
Adu Ekonomi AS vs Rusia, Siapa yang Tahan Resesi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) dan Rusia merupakan negara yang sama-sama perkasa. Namun, jika dibandingkan, perekonomian negara manakah yang sukses bangkit dari resesi?
Dunia kini sedang dihadapkan dengan gelombang inflasi tinggi. Sama halnya dengan Negeri Paman Sam ini. Sejak perang antara Rusia dan Ukraina terjadi pada 24 Februari 2022 silam, kian membuat harga energi melonjak. Sehingga membuat AS mengalami angka inflasi tinggi.
Bahkan angka inflasi di AS sempat mencapai puncaknya pada Mei 2022 berada di di 9,1% secara tahunan (yoy). Akibatnya, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya untuk membawa angka inflasi ke target Fed di 2%.
Di sepanjang tahun ini, The Fed tercatat telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 425 bps dan mengirim tingkat suku bunga The Fed berada di 4,25%-4,5%.
Bahkan, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008.
Keagresifan Fed tersebut nyatanya membuahkan hasil. Saat ini, angka inflasi AS pun mulai melandai.
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) pada Rabu (14/12/2022) telah merilis angka inflasi yang diukur dari Indeks Harga Konsumen (IHK) per November 2022 yang berada di 7,1% secara tahunan (yoy). Melandai dari bulan sebelumnya di 7,7% yoy. Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut.
Angka inflasi tersebut juga berada di bawah konsensus analis Reuters dan Trading Economics yang memprediksikan angka inflasi akan berada di 7,3% secara tahunan.
Di sisi lainnya, keagresifan Fed tersebut membuat pertumbuhan ekonomi Negeri Star and Stripes sempat memasuki resesi secara teknikal karena mencatatkan pertumbuhan PDB minus secara dua kuartal beruntun.
US Bureau of Economic Analysis melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal I-2022, terkontraksi 1,6% (quarter-to-quarter/qtq). Lalu pada kuartal II-2022, ekonomi Negeri Paman Sam kembali terkontraksi 0,9% qtq.
Namun, pada kuartal III-2022, PDB AS sukses keluar dari zona resesi. PDB AS kuartal III-2022 mencapai 2,6%. Angka tersebut juga mengalahkan perkiraan pasar yang diprediksi hanya 2,4%.
Peningkatan tersebut memperlihatkan penurunan yang lebih kecil dalam investasi inventaris swasta, percepatan dalam investasi tetap non-perumahan, dan peningkatan dalam pengeluaran pemerintah federal.
Peningkatan pengeluaran pemerintah federal sendiri sebagian diimbangi oleh penurunan yang lebih besar dalam investasi tetap residensial dan perlambatan dalam belanja konsumen.
Di sisi pengeluaran, konsumsi pribadi di AS menyumbang 68% dari total PDB, terdiri dari pembelian barang 23% dan jasa 45%.
Sementara investasi swasta menyumbang 16% dari PDB, dan konsumsi serta investasi pemerintah sebesar 18%. Karena nilai barang yang diekspor (13,5%) lebih rendah dari nilai barang yang diimpor (16,5%), ekspor neto mengurangi 3% dari total nilai PDB AS.
Selain itu, meski Fed agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya, tapi pasar tenaga kerja AS masih kuat. Pada November 2022, angka lowongan pekerjaan mencapai 263.000 pekerjaan baru, lebih tinggi dari ekspektasi pasar yakni 200.000. Sementara, angka pengangguran tetap berada di 3,7%.
Meski ekonomi AS masih kuat, tetapi diperkirakan tidak akan lepas dari resesi di tahun depan.
Ekonom Bank of America memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di kuartal I-2023, saat PDB-nya mengalami kontraksi 0,4%.
"Kabar buruknya di 2023, proses pengetatan moneter akan menunjukkan dampaknya ke ekonomi," kata ekonom Bank of America, Savita Subramanian, sebagaimana dilansir Business Insider, akhir November lalu.
Bagaimana dengan perekonomian Rusia? Simak di halaman selanjutnya>>>
Kantor Statistik Rusia (Rosstat) melaporkan ekonomi Rusia kembali mengalami kontraksi sebesar 4% pada kuartal III 2022 dibanding kuartal III 2021 (year on year/yoy).
Dengan kontraksi ini, Rusia resmi mengalami resesi pasca sembilan bulan negeri itu melancarkan serangan ke Ukraina. Pasalnya, perekonomian Negeri Beruang Putih ini pada kuartal sebelumnya juga mengalami kontraksi sedalam 4,5% (yoy).
Mengutip AFP, mengutip badan statistik national Rosstat, kontraksi didorong penurunan perdagangan grosir sebesar 22,6% dan penurunan perdagangan ritel sebesar 9,1 %.
Memang konstruksi tumbuh 6,7% dan pertanian 6,2%. Namun perekonomian Rusia telah berjuang di bawah segudang masalah.
Ekonomi suatu wilayah atau negara dapat dikatakan mengalami resesi setelah dalam dua triwulan atau lebih secara beruntun mengalami kontraksi.
Sanksi yang diberlakukan oleh Negara-Negara Barat kepada Rusia karena melakukan invasi ke Rusia telah berdampak terhadap perekonomian negara yang dipimpin oleh Presiden Putin.
Pembatasan kegiatan ekspor impor, termasuk komponen manufaktur utama dan suku cadang. Perusahaan-perusahaan juga menderita kekurangan staf karena wajib militer yang diluncurkan Presiden Vladimir Putin ke Ukraina dengan aturan "mobilisasi parsial".
Sebelumnya, Rusia juga pernah mengalami resesi akibat terjadinya pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal 2020. Perekonomian negara tersebut mengalami kontraksi dalam 4 kuartal secara beruntun sejak kuartal II 2020 hingga kuartal I 2021.
Selain itu, Rusia juga mengalami hal serupa dengan negara-negara lainnya yang mengalami inflasi tinggi, bahkan menyentuh double digit.
Angka inflasi Rusia per November 2022 berada di 12% secara tahunan. Kendati begitu, angka inflasi tersebut kian melandai jika dibandingkan dengan bulan sebelumya di 12,6%.
Konsensus analis FocusEconomics memprediksikan angka inflasi Rusia akan berangsur turun pada 2023 di 6,8% dan 5,5% pada 2024.
Kendati angka inflasi kian menurun, tapi angka tersebut masih sangat tinggi bahkan melampaui angka inflasi di AS yang masih single digit. Selain itu, perekonomian Paman Sam sukses keluar dari jurang resesi, ketika Rusia masih berada di zona kontraksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf) Next Article Kabar Baik Tiba! "Hantu" Resesi Beneran Pergi dari Amerika?
