
Natal Sebelum Resesi, Warga AS Tak Berani Hura-Hura Belanja?

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari Natal tinggal menghitung hari, tapi ada yang berbeda pada tahun ini. Pasalnya, tahun ini merupakan tahun pertama untuk merayakan Natal, setelah masyarakat dunia berkutat dengan virus Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk membatasi kegiatan sosial selama lebih dari dua tahun.
Namun, permasalahan lain muncul. Tahun ini, perayaan Natal di Amerika Serikat (AS) terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi karena perang antara Rusia-Ukraina menghambat pasokan energi. Akibatnya, harga energi dan komoditas lainnya pun meroket. Angka inflasi pun meninggi, bahkan sempat menyentuh rekor tertinggi sejak 1982.
Departemen Tenaga Kerja AS mencatatkan angka inflasi AS per Juni 2022, yang diukur dari Indeks Harga Konsumen (IHK) menyentuh 9,1% secara tahunan (yoy). Angka inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak 41 tahun terakhir.
Namun, angka inflasi mulai melandai seiring agresifnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menaikkan suku bunga acuannya untuk menurunkan angka inflasi.
Terbukti, inflasi AS per November 2022 berada di 7,1% secara tahunan. Angka inflasi tersebut kian melandai jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 7,7% yoy.
Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut. Tak hanya itu, inflasi tersebut lebih rendah dari proyeksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan IHK turun menjadi 7,3% (yoy).
Di sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 425 bps sejak Maret 2022. Bahkan, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008.
Meski angka inflasi telah melandai, tapi masih jauh dari target Fed di 2%.
Namun, pada pekan ini, masyarakat di AS juga akan merayakan Hari Natal. Sudah bukan rahasia bahwa konsumsi masyarakat kerap mengalami peningkatan.
National Retail Federation (NRF) memprediksikan bahwa penjualan sepanjang libur Natal tahun ini akan meningkat di kisaran 6%-8% menjadi US$ 942,6 miliar hingga US$ 960,4 miliar. Lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2021, hanya mencapai US$ 889,3 miliar.
Sebaliknya, para analis memprediksikan bahwa masyarakat AS akan berfikir ulang saat berbelanja saat musim liburan dimulai karena inflasi dan suku bunga tinggi.
Perubahan pada pola belanja masyarakat tercermin pada penjualan ritel per November 2022 yang turun 0,6%. Penurunan tersebut menjadi yang terbesar dalam hampir setahun, setelah sempat melesat 1,3% pada Oktober 2022.
Penurunan tersebut membalikkan pola tradisi tahunan di mana masyarakat lebih konsumtif ketika akan menghadapi hari libur Natal dan banyak penawaran diskon khususnya saat "Black Friday" dan "Cyber Monday" yang berlangsung pada akhir November 2022.
![]() |
"Sejauh ini, inflasi adalah masalah terbesar bagi rumah tangga tahun ini," tutur Ekonom Senior Wells Fargo Tim Quinlan dikutip CNBC International.
"Keuangan rumah tangga terpukul dengan tingkat tabungan yang lebih rendah dan upah riil yang menurun sehingga menghambat penjualan saat liburan," tambahnya.
Penurunan angka penjualan ritel di AS telah menimbulkan kekhawatiran. Costco Wholesale Corp mengatakan pekan lalu bahwa pembeli mengurangi pembelian barang-barang dikresi besar. Sementara Walmart dan Target menilai bahwa konsumen menjadi lebih selektif dan memprioritaskan pengeluaran untuk makanan dan kebutuhan lainnya.
Tentu, jika daya beli masyarakat AS menurun maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi AS. Seperti diketahui, sebanyak 80% dari PDB AS merupakan kontribusi dari daya beli masyarakat, sehingga ketika masyarakat tidak konsumtif maka ada potensi bahwa PDB AS melambat.
Hal tersebut juga meningkatkan potensi bahwa resesi akan terjadi di AS. Ditambah lagi, analis memprediksikan bahwa Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acuannya hingga kuartal pertama tahun depan.
The Fed mengindikasikan suku bunga masih akan naik hingga awal tahun depan. Fed dot plot menunjukkan para pejabat elit The Fed memperkirakan suku bunga akan berada di kisaran 5% - 5,25%, artinya masih ada kenaikan 75 basis poin lagi, dengan kemungkinan kenaikan 50 basis poin pada Februari 2023 dan 25 bps sebelum berselang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)