.
Secara keseluruhan permintaan batu bara tahun 2023 diperkirakan akan tetap kuat karena pertumbuhan ekonomi negara 'pemakan batu bara' seperti China, India dan Indonesia akan tetap tangguh. India dan China juga diprediksi akan terus membeli batu bara Rusia, sembari meningkatkan produksi domestik.
Dari dalam negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan target produksi batu bara tahun 2023 sebesar 694 juta ton, naik nyaris 5% dari tahun sebelumnya yang mencapai 663 juta ton. Sementara itu Proyeksi permintaan batu bara dari sektor kelistrikan (PLN dan IPP) juga diprediksi naik signifikan sepanjang 2023 menjadi 161,15 juta ton dari perkiraan 115 juta ton untuk tahun 2022. Selain itu, permintaan dari industri semen dan pupuk juga diperkirakan akan meningkat pada tahun 2023.
Survei S&P Global Commodity Insights menyebut bahwa penambang di Indonesia akan meningkatkan produksi dengan lebih banyak batu bara kalori rendah hingga menengah, karena peningkatan permintaan domestik dengan ekspektasi rebound di sektor industri dan perumahan.
Sementara itu menurut sebuah laporan yang dirilis pertengahan bulan lalu oleh Badan Energi Internasional (IEA), penggunaan batu bara global pada tahun 2022 naik 1,2% atau mencapai 8 miliar ton dan akan melampaui rekor sebelumnya, yang dicatatkan pada tahun 2013. IEA juga memprediksi penggunaan batu bara akan mencapai puncaknya tahun ini atau pada tahun 2023, kemudian stabil hingga tahun 2025, lalu kembali turun.
Prediksi Harga Batu Bara
Lembaga pemeringkatan global, Fitch, memperkirakan bahwa harga batu bara termal global dan yang berasal dari Indonesia akan mengalami pelemahan tahun 2023, akan tetapi masih berada di level yang relatif tinggi dibandingkan sebelum konflik di Eropa Timur mengemuka.
Untuk tahun 2023 Fitch memperkirakan harga batu bara termal Australia Newcastle dengan kalori 6.000 akan mencapai US$ 220/ton, turun dari rata-rata sepuluh bulan pertama 2022 yang mencapai US$ 359/ton. Sementara itu, untuk batu bara termal Indonesia kalori 4.200 diprediksi harganya tahun 2023 sekitar US$ 60/ton, turun dari rata-rata sepuluh bulan pertama 2022 yang mencapai US$ 85/ton.
Sementara itu survei S&P Global mengungkapkan bahwa penambang yang berbasis di Indonesia memperkirakan harga pada tahun 2023 akan turun dari tahun 2022, dengan kontrak batu bara FOB Kalimantan kalori 4.200 diperkirakan berada di kisaran US$ 60 hingga US$ 70/ton.
Harga batu bara kontrak FOB Kalimantan tersebut sempat menyentuh level tertinggi tahun ini pada 10 Maret di US$ 136/ton. Akan tetapi harganya kemudian mereda, namun sepanjang tahun secara rata-rata berada di harga US$ 86,50/ton, dan pada akhir perdagangan 2022 ditutup di harga US$ 93,45/ton.
Harga Batubara yang masih kuat tersebut diprediksi akan tetap menopang catatan laba perusahaan batu bara yang diprediksi masih akan kuat sepanjang 2023. Selain laba, arus kas yang dihasilkan oleh penambang batu bara Indonesia juga akan tetap kuat pada tahun 2023, meski harganya melandai dari tahun 2022.
Sepanjang tahun 2022 lalu, emiten batu bara memang telah mengalami kenaikan signifikan. Akan tetapi kebanyakan dari kenaikan ini merupakan justifikasi atas meningkatnya laba per saham dasar (EPS) yang dicatatkan perusahaan, yang mana pada akhirnya rasio harga per EPS atau yang lebih dikenal sebagai PER tidak berubah signifikan.
Saat ini masih terdapat sejumlah emiten batu bara raksasa yang masih memiliki valuasi yang relatif murah, dilihat dari rasio PBV dan PER, dibandingkan kompetitornya. Emiten-emiten tersebut termasuk Indika Energy (INDY) dengan nilai rasio PER dan PBV masing-masing 2,08 kali dan 0,86 kali. Kemudian sejumlah emiten raksasa lain dengan valuasi relatif murah yaitu Adaro Energy Indonesia (ADRO), Indo Tambangraya Megah (ITMG) dan Bukit Asam (PTBA)
TIM RISET CNBC INDONESIA
Sanggahan: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham/aset terkait. Keputusan investasi sepenuhnya ada pada diri anda, dan CNBC Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(fsd)[Gambas:Video CNBC]