Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik kompak melemah sepekan lalu. Baik obligasi pemerintah dan saham kompak turun.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun tipis 0,17% secara mingguan dan ditutup di 6.800,67 pada perdagangan Jumat (23/12/2022). Sementara sejak awal bulan IHSG terkoreksi hampir 4% dan menjadi Desember terburuk dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Dari 5 hari perdagangan, IHSG terkoreksi 3 kali dan menguat 2 kali. Dalam sepekan pasar saham mencatatkan outflow cukup jumbo.
Di pasar reguler investor asing mencatatkan net sell Rp 988,4 miliar dalam 5 hari perdagangan tersebut. Aliran dana keluar memang mengalir deras dalam sebulan terakhir dari pasar saham. Asing net sell Rp 15,6 triliun.
Di pasar obligasi pemerintah, harga SBN acuan yaitu untuk tenor 10 tahun mengalami penurunan yang tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield).
Yield SBN 10 tahun menguat 4,3 basis poin (bps) secara mingguan dan ditutup di 6,92% per Jumat (23/12/2022).
Berbeda dengan pasar saham yang mengalami outflows, pasar SBN justru mencatatkan inflows. Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan asing beli bersih SBN sebesar Rp 1,45 triliun.
Dari pasar valas, nilai tukar rupiah cenderung tak banyak bergerak di sepanjang pekan lalu. Di pasar spot, rupiah berakhir di Rp 15.590/US$.
Date | IHSG | Rupiah | Yield SBN 10 Tahun (%) |
19/12/2022 | 6779.698 | 15595 | 6.881 |
20/12/2022 | 6768.316 | 15600 | 6.906 |
21/12/2022 | 6820.663 | 15585 | 6.929 |
22/12/2022 | 6824.432 | 15580 | 6.918 |
23/12/2022 | 6800.673 | 15590 | 6.924 |
Sentimen yang mewarnai pergerakan pasar datang dari keputusan BI. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5%.
Sementara itu Deposit Facility sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,25%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia terbelah antara yang memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan secara agresif dan moderat pada bulan ini.
Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, 12 lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,50%.
Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps hanya dalam waktu empat bulan, masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, 50 bps pada Oktober, dan 50 bps pada November. Kenaikan suku bunga sebesar 175 bps adalah yang paling agresif sejak 2005.
Wall Street menutup perdagangan minggu lalu dengan apresiasi. Indeks Dow Jones menguat 0,53% sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing naik 0,59% dan 0,21%.
Indeks utama terombang-ambing di awal sesi setelah indeks harga konsumen (Personal Consumption Expenditure/PCE) inti, ukuran inflasi pilihan Federal Reserve, dilaporkan sedikit lebih tinggi dari perkiraan ekonom.
"Angka ekonomi yang diumumkan hari ini menyoroti kesulitan bagi investor, ketika data yang dilaporkan melemah membawa ketakutan resesi dan ketika angka yang dilaporkan kuat membawa ketakutan Fed," kata Louis Navellier, pendiri dan kepala investasi perusahaan investasi pertumbuhan Navellier & Associates, melansir CNBC International.
S&P 500 mengakhiri minggu kemarin dengan penurunan sekitar 0,2% dan mencatatkan penurunan mingguan ketiga berturut-turut.
Nasdaq Composite, sementara itu, turun 2% untuk minggu lalu, juga untuk minggu ketiga turun berturut-turut. Berbeda dengan S&P 500 dan Nasdaq yang melemah, Dow Jones justru menguat.
Kekhawatiran resesi telah muncul kembali baru-baru ini menghancurkan harapan beberapa investor untuk reli akhir tahun dan menyebabkan kerugian besar pada bulan Desember.
Investor khawatir bahwa pengetatan berlebihan dari bank sentral di seluruh dunia dapat memaksa ekonomi mengalami penurunan.
Di bulan Desember, nilai kapitalisasi pasar S&P 500 telah susut 5,8%, sedangkan Dow dan Nasdaq masing-masing telah kehilangan lebih dari 4% dan 8,5%.
Kinerja tersebut menjadi penurunan bulanan terbesar untuk rata-rata sejak September. Kinerja saham secara tahunan juga mecatatkan performa terburuknya sejak tahun 2008.
Performa Wall Street yang apik di akhir pekan tak lantas menjamin pasar saham Tanah Air juga sumringah. Belakangan ini, IHSG sulit sekali keluar dari level psikologis 6.800 untuk menuju ke 6.900. Padahal sudah memasuki minggu terakhir Desember.
Secara historis sebenarnya bulan Desember menjadi bulan baik untuk IHSG. Sejak 2002-2021, return bulanan IHSG selalu positif terdongkrak sentimen window dressing.
Hanya saja sejak akhir November hingga akhir pekan lalu, IHSG masih membukukan return minus 3,9%. Untuk mengerek IHSG kembali ke level akhir November saja dalam beberapa hari terakhir rasanya sulit.
Apalagi setelah libur Natal, biasanya pasar akan cenderung sepi. Nilai transaksi juga sudah mulai menurun jelang Natal.
Nilai transaksi tertinggi di Bursa Domestik pekan lalu terjadi pada Selasa (20/12) sebesar Rp 14,84 triliun. Sehari setelahnya transaksi turun menjadi Rp 11,07 triliun dan di dua hari perdagangan terakhir transaksinya kurang dari Rp 9 triliun.
Selain transaksi yang cenderung sepi, investor asing juga tampak mulai menjauhi pasar saham dan lebih memilih memarkirkan uangnya di pasar obligasi dengan risiko lebih rendah.
Dengan segala pertimbangan yang ada, tampaknya sulit IHSG untuk mencapai kinerja bulanan positif di bulan Desember ini.
Sentimen lain yang berpotensi menggerakkan pasar hari ini adalah wacana Uni Eropa yang memblokir akses pasar minyak nabati lewat undang-undang baru yang mencegah penjualan komoditas yang terkait dengan deforestasi di blok 27 negara tersebut.
Uni Eropa awal bulan ini menyepakati undang-undang baru yang mewajibkan perusahaan untuk membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi terhadap perusakan hutan, atau berisiko terkena denda yang besar.
Peraturan tersebut akan berlaku untuk kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao dan kopi serta beberapa produk turunannya.
Adanya wacana tersebut berpotensi semakin menekan harga minyak sawit yang sudah melemah tajam dan juga akan menjadi sentimen negatif untuk harga saham emiten-emitennya.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis Indeks Keyakinan Bisnis Turki bulan Desember (14:00 WIB)
- Rilis data Kapasitas Utilisasi Turki bulan Desember (14:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,44 % |
Inflasi (November 2022, YoY) | 5,42% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 5,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -3,92% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2022) | 1,2% PDB |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 134 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA