Newsletter

Tak Ada Kabar Baik dari China, Jepang Tambah Derita Dunia!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 December 2022 05:55
Seorang pria berjalan melewati bank sentral China, atau People's Bank of China, di Beijing, Minggu, 10 Maret 2019.  (AP/Andy Wong)
Foto: Seorang pria berjalan melewati bank sentral China, atau People's Bank of China, di Beijing, Minggu, 10 Maret 2019. (AP/Andy Wong)

Selasa kemarin ada dua bank sentral utama yang mengumumkan kebijakan moneter. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang diharapkan memberikan kejutan, dan bank sentral Jepang (BoJ).

Dengan kondisi perekonomian yang melambat dan diperkirakan suram akibat pandemi Covid-19 yang masih melanda, PBoC diharapkan untuk menurunkan suku bunganya (loan prime rate/LPR) guna lebih memacu dunia usaha.

Sebelumnya di awal bulan ini, PBoC sudah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 25 basis poin guna menambah likuiditas ke perekonomian.

Kebijakan tersebut membuat perbankan bisa mengalirkan dana senilai US$ 70 miliar, dan dikatakan memberikan ruang untuk penurunan LPR tenor 5 tahun.

"Penurunan GWM pada Desember menciptakan ruang untuk pemangkasan LPR dalam waktu dekat, khususnya tenor 5 tahun. Kami pikir upaya untuk membantu perekonomian (khususnya pasar perumahan) harus dilakukan secepatnya ketimbang ditunda," kata analis Citi dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters, Senin (19/12/2022).

Analis Citi tersebut memperkirakan LPR tenor 5 tahun yang saat ini sebesar 4,3% akan dipangkas sebesar 10 basis poin. Sementara LPR tenor 1 tahun tetap sebesar 3,65%.

Citi menjadi salah satu analis dari 27 analis yang disurvei Reuters terkait suku bunga PboC. Dari semua analis tersebut, sebanyak 17 orang memprediksi PBoC masih akan mempertahankan LPR di semua tenor.

Sementara itu 8 analis memprediksi LPR tenor 5 tahun akan dipangkas, dan 2 analis melihat pemangkasan di semua tenor.

Namun nyatanya PBoC tetap mempertahankan LPR.

PBoC sebenarnya dalam dilema, pemangkasan LPR bisa memacu perekonomian, sebab suku bunga tersebut merupakan acuan perbankan menyalurkan kredit. Sementara jika LPR diturunkan, ada risiko nilai tukar yuan akan terdepresiasi lebih dalam lagi.

Sepanjang tahun ini, yuan tercatat melemah lebih dari 9%. Jika terdepresiasi lagi, dikhawatirkan akan memicu peningkatan inflasi.

Sementara itu kejutan justru datang dari BoJ. Bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda ini memutuskan kembali untuk tetap mempertahankan suku bunga rendahnya di minus (-) 0,1%, tetapi kebijakan yield curve control (YCC) diperlebar menjadi 50 basis poin dari sebelumnya 25 basis poin.

YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0% maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.

Pembelian tersebut artinya BoJ menyuntikkan likuiditas ke perekonomian.

Kini dengan YCC diperlebar menjadi 50 basis poin, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil.

"Ini diluar perkiraan, kami melihat mereka (BoJ) mulai menguji respon pasar dari exit strategi yang akan diambil," kata Bart Wakabayashi, branch manager di State Street Tokyo, sebagaimana dilansir Reuters.

Pasar sebenarnya melihat BoJ belum akan merubah kebijakannya hingga Maret 2023.

Jika benar BoJ akan bertindak agresif ke depannya, maka era suku bunga rendah resmi berakhir di Jepang. Sekali lagi semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi semakin besar. BoJ pun bakal menambah derita dunia yang diramal mengalami resesi tahun depan. Semua demi meredam inflasi.

Pasar saham pun merespon negatif, indeks Nikkei merosot lebih dari 2% yang menjadi indikasi memburuknya sentimen pelaku pasar. Hal ini masih bisa memberikan dampak negatif ke IHSG, rupiah hingga SBN

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular