Ogah Ikuti The Fed Cs, BoJ Tahan Bunga Meski Inflasi Meninggi

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
20 December 2022 12:15
Well-wishers wave Japanese flags while waiting to see Japan's Emperor Naruhito making New Year's public appearance with his imperial families at Imperial Palace in Tokyo Thursday, Jan. 2, 2020. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Jepang (AP/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Jepang (BoJ) memutuskan untuk kembali mempertahankan suku bunga acuannya, meski angka inflasi melonjak dan mencapai posisi tertinggi sejak 1982. Apa penyebabnya?

Sejak perang Rusia-Ukraina mencuat pada 24 Februari silam, berakibat buruk pada perekonomian negara di seluruh dunia. Membuat harga energi dan pangan melonjak menyebabkan angka inflasi pun meninggi.

Sama seperti negara lainnya di dunia, Jepang juga mengalami inflasi yang tinggi. Jepang mencatatkan inflasi inti sebesar 3,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Oktober 2022, naik dari bulan sebelumnya sebesar 3% yoy.

Berdasarkan data dari Kementerian dalam Negeri dan Komunikasi, inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari 1982, seiring dengan kenaikan harga makanan dan bahan baku di tengah melemahnya mata uang yen.

Inflasi itu pun berada di atas ekspektasi para ekonom yang meramalkan angka 3,5% yoy. Catatan itu juga kian menjauhkan Jepang dari target inflasi sebesar 2% pada tahun ini.

Ketika angka inflasi meninggi, biasanya membuat bank sentral memutuskan untuk mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan guna menurunkan angka inflasi. Namun, hal yang berbeda justru dilakukan oleh Bank Sentral Jepang (BoJ).

Hari ini, BoJ memutuskan kembali untuk tetap mempertahankan suku bunga rendahnya di minus (-) 0,1%, serta BoJ akan memperluas kisaran fluktuasi imbal hasil obligasi pemerintah Jepang tenor 10 tahun menjadi plus dan minus 0,5%.

"Penyesuaian ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi pasar dan mendorong pembentukan kurva imbal hasil secara keseluruhan, seiring mempertahankan kondisi keuangan yang akomodatif," tutu BoJ yang dikutip CNBC International.

Di antara anggota G-20, Jepang merupakan negara yang belum menaikkan suku bunga acuannya sejak awal pandemi 2020 lalu.

Setelah keputusan tersebut, nilai tukar yen Jepang sukses menguat tajam. Pukul 10:10 WIB, yen Jepang melesat 1,91% ke 134,26/US$. Kendati begitu, secara year to date, yen Jepang masih terkoreksi sebesar 15,8% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda sebelumnya menegaskan akan tetap berpegang pada kebijakan tersebut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Meski BoJ telah mempertahankan kebijakan moneter yang ultra longgar, tapi pertumbuhan ekonominya masih terkontraksi. Ekonomi Jepang menyusut 0,2% pada kuartal ketiga (Q3) 2022. Hal ini merupakan revisi setelah sebelumnya Negeri Sakura mencatatkan penurunan sebesar 0,3%.

Dalam data yang dirilis Kantor Kabinet Jepang, Kamis (8/12/2022), ini merupakan penurunan pertama setelah setelah pertumbuhan 1,1% pada Q2 2022.

PDB JepangFoto: tradingeconomics.com
PDB Jepang

"Ini adalah kontraksi pertama dalam ekonomi sejak Q3 2021, di tengah tekanan inflasi global dan penurunan yen," tulis Trading Economics.

Ekonomi lesu akibat biaya impor yang tinggi dan konsumsi swasta yang lemah. Berakhirnya pembatasan Covid-19 tak membantu banyak pertumbuhan.

Selain itu, ekspor Jepang juga terbukti mengalami pelemahan. Tokyo baru-baru ini melaporkan defisit perdagangan yang lebih besar dari perkiraan sebesar US$ 15 miliar untuk bulan Oktober.

Ekspor naik 25,3%, lebih lambat dari pertumbuhan tahun-ke-tahun sebesar 28,9% yang terlihat di bulan September.

Hal ini membuat ekonom senior Jepang di Capital Economics, Marcel Thieliant, memprediksi negara itu akan jatuh dalam resesi. Hal itu diramalkan terjadi tahun depan.

"Kami pikir ekonomi Jepang akan memasuki resesi tahun depan. Resesi sebagian besar akan didorong oleh penurunan ekspor dan juga dengan menjadi lebih berhati-hati, yang biasanya Anda lihat ketika ekspor mulai turun," katanya kepada CNBC International.

Thieliant mengatakan dengan situasi perekonomian seperti ini, bank sentral Bank of Japan (BoJ) kemungkinan tidak akan melakukan kenaikan suku bunga meski inflasi di negara itu sempat menembus rekor 3,6%, tertinggi dalam 40 tahun dan lebih tinggi dari target BoJ sebesar 2%.

"Dalam lingkungan itu, akan sangat berani untuk mengetatkan kebijakan moneter," katanya.

Dengan potensi terjadinya resesi di tengah ketidakpastian ekonomi, Jepang berencana untuk menerbitkan obligasi pemerintah baru sekitar 35,5 triliun yen atau setara dengan US$ 258,52 miliar untuk anggaran fiskal 2023/2024, seperti yang diwartakan Reuters.

Selain itu, stimulus yang digelontorkan ketika pandemi tercatat lebih besar 1,4 kali lipat dari jumlah rencana pengeluaran anggaran awal, sehingga membahayakan tujuan untuk mencapai keseimbangan anggaran utama dan pembayaran utang pada tahun fiskal Maret 2026.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aaf/aaf)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation