
Piala Dunia Dimulai, Bisa Kasih Angin Segar bagi IHSG?

Jakarta, CNBC Indonesia - Performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan lalu mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan, rupiah masih terperosok melawan dolar Amerika Serikat (AS), serta imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) juga ikut melemah.
Pergerakan IHSG bulan November ini sedang kurang memberikan cuan optimal. Awal bulan saja, IHSG sudah ambles 2 hari beruntun karena dikepung berbagai sentimen negatif yang ternyata belum sepenuhnya beranjak dari Tanah Air.
Indeks bursa saham acuan Tanah Air sepanjang pekan ini berada di dalam tren mendatar atau sideways. Melihat data perdagangan pekan terakhir, awal pekan saja indeks sudah jatuh nyaris 1% tepatnya melemah 0,98%.
Sepanjang pekan indeks tercatat 2 kali melemah dan 3 kali ditutup menguat. Pada sesi perdagangan terakhir minggu lalu, Jumat (18/11/20220) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)ditutup menguat 0,53% di 7.082,18.
Dengan ini, sepanjang pekan lalu kinerja IHSG tercatat melemah tipis 0,1%, namun masih menguat 0,92% sebulan terakhir, dan naik 7,61% secara year-on-year/yoy.
Nilai transaksi IHSG relatif kurang ramai atau hanya mencapai Rp 51,7 triliun. Pekan lalu, investor asing juga tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 3,02 triliun di pasar reguler.
Pasar keuangan AS, baik saham dan obligasi, menutup pekan lalu yang bergejolak dengan kenaikan terbesar dalam beberapa bulan, didorong oleh harapan bahwa inflasi di AS telah mendingin.
Namun, sinyal positif ini nyatanya belum mampu mendorong IHSG untuk konsisten berada di zona hijau.Meskipun inflasi di AS telah melandai, akan tetapi masih jauh di atas target perlambatan yang diinginkan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Menguatnya IHSG pada perdagangan hari terakhir pekan lalu di picu oleh sentimen dalam negeri.
Bank Indonesia (BI) yang telah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) sejak Rabu (16/11) akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) sesuai dengan konsensus.
Sementara itu rilis data transaksi berjalan Indonesia yang mencatatkan surplus. Transaksi berjalan pada triwulan III 2022 terus menunjukkan kinerja yang solid ditandai dengan peningkatan surplus sehingga dapat menahan tekanan terhadap NPI akibat tekanan pada transaksi modal dan finansial sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dengan perkembangan tersebut, NPI pada triwulan III 2022 mencatat defisit 1,3 miliar dolar AS, dan posisi cadangan devisa pada akhir September 2022 tercatat sebesar 130,8 miliar dolar AS atau setara dengan pembiayaan 5,7 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional.
Selanjutnya Mata uang Garuda kembali terperosok pada pekan lalu dan mencatatkan penurunan selama lima hari beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan terakhir di Rp 15.685/US$, melemah 0,16% di pasar spot. Dalam sepekan, rupiah tercatat melemah 1,26%.
Mata uang Garuda kembali mendekati level terlemah dalam dua setengah tahun terakhir di Rp 15.745/US$ yang dicapai pada 4 November lalu.
Nyatanya, suku bunga acuan Bank Indonesia yang naik masih belum mampu menguatkan rupiah.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar50 menjadi 5,25%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (17/11/2022).
Dengan demikian, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps hanya dalam waktu 4 bulan beruntun. BI juga menaikkan suku bunga dengan cukup agresif, 50 basis poin dalam 3 bulan beruntun. Langkah BI tersebut belum mampu mendongkrak kinerja rupiah.
Selain itu,pasokan valuta asing, khususnya dolar AS yang tiris di dalam negeri menjadi salah satu penyebab loyonya rupiah. Ketika jumlah dolar di dalam negeri berkurang, dan permintaannya tinggi, harganya tentunya akan menanjak.
Salah satu penyebab devisa tersebut tidak berada di dalam negeri yakni suku bunga valas yang kurang kompetitif. Eksportir pun lebih memilih menempatkan dolar-nya di luar negeri.
Pergerakan nilai tukar Rupiah selama 2022 lebih dipengaruhi oleh dinamika yang terkait dengan kebijakan suku bunga acuan yang diambil oleh bank-bank sentral negara lain, terutama the Fed Fund Rate (FFR).
Kenaikan FFR secara agresif telah menyebabkan terjadinya capital outflow secara masif dan memperlemah nilai tukar rupiah.
Sementara itu, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup kompak melemah pada perdagangan Jumat (11/11/2022). Setelah Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuannya.
Mayoritas investor cenderung melepas SBN, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Tetapi untuk SBN tenor 30 tahun masih ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield, yakni turun 2,4 basis poin (bp) ke posisi 7,51%, dilansir dari Refinitiv.
Sedangkan untuk yield SBN bertenor 20 tahun stagnan di level 7,143%, sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) naik 1,5 bp menjadi 7,036%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Tiga indeks utama Wall Street atau bursa saham Amerika Serikat (AS) kompak ditutup menguat pada perdagangan akhir pekan lalu. Para pelaku pasar tengah mencerna data ekonomi terbaru dan mengabaikan komentar hawkish dari pejabat Federal Reserve (Fed) tentang kenaikan suku bunga.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup menguat 199,37 poin atau 0,59%, pada 33.745,69. Indeks S&P 500 bertambah 18,78 poin atau 0,48%, menjadi 3.965,34. Indeks Komposit Nasdaq naik tipis 1,10 poin atau 0,01%, ke posisi 11.146,06.
Adapaun sepanjang pekan lalu, Dow Jones turun kurang dari 0,01%, Indeks S&P 500 terkoreksi 0,7%, dan Indeks Nasdaq melemah 1,6%.
Keuntungan pasar terjadi meskipun banyak data ekonomi yang lesu. National Association of Realtors melaporkan bahwa penjualan rumah yang ada (existing home) di AS turun 5,9% pada Oktober, turun selama sembilan bulan berturut-turut, karena lonjakan suku bunga KPR dan harga tinggi mendorong pembeli keluar dari pasar.
Sementara The Conference Board yang berbasis di New York mengatakan Indeks Ekonomi Utama AS turun selama delapan bulan berturut-turut pada Oktober, "menunjukkan ekonomi mungkin dalam resesi."
Selain itu, pemimpin The Fed Boston Susan Collins mengatakan bahwa dengan sedikit bukti tekanan harga berkurang, The Fed mungkin perlu memberikan kenaikan suku bunga 75 basis poin lagi ketika berupaya mengendalikan inflasi.
Para pelaku pasar saham siap memasuki musim window dressing jelang akhir tahun 2022. Window dressing merupakan istilah yang digunakan oleh investor, dimana ada dugaan emiten ataupun manajer investasi memoles kinerja pada akhir tahun.
Untuk pekan ini, ada sejumlah sentimen penting patut disimak oleh investor dan pelaku pasar. Pertama, Wall Street yang ditutup sumringah pada perdagangan Jumat pekan lalu tentunya membuka peluang penguatan IHSG pada hari ini.
Kedua, suku bunga masih menjadi perhatian utama pelaku pasar. Menjelang keputusan kebijakan The Fed pada 14 Desember mendatang pelaku pasar tentunya menunggu, mengamati, hingga mencerna berbagai pernyataan pejabat The Fed berkaitan dengan sinyal kenaikan suku bunga.
Beberapa waktu lalu, pejabat The Fed mengisyaratkan kenaikan siklus terbaru untuk memperlambat inflasi masih tidak terkontrol. Sejak Kamis pekan lalu, Presiden Federal Reserve St Louis James Bullard mengatakan dalam pidatonya Kamis bahwa "tingkat kebijakan belum berada di zona yang dapat dianggap cukup membatasi (tingginya inflasi)."
Sementara The Conference Board yang berbasis di New York mengatakan Indeks Ekonomi Utama AS turun selama delapan bulan berturut-turut pada Oktober, "menunjukkan ekonomi mungkin dalam resesi."
Pemimpin The Fed Boston Susan Collins juga mengatakan bahwa dengan sedikit bukti tekanan harga berkurang, The Fed mungkin perlu memberikan kenaikan suku bunga 75 basis poin lagi ketika berupaya mengendalikan inflasi.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas suku bunga naik 50 basis poin (bps) menjadi 4,25% - 4,5% pada Desember kini sebesar 75,8%, sementara naik 25 bps menjadi 4,5 - 4,75% sebesar 24,2%.
Saat pelaku pasar percaya bahwa The Fed akan tetap agresif, perdagangan saham-saham yang rentan terhadap resesi dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi patut dicermati.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) juga mengakui sulit untuk menghindarkan perekonomian dari resesi atau soft landing.
Powell menambahkan untuk bisa menghindarkan perekonomian AS dari resesi di 2023 adalah pekerjaan yang sangat berat, sebab suku bunga masih perlu dinaikkan tinggi guna meredam inflasi.
Ketiga, pelaku pasar juga patut mencermati pergerakan rupiah. Kebijakan kenaikan Bank Indonesia 7 Days Repo Rate (BI-7DRR) pada bulan ini yang menyentuh level 5,25%, namun masih belum mampu membawa rupiah menguat pekan lalu.
Pelemahan rupiah bisa berdampak besar ke sektor riil, pasar finansial, hingga ke anggaran belanja pemerintah.
Dari sektor finansial sudah jelas, stabilitas rupiah menjadi penting untuk menjaga daya tarik ke investor asing. Rupiah yang stabil membuat investor asing lebih nyaman mengalirkan modalnya ke dalam negeri, karena risiko kurs yang rendah.
Beberapa emiten di lantai bursa juga terpapar risiko negatif, utamanya yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS tinggi, serta yang mengandalkan bahan baku impor, atau barang impor.
Keempat, investor patut mencermati perhelatan akbar 4 tahunan sepak bola Piala Dunia 2022 akan dimulai kemarin, Minggu (20/11/2022). Untuk diketahui, Keriuhan dan hype yang biasa bergema sebelum Piala Dunia seperti lenyap tahun ini.
Ada sejumlah alasan mengapa Piala Dunia 2022 Qatar tidak seramai pada tahun-tahun sebelumnya.Waktu penyelenggaraan yang tak biasa, isu hak asasi manusia (HAM), banyaknya kontroversi terkait tuan rumah, hingga banyaknya platform yang menyediakan siaran Piala Dunia menjadi alasan mengapa Piala Dunia tahun ini seperti lebih sepi.
Di luar itu semua, perhelatan Piala Dunia juga berdampak pada pasar saham. Financial Review yang mengutip hasil riset dari Monash University menyebutkan pasar saham akan mengalami penurunan likuiditas dan peningkatan volatilitas.
Hasil riset tersebut menunjukkan volume transaksi akan naik sebesar 22% sebelum kick-off, kemudian menurun 29% selama pertandingan. Hal itu disebabkan investor yang cenderung menempatkan order sebelum kick-off agar bisa lebih fokus menonton pertandingan.
Perilaku investor tersebut, berdasarkan hasil riset membuat volatilitas meningkat 18% sebelum pertandingan, dan langsung turun 23% selama pertandingan.
Indonesia tidak lolos dalam perhelatan Piala Dunia 2022. Tetapi ada Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya, yang memiliki kapitalisasi pasar besar.
Jika melihat hasil studi tersebut, tentunya pergerakan bursa sahamnya akan terpengaruh. Amerika Serikat akan bertanding melawan Wales pada 22 November mendatang, Wall Street bisa jadi akan merespon hasil duel kedua negara.
Sebagai kiblat bursa saham dunia, Wall Street tentunya bisa memberikan dampak ke pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Selanjutnya, ada kabar baik dari dalam Negeri yang menjadi sentimen kelima untuk hari ini, tang Luar Negeri (ULN) Indonesia turun hingga sekitar 2,22 persen secara tahunan pada kuartal III - 2022. Semakin rendahnya utang, artinya semakin kecil kemungkinan Indonesia terjerat krisis seperti Sri Lanka atau Argentina.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) pada bulan itu, ULN sebesar US$394,6 miliar, turun dari kuartal II - 2022 sebesar US$403,6 miliar. Penyebabnya, pemerintah mulai melunasi beberapa utang yang telah jatuh tempo.
Dari total ULN pada periode itu, untuk porsi ULN Pemerintah secara tahunan turun tajam hingga 11,3% secara tahunan atau year on year (yoy) dari kuartal sebelumnya US$ 187,3 miliar menjadi US$ 182,3 miliar. Penurunannya pun lebih dalam dari saat penurunan kuartal II - 2022 sebesar 8,6%.
Penurunan posisi ULN Pemerintah tersebut disebabkan oleh perpindahan investasi pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik ke instrumen lain, sehingga mengurangi porsi kepemilikan investor nonresiden pada SBN domestik.
Ini katanya seiring dengan meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global. Selain itu, menyusutnya porsi ULN Pemerintah itu kata dia juga terjadi akibat adanya pelunasa beberapa pinjaman program dan proyek yang telah jatuh tempo.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
- Pidato 2 Pejabat BoE (04:05, 03:00)
- Suku Bunga Dasar Pinjaman China November (08:15)
- Rilis data Producer Price Index (PPI) Jerman bulan Oktober (02:00)
- Indeks Aktivitas Nasional Fed Chicago periode Oktober (08:30)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
Musim laporan keuangan untuk kuartal ketiga baru dimulai akhir bulan lalu dan masih berlangsung dengan satu per satu perusahaan mulai melaporkan kinerja keuangan sembilan bulan terakhir. Selain pelaporan kinerja keuangan, terdapat beberapa agenda korporasi yakni :
- HMETD PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB)
- HMETD PT Bank Neo Commerce Tbk (BMAS)
- DPS Dividen Tunai Interim PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA)
- Pembayaran Dividen Tunai Interim PT Caturkarda Depo Bangunan Tbk (DEPO)
- Pemberitahuan RUPS Rencana PT MNC Vision Networks Tbk (IPTV)
- Pemberitahuan RUPS Rencana Millennium Pharmacon International Tbk (SDPC)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/luc) Next Article Masih Syok Suku Bunga Naik, Bagaimana Daya Tahan IHSG?
