Newsletter

Empat 50 Bps yang Bikin Pasar Saham Crash!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
16 December 2022 06:15
wall street
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia secara mayoritas berkinerja kurang baik pada perdagangan Kamis (15/12/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ditutup melemah, sedangkan harga Surat Berharga Negara (SBN) berakhir menguat.

Pada perdagangan Jumat (16/12/2022) tekanan berisiko berlanjut dan semakin besar melihat sentimen pelaku pasar yang memburuk, setelah 4 bank sentral mengumumkan kenaikan suku bunga masing-masing 50 basis poin kemarin. Bursa saham Eropa dan Amerika Serikat rontok, dan berisiko menjalar ke Asia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4. 

Sementara itu data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan IHSG ditutup terkoreksi 0,73% ke posisi 6.751,86. IHSG pun diperdagangkan di level psikologis 6.700 kemarin.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 16 triliun dengan melibatkan 29 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1 juta kali. Sebanyak 215 saham menguat, 308 saham terkoreksi, dan 183 saham lainnya stagnan.

Investor asing hingga kemarin masih melakukan penjualan bersih (net sell) hingga mencapai Rp 1,07 triliun di pasar reguler. Namun di pasar tunai dan negosiasi, asing terlihat melakukan pembelian bersih (net buy) hingga mencapai Rp 1,74 triliun.

Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik kompak terkoreksi. Indeks KOSPI Korea Selatan menjadi yang paling parah koreksinya kemarin, yakni mencapai 1,6%. Kemudian disusul Hang Seng Hong Kong yang ambles 1,55%, dan BSE Sensex India yang ambrol 1,4%.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.615/US$, melemah 0,16% di pasar spot kemarin.

Tak hanya rupiah saja, hampir seluruh mata uang utama Asia juga tak mampu melawan The Greenback kemarin. Baht Thailand menjadi yang terparah koreksinya yakni mencapai 1,3%, disusul won Korea Selatan yang ambles 1,2%.

Hanya dolar Hong Kong yang cenderung stagnan kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Kamis kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya secara mayoritas kembali ditutup menguat dan mengalami penurunan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor kembali ramai memburunya

Melansir data dari Refinitiv,SBN tenor 15 tahun menjadi yang terbesar penurunan yield-nya kemarin, yakni mencapai 10,8 basis poin (bp) ke posisi 6,767%.

Namun untuk yield SBN tenor 5 dan 10 tahun terpantau naik masing-masing 0,2 bp dan 1,6 bp.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis kemarin.

Dari dalam negeri, Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan kembali mencatat surplus sebesar US$ 5,16 miliar pada November. Neraca perdagangan Indonesia kini sudah surplus dalam 31 bulan beruntun.

Ekspor Indonesia alami kenaikan 5,58% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi US$ 24,12 miliar. Sementara secara bulanan ada penurunan 2,46%.

"Nilai ekspor November mencapai US$ 24,12 miliar," ungkap Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah dalam konferensi pers, Kamis (15/12/2022).

Sementara impor Indonesia mencapai US$ 18,96 miliar, atau turun 1,89% dibandingkan tahun lalu (yoy) dan turun 0,91% dibandingkan bulan sebelumnya.

"Impor Indonesia mencapai US$ 18,96 miliar," jelasnya.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada November 2022 sebesar US$ 4,4 miliar.

Meski demikian, data tersebut masih belum mampu mendongkrak kinerja rupiah.

Rupiah yang melemah dan IHSG yang juga terkoreksi terjadi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bp menjadi menjadi 4,25% - 4,5%. Kenaikan ini sudah sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya

Dengan ini, maka The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 bp sepanjang tahun ini. Sebelum pertemuan terakhir, The Fed sempat menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bp dalam empat kali beruntun.

Meski kenaikan suku bunga The Fed sesuai prediksi, tetapi masih banyak investor yang cenderung kecewa, karena sikap hawkish The Fed berpotensi bertahan hingga tahun depan dan dapat membawa Negeri Paman Sam menuju resesi.

Sebelumnya, ketua The Fed, Jerome Powell pun mengisyaratkan bahwa untuk menurunkan suku bunga acuan, perlu melihat lebih banyak data yang diperlukan, dengan catatan utama yakni tingkat pengangguran naik cukup signifikan.

"Data inflasi yang diterima sejauh ini di bulan Oktober dan November menunjukkan penurunan yang disambut baik dalam laju kenaikan harga bulanan. Tetapi, butuh lebih banyak bukti untuk memberikan keyakinan bahwa inflasi berada di jalur penurunan yang berkelanjutan," kata Powell.

Selain itu, pejabat The Fed juga memperkirakan akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi hingga tahun depan, tanpa pengurangan hingga 2024.

Anggota The Fed memperkirakan kenaikan suku bunga hingga mencapai tingkat rata-rata 5,1% tahun depan, setara dengan kisaran target 5% - 5,25%.

Selain itu, The Fed juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2023, menempatkan perkiraan kenaikan PDB hanya 0,5%, sedikit di atas apa yang dianggap sebagai resesi.

Prospek PDB untuk tahun ini juga ditetapkan sebesar 0,5%. Dalam proyeksi September lalu, anggota mengharapkan pertumbuhan 0,2% tahun ini dan 1,2% tahun depan.

Jika proyeksi PDB tahun ini dan tahun depan dipangkas, maka hal ini berarti resesi AS berpotensi terjadi di tahun depan, karena pejabat The Fed sendiri cenderung pesimis bahwa ekonomi Negeri Paman Sam tahun depan lebih baik dari tahun ini.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup berjatuhan pada perdagangan Kamis (15/12/2022), karena investor kembali khawatir bahwa resesi berpotensi terjadi setelah mereka melihat data penjualan ritel yang melambat dan sikap bank sentral AS yang masih akan hawkish pada tahun depan.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,25% ke posisi 33.202,219, S&P 500 anjlok 2,48% ke 3.896,1 dan Nasdaq Composite longsor 3,23% menjadi 10.810,53.

Aksi jual berbasis luas dengan hanya 14 saham yang menguat di indeks S&P 500. Saham teknologi mega-cap pun berjatuhan.

Saham Apple dan Alphabet ambles lebih dari 4%, sedangkan Amazon dan Microsoft ambrol lebih dari 3%. Saham Netflix ambruk 8,63%, menyusul laporan Digiday yang mengatakan perusahaan streaming tersebut menawarkan untuk mengembalikan uang kepada pengiklan setelah kehilangan target pelanggannya.

Data penjualan ritel yang mengecewakan menandakan bahwa inflasi sudah berdampak di tingkat konsumen.

Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel pada bulan lalu turun menjadi 0,6%, dari sebelumnya sebesar 1,3% pada Oktober lalu. Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan penurunan sebesar 0,3%.

Aksi jual di Wall Street sudah dimulai sejak Rabu lalu, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengisyaratkan bahwa mereka masih akan melanjutkan sikap hawkish-nya hingga tahun depan.

The Fed juga memproyeksikan bahwa Federal Fund Rates akan mencapai puncaknya pada 5,1% tahun depan, lebih tinggi dari perkiraan pasar.

Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp) menjadi kisaran 4,25% - 4,5%. Kenaikan ini sudah sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya.

Dengan ini, maka The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 bp sepanjang tahun ini. Sebelum pertemuan terakhir, The Fed sempat menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bp dalam empat kali beruntun.

"Reaksi pasar sekarang memperhitungkan resesi dan menolak kemungkinan sikap melunak yang baru-baru ini disebutkan oleh Powell," kata Quincy Krosby, kepala strategi global di LPL Financial, dikutip dari CNBC International.

Di lain sisi, klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 11 Desember kembali turun menjadi 211.000, atau turun 20.000 dari pekan sebelumnya menurut Departemen Tenaga Kerja.

Dengan klaim pengangguran yang turun, maka data ketenagakerjaan di AS cenderung masih cukup baik, sehingga hal ini menjadi 'amunisi' bagi The Fed untuk terus melanjutkan sikap hawkish-nya, meski perekonomian AS terancam resesi.

Kampanye kenaikan suku bunga agresif The Fed akan mendorong ekonomi Negeri Paman Sam ke dalam resesi, di mana hal ini sudah lama terdengar di Wall Street, sehingga setiap kali investor mulai optimis, tetapi mereka juga langsung berubah sikap menjadi khawatir.

"The Fed sepanjang tahun ini sangat konsisten. Mereka harus melawan inflasi, mereka harus menurunkannya, dan mereka akan memperketat kondisi keuangan untuk melakukannya," kata Huw Roberts, kepala analitik di Quant Insight, dilansir dari CNBC International.

Namun, dia mengatakan bahwa pasar ekuitas AS menjadi lebih sensitif terhadap data ekonomi riil daripada kondisi keuangan, menjelang tahun kalender berikutnya.

"Semakin banyak, cerita utama 2023 adalah tentang ekonomi riil. Dengan kata lain, seberapa keras resesi yang akan kita alami, dapatkah Fed melakukan soft landing? Atau akankah kita mengalami resesi yang parah?" tambah Roberts.

Sementara itu dari pasar obligasi pemerintah AS (US Treasury), imbal hasil (yield) untuk tenor 10 tahun kembali turun ke bawah 3,5%, tepatnya berada di 3,45%, di tengah kekhawatiran investor akan potensi terjadinya resesi di AS.

Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang ambruk pada perdagangan kemarin. Tidak hanya Wall Street, bursa saham Eropa juga senasib. Indeks DAX Jerman, CAC Prancis, FTSE MIB Italia masing-masing ambrol lebih dari 3%, FTSE 100 Inggris turun 0,9%.

Ambruknya Wall Street terjadi karena investor kembali khawatir bahwa resesi masih akan berpotensi terjadi di tahun depan, setelah mereka mencerna pernyataan dari The Fed.

Meski laju kenaikan suku bunga acuannya telah melambat dan sudah sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya, tetapi kampanye 'perang' inflasi masih belum berakhir.

The Fed mengisyaratkan bahwa mereka masih akan melanjutkan kebijakan hawkish-nya hingga tahun depan, selama inflasi belum mencapai target yang ditetapkan yakni sekitar 2%.

The Fed juga memproyeksikan bahwa Federal Fund Rates akan mencapai puncaknya pada 5,1% tahun depan, lebih tinggi dari perkiraan pasar.

Sebelumnya pada Selasa lalu, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) atau indeks harga konsumen (IHK) AS periode November 2022 kembali melandai yakni menjadi 7,1% (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Oktober lalu sebesar 7,7% (yoy).

Angka itu turun jauh dari puncaknya 9,1% pada Juni lalu yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir. IHK AS pada bulan lalu juga lebih baik dari prediksi pasar dalam polling Reuters dan Trading Economics yang memprediksikan angka inflasi akan berada di 7,3% (yoy).

Namun, meskipun sudah melandai, tetapi inflasi masih jauh dari target The Fed yakni di 2%, sehingga The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya, meski lajunya telah diperlambat.

Inflasi yang masih cukup tinggi membuat data penjualan ritel di AS pada bulan lalu kembali mengecewakan, membuat pasar semakin khawatir bahwa resesi berpotensi melanda Negeri Paman Sam tahun depan.

Sebelumnya, Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel pada bulan lalu turun menjadi 0,6%, dari sebelumnya sebesar 1,3% pada Oktober lalu.

Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan penurunan sebesar 0,3%.

Tak hanya dari data penjualan ritel saja, data klaim pengangguran yang terpantau menurun menandakan bahwa data ketenagakerjaan di AS masih cukup baik.

Data klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 11 Desember kembali turun menjadi 211.000, atau turun 20.000 dari pekan sebelumnya menurut Departemen Tenaga Kerja.

Kampanye kenaikan suku bunga agresif The Fed akan mendorong ekonomi Negeri Paman Sam ke dalam resesi, di mana hal ini sudah lama terdengar di Wall Street, sehingga setiap kali investor mulai optimis, tetapi mereka juga langsung berubah sikap menjadi khawatir.

The Fed pun memproyeksikan bahwa Federal Fund Rates akan mencapai puncaknya pada 5,1% tahun depan, lebih tinggi dari perkiraan pasar.

Selain itu, The Fed juga memangkas target pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) AS untuk tahun 2023, menempatkan perkiraan kenaikan PDB hanya 0,5%, sedikit di atas apa yang dianggap sebagai resesi.

Prospek PDB untuk tahun ini juga ditetapkan sebesar 0,5%. Dalam proyeksi September lalu, anggota memprediksi PDB AS tahun ini tumbuh 0,2% tahun ini dan 1,2% tahun depan.

Selain The Fed, beberapa bank sentral di Eropa yakni bank sentral Swiss (Swiss National Bank/SNB), bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) dan bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) juga kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bp kemarin yang membuat bursa Eropa rontok.

BoE kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 bp menjadi 3,5%, level tertinggi dalam 14 tahun terakhir. Ini menjadi upaya terbaru bank itu untuk mendinginkan inflasi setinggi langit. Kenaikan tersebut merupakan yang kesembilan BoE berturut-turut.

"Pasar tenaga kerja tetap ketat dan ada bukti tekanan inflasi pada harga domestik dan upah yang dapat menunjukkan persistensi yang lebih besar dan dengan demikian membenarkan respons kebijakan moneter yang lebih kuat," kata BoE dalam sebuah pernyataan setelah kenaikan suku bunga terbarunya, Kamis (15/12/2022).

BoE pada Kamis memprediksi bahwa PDB Inggris akan berkontraksi 0,1% pada kuartal IV-2022, lebih baik dari perkiraan sebelumnya untuk kontraksi 0,3%.

Pemerintah Inggris mengatakan ekonomi Inggris berada dalam resesi yang diperkirakan akan berlanjut hingga tahun depan, karena dampak dari meroketnya tagihan energi dan bahan bakar.

Inflasi Inggris mencapai 10,7% (yoy) pada November 2022, level tertinggi selama sekitar 40 tahun terakhir. Harga-harga melonjak karena kendala pasokan yang disebabkan oleh serangan Rusia ke Ukraina, pencabutan lockdown pandemi, dan kejatuhan Brexit.

Melonjaknya harga telah mengikis nilai upah, menyebabkan pekerja sektor publik dan swasta melakukan pemogokan dalam upaya untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Sementara meningkatkan tabungan, kenaikan suku bunga meningkatkan biaya pinjaman untuk individu dan bisnis.

Tak hanya BoE saja, ECB juga kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bp kemarin. Hal tersebut diambil sebagai respons terhadap masih tingginya angka inflasi.

Mengutip Reuters, ECB memilih untuk menaikkan suku bunganya dari 1,5% menjadi 2%. Kenaikan 50 bp itu merupakan kenaikan suku bunga keempat yang dilakukan ECB di tahun ini.

"Dewan Pemerintah menilai bahwa suku bunga masih harus naik secara signifikan dengan kecepatan tetap untuk mencapai tingkat yang cukup ketat untuk memastikan pengembalian inflasi tepat waktu ke target jangka menengah 2%," kata ECB dalam sebuah pernyataan.

Adapun ECB memproyeksi tingkat inflasi di Eropa masih tetap naik secara signifikan di atas 2% hingga 2025. Di mana saat ini, inflasi rata-rata Eropa mencapai 8,4% di 2022.

ECB menargetkan inflasi bisa berangsur turun di level 3,4% di 2023, 2,3% di 2024, dan 2,3% di 2025. Pihaknya juga mengatakan, potensi resesi di Eropa 'relatif pendek dan dangkal'.

Hingga Kamis kemarin, pasar keuangan global kembali berjatuhan karena investor kembali dikhawatirkan dengan potensi resesi global akibat masih tingginya inflasi.

Inflasi global yang masih cukup tinggi dan bank sentral di beberapa negara yang masih bersikap hawkish pun membuat investor selalu berubah sikap dengan cepat, membuat pergerakan pasar keuangan masih dilanda ketidakpastian.

Namun apakah fenomena 'santa claus rally' tidak akan terjadi pada tahun ini?

Santa Claus Rally merupakan momen spesifik, di mana ada kecenderungan Wall Street akan mengalami kenaikan di 5 hari terakhir perdagangan setiap tahunnya, dan berlanjut di 2 hari pertama tahun yang baru.

Artinya, Santa Rally di AS sejatinya akan dimulai pada 26 Desember, dan berakhir pada 3 Januari 2023.

Namun jika pasar masih dihadapkan dengan kondisi pasar yang masih tidak pasti dan potensi resesi semakin kuat, maka fenomena Santa Claus Rally berpotensi tidak terjadi pada tahun ini.

Tetapi, juga masih ada kemungkinan bahwa Santa Claus Rally terjadi pada akhir tahun ini, meski pasar khawatir dengan resesi. Namun apabila terjadi, maka tahun ini tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya.

Di Tanah Air, pergerakan pasar keuangan terutama IHSG masih cenderung lesu. Padahal Desember tahun ini sudah memasuki pekan kedua.

IHSG justru mengalami pelemahan yang cukup dalam sejak akhir bulan November 2022. IHSG membukukan penurunan nyaris 4% terhitung sejak akhir November hingga kemarin.

Padahal secara historis, IHSG dalam dua dekade terakhir, IHSG selalu membukukan kinerja bulanan yang positif di bulan Desember.

Fenomena return positif di penghujung tahun sering disebut dengan istilah window dressing. Istilah ini sendiri mengacu pada strategi dari manajer investasi untuk meningkatkan performa portfolio sebelum disajikan kepada klien atau pemegang saham. Istilah ini melekat pada akhir tahun, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada akhir kuartal.

Para manajer investasi masuk secara besar-besaran di penghujung tahun ke saham-saham top holdings-nya agar harganya naik sehingga portofolio sang fund manager terlihat memiliki kinerja yang apik.

Sejarah mencatat, kinerja bulanan IHSG di setiap bulan Desember selalu positif. Sejak tahun 2002-2021 atau dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, IHSG tak pernah jatuh ke zona merah.

Median return bulanan IHSG di Desember mencapai 4,05%. Return tertinggi tercatat pada Desember 2003 dengan kinerja mencapai 12,12%.

Sementara itu kinerja IHSG terendah di bulan Desember tercatat pada tahun 2013 yang hanya membukukan return 0,42%.

Biasanya saham-saham yang menjadi incaran dari fenomena ini adalah saham-saham yang masuk kategori blue chip.

Saham-saham blue chip di Indonesia setidaknya bisa dilihat dari konstituen indeks IDX30. Namun tidak semua emiten konstituen IDX30 sudah lama melantai di bursa domestik.

Tetapi, jika kondisi global masih tidak memungkinkan, adanya kemungkinan window dressing tahun ini tidak terjadi memang masih ada. Namun pasar berharap bahwa window dressing tetapi akan terjadi, setidaknya menjelang penutupan tahun ini.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data flash reading PMI manufaktur Australia periode Desember 2022 (05:00 WIB),
  2. Rilis data flash reading PMI manufaktur Jepang periode Desember 2022 (07:30 WIB),
  3. Rilis data neraca perdagangan Singapura periode November 2022 (07:30 WIB),
  4. Rilis data ekspor non-minyak Singapura periode November 2022 (07:30 WIB),
  5. Rilis data penjualan ritel Inggris periode November 2022 (14:00 WIB),
  6. Rilis data flash reading PMI manufaktur Prancis periode Desember 2022 (15:15 WIB),
  7. Rilis data flash reading PMI manufaktur Jerman periode Desember 2022 (15:30 WIB),
  8. Rilis data flash reading PMI manufaktur Uni Eropa periode Desember 2022 (16:00 WIB),
  9. Rilis data neraca perdagangan Uni Eropa periode November 2022 (17:00 WIB),
  10. Rilis data final inflasi Uni Eropa periode November 2022 (17:00 WIB),
  11. Keputusan suku bunga bank sentral Rusia (17:30 WIB)
  12. Rilis data flash reading PMI manufaktur Amerika Serikat periode Desember 2022 (21:45 WIB).

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Luar Biasa PT Mahaka Media Tbk (09:30 WIB),
  2. RUPS Luar Biasa PT Victoria Insurance Tbk (10:00 WIB),
  3. RUPS Luar Biasa PT Superkrane Mitra Utama Tbk (14:00 WIB),
  4. Pembayaran dividen tunai PT Tempo Scan Pacific Tbk.

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY)

5,72%

Inflasi (November 2022 YoY)

5,42%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2022)

5,25%

Surplus Anggaran (APBN 2022)

3,92% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY)

US$ 1,3 miliar

Cadangan Devisa (November 2022)

US$ 134 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular