Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diproyeksi kembali mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25-50 basis points (bps) pada bulan ini. Rapat Dewan Gubernur (RDG) digelar pada pada Rabu dan Kamis (21-22 Desember 2022).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia terbelah antara yang memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan secara agresif dan moderat pada bulan ini.
Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, 12 lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,50%.
Sementara itu, dua lembaga/institusi memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 5,75%.
Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps hanya dalam waktu empat bulan, masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, 50 bps pada Oktober, dan 50 bps pada November.
Kenaikan suku bunga sebesar 175 bps adalah yang paling agresif sejak 2005.
Dengan kenaikan sebesar 175 bps sepanjang 2022, posisi suku bunga acuan BI berada di 5,25% sementara suku bunga Deposit Facility sebesar 4,50%, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,0%.
Ekonom BCA Suryaputra Wijaksana memproyeksi suku bunga hanya akan dinaikkan sebesar 25 bps sejalan dengan melandainya inflasi dalam negeri.
Nilai tukar rupiah juga sudah membaik sejalan dengan masuknya capital inflow pada pasar keuangan domestik. Berdasarkan data BI pada periode 12-15 Desember 2022, investor asing masih mencatatkan net buy sebesar Rp 2,89 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Surplus besar (US$ 5,16 miliar) pada November juga memberi bantalan lain bagi nilai tukar rupiah ke depan.
"Kenaikan harga komoditas, stabilitas nilai tukar, serta inflasi yang melandai karena turunnya harga bahan pangan dan permintaan membuat BI memiliki faktor penopang untuk menaikkan suku bunga lebih kecil pada bulan ini," tutur Suryaputra, dalam laporannya Weekly Macro Dispatch: Uncertainty all the way to New Years Eve.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada November tercatat 0,09% (mont to month/mtm). Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi melandai dari 5,95% pada September menjadi 5,71% pada Oktober dan 5,42% pada November 2022.
Inflasi inti turun tipis menjadi 3,30 % (yoy) pada November dari 3,31% pada Oktober.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan inflasi akan berada di kisaran 5,6% pada tahun ini. Proyeksi ini jauh lebih rendah dibandingkan forecast awal di kisaran 6,3%.
Dampak kenaikan harga BBM ke inflasi yang lebih rendah membuat laju inflasi tidak sekencang proyeksi awal.
Dua lembaga/institusi - Bank Danamon dan Bahana Sekuritas- memproyeksi BI masih akan agresif dengan mengerek suku bunga acuan sebesar 50 bps.
BI perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta menjaga appetite aset denominasi rupiah karena bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) masih akan agresif.
Seperti diketahui, pada pertemuan pekan lalu The Fed memang hanya menaikkan suku bunga acuan atau The Fed Fund Rate (FFR) sebesar 50 bps menjadi 4,25-4,50%. Namun, The Fed menegaskan jika mereka akan tetap agresif dengan menaikkan suku bunga acuan hingga tahun depan.
Suku bunga The Fed diproyeksi akan naik hingga 5,25% pada 2023, lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya di 4,75%.
"Melandainya fase pengetatan The Fed membuat rupiah mengalami apresiasi, namun tingkat penguatan masih soft. Risiko tekanan terhadap rupiah masih cukup tinggi melihat potensi kenaikan FFR yang masih berlanjut dan rate differential suku bunga kebijakan domestik dan FFR sangat tipis," tutur ekonom Bank Danamon Irman Faiz, kepada CNBC Indonesia.
Merujuk pada data Refinitiv nilai tukar rupiah sudah menguat 0,83% sepanjang bulan ini. Namun, rupiah masih bergerak di kisaran Rp 15.600/US$1.
Irman juga menambahkan inflasi inti masih berpotensi meningkat. Tekanan biaya input dari produsen masih terjadi meski termoderasi sementara perbaikan permintaan domestik berlanjut.
Terlebih, ada tekanan inflasi yang besar pada kuartal I-2023 yakni datangnya bulan Ramadhan. Sebagai catatan, Ramadan merupakan puncak konsumsi masyarakat Indonesia sehingga inflasi biasanya akan melonjak pada bulan tersebut.
Menurut Irman, pelaku usaha terutama industri makanan dan minuman melihat kuartal I akan menjadi waktu yang pas untuk melakukan penyesuaian harga dan mengembalikan margin ke level sebelum pandemi.
"Peningkatan 50 bps dapat membantu penguatan rupiah dan melanjutkan langkah front loading dan pre emptive terhadap potensi kenaikan inflasi inti ke depan," ujar Irman.
Senada, ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan kenaikan suku bunga sebesar 50 bps masih diperlukan untuk menjaga nilai tukar.
Terlebih, bank sentral Jepang (BOJ) baru saha menaikkan kebijakan yield curve controlnya (YCC).
"Kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah naiknya yield surat utang di tingkat global setelah kebijakan BOJ," ujar Satria, kepada CNBC Indonesia.
Seperti diketahui, BoJ pada Selasa (20/12/2022) memutuskan kembali untuk tetap mempertahankan suku bunga rendahnya di minus (-) 0,1%, tetapi kebijakan yield curve control (YCC) diperlebar menjadi 50 basis poin dari sebelumnya 25 basis poin.
YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0% maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.
Pembelian tersebut artinya BoJ menyuntikkan likuiditas ke perekonomian. Kini dengan YCC diperlebar menjadi 50 basis poin, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil.
TIM RISET CNBC INDONESIA