
Kado Akhir Tahun, Santa 'Fed' Claus Rally Bakal Segera Tiba?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuannya Federal Funds Rate (FFR) pada Kamis (15/12/2022) dini hari.
Sesuai dengan prediksi banyak pihak, The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%. Kenaikan tersebut lebih kecil setelah sebelumnya menaikkan sebesar 75 basis poin 4 kali beruntun.
Respon Wall Street (bursa saham AS) untuk saat ini masih negatif. Indeks Dow Jones tercatat melemah 0,42%, S&P 500 0,61%, dan Nasdaq seperti biasa paling besar penurunannya ketika suku bunga naik, yakni 0,76%.
Sepanjang tahun ini Wall Street mencatat kinerja yang buruk, sebabnya The Fed yang sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Saat ini suku bunga bank sentral pimpinan Jerome Powell ini berada di level tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Dengan suku bunga yang sangat tinggi, resesi pun mengancam Amerika Serikat yang membuat aset-aset berisiko rontok.
Namun, bukan tidak mungkin di penghujung tahun ini Wall Street akan bangkit dan bisa berdampak positif ke bursa saham lainnya, termasuk IHSG. Sebabnya, ada Santa Claus Rally.
Untuk diketahui, Santa Claus Rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga 2 hari perdagangan pertama di bulan Januari.
Indikasi awalnya terlihat dari indeks dolar AS yang turun 0,2% pada perdagangan Rabu, melanjutkan kemerosotan lebih dari 1% hari sebelumnya. Padahal The Fed kembali menaikkan suku bunga, dan mengindikasikan akan terus berlanjut hingga mencapai 5% - 5,25% di tahun depan, nyatanya indeks dolar AS tetap merosot hingga menyentuh level terendah dalam 6 bulan terakhir.
Jebloknya dolar AS bisa menjadi indikasi pelaku pasar tidak lagi memburu aset aman (safe haven), dan mulai melirik lagi aset berisiko.
Kemudian, imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury) juga tidak banyak bergerak. Yield Treasury tenor 10 tahun berada di kisaran 3,4%, dekat level terendah 3 bulan. Lazimnya ketika suku bunga naik, yield akan ikut terkerek.
Kenaikan yield Treasury sebelumnya juga berdampak buruk bagi pasar finansial global. Capital outflow terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia khususnya di pasar obligasi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), capital outflow di pasar SBN sempat lebih dari Rp 170 triliun. Namun, belakangan kondisi membaik, sejak November hingga 9 Desember ada capital inflow sekitar Rp 43 triliun.
Pergerakan modal asing menjelang akhir tahun tersebut tentunya bisa menjadi kabar baik, apalagi jika data-data ekonomi Amerika Serikat ke depannya, khususnya inflasi menunjukkan penurunan.
Sebab kata Powell, perlu lebih banyak bukti untuk merubah pandangan The Fed terkait inflasi. Sebagai catatan, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Amerika Serikat sudah mengalami penurunan 5 bulan beruntun, pada November tumbuh 7,1% year-on-year (yoy). Angka itu turun jauh dari puncaknya 9,1% pada Juni lalu yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.
Sinyal awal penurunan inflasi sudah sangat bagus, dan jika terus berlanjut ada peluang The Fed akan menurunkan suku bunganya di awal 2024.
Level suku bunga di atas 5% pada awal tahun depan sebenarnya sudah diantisipasi pasar jauh-jauh hari, kemudian dengan indeks dolar AS yang terus merosot dan yield Treasury yang tidak lagi menanjak, peluang terjadinya Santa "Fed" Claus Rally di akhir tahun ini cukup besar, dan bisa berdampak positif ke pasar finansial dalam negeri.
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pidato 8 Menit Powell Picu 'Huru-hara' di Pasar Asia