
Dibayangi 'Hantu' Baru Resflasi, Bagaimana Daya Tahan IHSG?

Pelaku pasar patut menyimak sejumlah isu penting yang dapat menjadi sentimen pasar utama hari ini. Pada dasarnya, pasar keuangan sampai saat ini masih dibayangi oleh ragam sentimen eksternal yang akarnya dari ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina serta perkembangan Covid-19 di China.
Wall Street yang ditutup menguat pada perdagangan semalam tentunya membuka peluang penguatan IHSG pada hari ini.
Wall Street mengabaikan pengetatan kebijakan Covid-19 di China dan memilih fokus pada sejumlah laporan pendapatan yang kuat serta potensi kenaikan suku bunga yang lebih kecil di masa depan.
Dow Jones Industrial Average ditutup 397,82 poin, atau 1,18%, S&P 500 naik 1,36% menjadi 4.003,58, ini merupakan penutupan pertama di atas level 4.000 sejak September. Sementara, Nasdaq Composite juga naik 1,36% menjadi 11.174,41.
China lagi-lagi mengalami kematian pertamanya di daratan akibat Covid-19 sejak Mei selama akhir pekan. Ini memicu kekhawatiran di kalangan investor bahwa negara itu dapat mengembalikan pembatasan yang dimaksudkan untuk memperlambat penyebaran virus, yang akan merugikan bisnis.
"Seperti sebelumnya, investor harus memantau perkembangan dengan hati-hati karena pelaksanaan rencana pembukaan kembali yang setia akan menjadi kunci prospek investasi," katanya dalam catatan Selasa dikutip dari CNBC International.
Selain itu, pergerakan pasar finansial tentu saja masih berkaitan dengan suku bunga. Saat ini pelaku pasar cenderung mencari kepastian dengan menimbang-nimbang berbagai pernyataan pejabat elit The Fed.
Pada hari Senin (21/11), Presiden Fed Cleveland Loretta Mester telah mengatakan data inflasi baru-baru ini menjanjikan dan dia akan mendukung pengurangan kenaikan suku bunga ke depan. Itu bisa berarti bahwa Fed segera mencapai tingkat terminalnya, antara 4% dan 5%.
"Itu beban yang sangat besar di pundak investor yang sama sekali tidak punya tempat untuk bersembunyi tahun ini," kata Phil Camporeale, direktur pelaksana dan manajer portofolio di JPMorgan Asset Management di CNBC "Squawk on the Street".
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas suku bunga naik 50 basis poin (bps) menjadi 4,25% - 4,5% pada Desember kini sebesar 75,8%, sementara naik 25 bps menjadi 4,5 - 4,75% sebesar 24,2%.
Dari dalam negeri, setidaknya ada angin segar. Investor asing mulai melirik lagi pasar obligasi. Pada pekan lalu, Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun mengalami penguatan signifikan, yield-nya turun sebesar 15,7 basis poin menjadi 7,045%.
Yield SBN sudah turun dalam 3 pekan beruntun, dan investor asing banyak memborong di pasar sekunder.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, sepanjang bulan ini hingga 21 November, investor asing melakukan pembelian SBN di pasar sekunder senilai Rp 10 triliun. Porsi kepemilikan asing pun meningkat menjadi Rp 723,33 triliun.
Capital inflow yang terjadi merupakan kabar bagus, jika terus berlanjut bisa menjadi modal bagi rupiah untuk menguat. Inflow yang terjadi sepanjang bulan ini juga menjadi yang terbesar sepanjang 2022.
Maklum saja, perang Rusia-Ukraina serta bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga membuat investor asing menarik modalnya dari pasar SBN.
Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan sejumlah strategi yang akan ditempuh untuk menghadapi berlanjutnya gejolak perekonomian global hingga 2023.
Kebijakan yang akan ditempuh itu tercakup ke dalam 5 kebijakan inti, diantaranya menggunakan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas, serta melanjutkan kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pengembangan pasar keuangan, hingga ekonomi dan keuangan yang inklusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
untuk kebijakan moneter, BI telah menaikkan suku bunga acuan sejak Agustus hingga November 2022 dengan total mencapai 175 basis poin (bps). Dengan begitu suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate kini telah bertengger di level 5,25%,
Langkah kebijakan moneter ini tidak lain untuk mengendalikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti yang tinggi sebagai dampak dari terganggunya rantai pasokan global akibat perang Rusia dan Ukraina. Dia memastikan dengan cara ini inflasi akan bisa di bawah 4% pada semester I - 2023 dari yang Oktober 2022 sudah 5,71%.
Di sisi lain, investor tengah mencerna istilah baru yang dicetuskan BI yakni reflasi. Ini merupakan 'musuh tak kasat mata', tetapi dampaknya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo merujuk reflasi pada fenomena adanya resesi tetapi di sisi lain ada laju inflasi yang tinggi.
Resesi yang akan melanda beberapa negara besar sepertinya sudah tidak terelakkan lagi, bahkan dunia terancam mengalami hal yang sama. Indonesia memang jauh dari resesi, tetapi dampaknya juga akan terasa. Ekspor terancam menurun, begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi.
Resesi saja sudah menjadi masalah berat, apalagi ditambah dengan inflasi tinggi yang berarti naiknya harga barang mulai dari kebutuhan pokok hingga tersier. Naiknya harga tersebut tentunya membuat daya beli masyarakat menurun.
(aum/luc)