Newsletter

Data Inflasi Tentukan Nasib Amerika Serikat! RI Terseret?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
13 December 2022 06:08
bursa amerika New York Stock Exchange Wall Street market
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup melesat lebih dari 1% pada perdagangan Senin (12/12/2022), berbalik arah dari penurunan tajam pada pekan sebelumnya, karena investor menanti rilis data inflasi terbaru dan rapat bank sentral AS.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melompat 1,58% ke posisi 34.005,04, S&P 500 melonjak 1,43% ke 3.990,59 dan Nasdaq Composite melesat 1,26% menjadi 11.143,74.

Saham Boeing menjadi penopang utama Dow Jones, menyusul laporan bahwa maskapai ini mendekati kesepakatan dengan Air India. Sedangkan saham energi naik karena harga minyak stabil.

Pada pekan lalu, Wall Street mengalami pekan yang sulit, di mana ketiganya mencatatkan koreksi. Dow dan S&P 500 mengalami kerugian mingguan terburuk sejak September, masing-masing turun 2,77% dan 3,4%. Sedangkan Nasdaq turun sekitar 4%.

"Tindakan hari ini sebagian besar merupakan pantulan refleks setelah kinerja buruk minggu lalu. Mungkin ada beberapa optimisme menjelang rilis data IHK besok, tetapi ada juga beberapa yang masih khawatir. Kita dapat melihat kekhawatiran itu hari ini di pasar yang naik untuk ekuitas yang sebenarnya membuat indeks VIX naik cukup tajam," kata Yung-Yu Ma, kepala strategi investasi BMO Wealth Management, dikutip dari CNBC International.

Menghijaunya Wall Street pada awal pekan ini di tengah sikap investor yang akan menanti rilis data inflasi pada pekan ini. Inflasi di tingkat konsumen (indeks harga konsumen/IHK) akan dirilis pada Selasa waktu setempat.

Konsensus pasar dalam polling Trading Economics memperkirakan IHK akan kembali melandai sedikit menjadi 7,3% (yoy) dan turun menjadi 0,3% (mtm). Sedangkan IHK inti juga akan melandai menjadi 6,1% (yoy).

Sebelumnya pada Oktober lalu, IHK AS dilaporkan melandai ke 7,7% (yoy) dibandingkan September (8,2%). Tetapi, IHK Oktober lalu masih jauh di atas target The Fed yakni 2%.

Inflasi akan menjadi pertimbangan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan kebijakan moneternya. Sehingga, perilisan IHK kali ini kembali akan dipantau secara ketat oleh The Fed.

Pasar juga akan memantaunya dengan ketat dari data IHK bulan lalu dan sekaligus untuk membuktikan bahwa The Fed memang benar-benar ingin mengurangi laju kenaikan suku bunga acuannya.

Setelah perilisan data IHK Negeri Paman Sam pada bulan lalu, pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed akan mengumumkan rapat kebijakan moneter terbarunya.

Konsensus pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bp) atau lebih rendah dari sebelumnya yang mencapai 75 bp. Namun, perkiraan ini tentunya akan melihat terlebih dahulu data inflasi per bulan lalu.

The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan secara agresif sebesar 375 bp sepanjang tahun ini menjadi 3,75-4,0%.

Selain itu, proyeksi ekonomi terbaru The Fed dan konferensi pers Ketua Jerome Powell juga akan ditunggu oleh pasar, di mana hal ini dapat menjadi sinyal utama untuk apa yang ingin dilakukan The Fed dalam beberapa bulan mendatang.

"Kondisi keuangan telah mereda secara dramatis sejak pembacaan IHK Oktober dirilis bulan lalu, sehingga The Fed kemungkinan akan menggunakan pertemuan FOMC Desember untuk mengembalikannya," kata Cliff Hodge, kepala investasi Cornerstone Wealth, dikutip dari CNBC International.

"Kami pikir pasar terlalu optimis pada suku bunga setelah kuartal pertama dan kami memperkirakan Powell akan mengambil nada yang lebih hawkish dan titik-titik tersebut menunjukkan suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama daripada yang saat ini dihargai oleh pasar," tambah Hodge.

Di lain sisi, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen memperkirakan adanya penurunan inflasi yang substansial pada akhir tahun depan, asalkan tidak ada "kejutan yang tidak terduga".

Yellen, berbicara dalam sebuah wawancara di "60 Menit" CBS, mendasarkan optimismenya pada penurunan biaya pengiriman dan harga bahan bakar.

Dia memperingatkan, bagaimanapun, bahwa risiko resesi tetap ada dan ekonomi masih rentan terhadap guncangan. Namun dia mengatakan hal ini dapat ditahan oleh sistem perbankan yang "sangat sehat" serta sektor bisnis dan rumah tangga yang positif.

"Ada risiko resesi. Tapi tentu saja, dalam pandangan saya, itu bukan sesuatu yang diperlukan untuk menurunkan inflasi," kata Yellen, dikutip dari CNBC International.

(chd/chd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular