Pasar keuangan AS, baik saham dan obligasi, pekan lalu menutup minggu yang bergejolak dengan kenaikan terbesar dalam beberapa bulan, didorong oleh harapan bahwa inflasi di AS telah mendingin.
Pekan lalu, pasar keuangan global ikut dikejutkan oleh salah satu perkembangan terliar tahun ini. Banyak investor terjerat pada drama antara dua perusahaan crypto paling terkemuka, FTX dan Binance, awal pekan lalu. Hal tersebut pada akhirnya dengan cepat berkembang menjadi krisis aset kripto yang mengancam akan menyebabkan kerugian bagi investor besar dan kecil, dengan FTX mengajukan kebangkrutan pada hari Jumat, yang menunjukkan kerentanan di pasar crypto.
Ketakutan tersebut bahkan sempat menjalar ke investor saham, yang menyebabkan aksi jual pasar pada pertengahan minggu. Namun, pada hari Kamis, data baru tentang inflasi-dengan secercah harapan bahwa inflasi akan turun-membuat saham meroket lebih tinggi.
 Foto: Google Finance Pergerakan indeks utama Wall Sreet pekan lalu |
Mengikuti pengumuman inflasi yang mulai mendingin, harga obligasi pemerintah AS mengalami reli besar dan mendorong imbal hasil menjadi lebih rendah. Dolar berbalik arah dan saham ikut melonjak. Secara khusus, saham teknologi menjadi penerima manfaat besar dari pergerakan baru-baru ini dan mulai sedikit memangkas penurunan besar dari awal tahun.
Benchmark S&P 500 naik 0,9% pada Jumat, sehari setelah data inflasi yang lebih kecil mengirim indeks mengalami kenaikan satu hari terbesar sejak April 2020. Dow Jones Industrial Average menambahkan naik 0,1%, sedangkan Nasdaq menguat atau 1,9% pada Jumat.
Harga indeks S&P 500 dan Nasdaq melonjak 5,9% dan 8,1% sepanjang pekan lalu, kinerja terbaik mereka masing-masing sejak Juni dan Maret, sementara Dow tercatat naik 4,1%.
Saham perusahaan teknologi besar menjadi kontributor utama reli pekan lalu. Amazon.com melonjak hampir 11% pekan lalu. Saham induk Google, Alphabet, juga menguat dengan kisaran yang sama. Bahkan saham ARK Innovation Exchange-Traded Fund - dengan pertumbuhan yang lebih spekulatif ikut melonjak 15% untuk minggu lalu.
Pasar obligasi AS ditutup untuk perayaan Hari Veteran akhir pekan lalu. Pada hari Kamis, imbal hasil Treasury Note dua dan 10 tahun mencatat penurunan yield satu hari terbesar dalam lebih dari satu dekade. Imbal hasil 10 tahun turun menjadi 3,828% pada hari Kamis, penurunan hasil satu minggu terbesar sejak 2020.
Dolar AS pada hari Kamis juga mengalami penurunan terbesar sejak krisis keuangan 2008-09, memperpanjang penurunannya baru-baru ini.
Sementara itu dari China, langkah Beijing untuk melonggarkan pembatasan pandemi menambah semangat di pasar keuangan global. Ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah menyeret pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dengan memberlakukan penguncian dan membatasi perjalanan untuk mengendalikan virus corona.
Pada hari Jumat, otoritas kesehatan setempat mengatakan Beijing mempersingkat waktu para pelancong harus tinggal di karantina dan membatasi pengujian massal, beserta langkah-langkah lainnya. Optimisme tersebut mendorong harga minyak mentah Brent naik 2,5% menjadi US$ 95,99 per barel.
Meskipun inflasi telah melandai, akan tetapi masih jauh di atas target perlambatan yang diinginkan The Fed. Angka tersebut juga jauh lebih tinggi daripada suku bunga acuan utama Fed.
Presiden The Fed Cleveland Loretta Mester mengatakan Kamis bahwa mengatakan bahwa laporan hari Kamis "menunjukkan beberapa pelonggaran dalam inflasi keseluruhan dan inti," meskipun dia juga mencatat trennya masih "sangat tinggi."
Investor dan pelaku pasar patut menyimak sejumlah isu penting yang dapat menjadi sentimen pasar utama perdagangan pekan ini, mulai dari neraca dagang, kebijakan moneter BI hingga pergolakan di pasar kripto.
Pertama, sentimen yang patut dicermati yakni gelaran KTT G20 yang akan berlangsung pekan ini di Bali selama dua hari mulai Selasa 15 November hingga Rabu 16 November 2022. Pernyataan peminpin utama dunia dalam konferensi ini berpotensi menjadi penggerak pasar keuangan global.
Presiden RI Joko Widodo beserta berbagai Kepala Negara dari 20 anggota KTT G20 akan hadir dalam acara tersebut dan mengangkat tema "Recover Together, Recover Stronger". Sejumlah bahasan penting mulai dari keamanan pangan hingga transformasi digital akan didiskusikan oleh pemimpin negara ekonomi utama dunia.
Kedua, rilis data Neraca Perdagangan Indonesia per Oktober 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pada Selasa (15/11/2022). Data terbaru untuk September, neraca perdagangan RI surplus senilai US$ 4,99 miliar.
Posisi tersebut melampaui prediksi konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada September sebesar US$ 4,85 miliar.
Ekspor Indonesia pada September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar, tumbuh 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Realisasi ekspor merupakan terendah sejak Mei 2022.
Sedangkan, impor pada September 2022 mencapai US$ 19,81 miliar.
Pada hari yang sama, sentimen ketiga sebagai penggerak pasar yakni rilis Indeks Harga Produsen (IHP) AS per Oktober 2022. IHP kerap menjadi salah satu rilis data ekonomi yang dinantikan oleh investor global.
Hal tersebut karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menggunakan data IHP sebagai masukan sebelum memutuskan mengambil kebijakan moneter selanjutnya.
Konsensus analis Trading Economics, memprediksikan IHP AS per Oktober 2022 akan melandai dari 8,5% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 8,3%. Sedangkan, IHP diproyeksikan akan naik 0,5% secara bulanan (month-to-month/mtm) dari 0,4% pada periode sebelumnya.
Sentimen keempat yakni datang dari Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan merilis kebijakan moneter terbarunya pada Kamis (17/11/2022).
Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) dan membawa tingkat suku bunga acuan naik dari 4,75% menjadi 5%.
Sementara tingkat suku bunga Deposit Facility dan suku bunga Lending Facility di proyeksi akan naik yang masing-masing sebesar 25 bps menjadi 4,25% dan 5,75%.
Hal tersebut tampaknya menjadi langkah BI untuk meminimalisir tekanan terhadap pasar keuangan Tanah Air karena Fed diproyeksikan masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga Maret 2023, di mana tingkat suku bunga diprediksi akan mencapai kisaran 5%-5,25%.
Padahal, di sepanjang tahun ini, Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps, di mana tingkat suku bunga Fed saat ini menjadi 3,75%-4% dan menjadi level tertinggi sejak Januari 2008.
Meski begitu, perekonomian Indonesia menunjukkan kekuatannya di tengah kenaikan suku bunga oleh Fed dan bank sentral lainnya untuk meredam inflasi yang berpotensi mengerek ekonomi dunia ke jurang resesi.
Dengan ekonomi yang kuat, BI tentunya punya ruang untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah, yang belakangan terpuruk, sekaligus menjaga inflasi.
Kelima, rilis data inflasi dari Inggris dan Eropa yang patut dicermati untuk mengetahui situasi ekonomi dunia.
Pada Rabu (16/11), Kantor Statistik Nasional dijadwalkan akan merilis angka inflasi Inggris per Oktober 2022. Konsensus Trading Economics memprediksikan inflasi akan mencapai 10,6% secara tahunan (yoy).
Di sisi lainnya, ekonomi Inggris telah terkontraksi atau minus 0,2% pada kuartal III-2022. Melansir CNBC International, Bank sentral Inggris (BOE) memproyeksikan akan terjadinya resesi di Inggris setelah adanya penurunan ekonomi di kuartal III-2022. Angka pengangguran diperkirakan mencapai 6,5% dalam dua tahun ke depan.
Sementara pada Kamis (17/11), EUROSTAT akan merilis angka inflasi Eropa per Oktober 2022. Konsensus Trading Economics juga memproyeksikan angka inflasi akan kembali melonjak ke 10,7% dari sebelumnya di 9,9% secara tahunan.
Hal tersebut memperkuat alasan bank sentral untuk terus memperketat kebijakan moneternya, utamanya dengan menaikkan suku bunga dan ikut meningkatkan potensi resesi di Eropa.
Indonesia sendiri hingga saat ini diperkirakan masih relatif aman dari resesi. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah data ekonomi yang jauh lebih baik dari negara ekonomi utama dunia lainnya.
Sentimen terakhir yang juga patut dicermati adalah saga kehancuran bursa kripto FTX. Saat ini CEO perusahaan telah mengundurkan diri dan diikuti oleh pendaftaran perusahaan ke pengadilan kebangkrutan AS. Miliar dolar uang investor kripto diperkirakan lenyap akibat kelalaian ini dan diprediksi bakal mengirim hentakan ke pasar keuangan secara luas, khususnya pasar kripto. Masih belum diketahui secara pasti seberapa besar dampak yang akan terjadi ke pasar ekuitas dan keuangan secara umum, mengingat saat ini kasus tersebut masih berlangsung.
Namun apabila saga ini ikut menyeret sejumlah nama besar lain, investor dan pelaku pasar wajib mewaspadai potensi penularan ke pasar keuangan yang lebih luas.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
Pidato Pejabat The Fed Waller (04.30)
Pidato Pejabat ECB Panetta (17.00)
Pidato Pejabat ECB Enria (18.00)
Laju Inflasi India Oktober (19.00)
Pidato Pejabat The Fed (15.00)
Pidato Pejabat ECB Guindos (23.15)
Pidato Pejabat The Fed Brainard (23.30)
Musim laporan keuangan untuk kuartal ketiga baru dimulai akhir bulan lalu dan masih berlangsung dengan satu per satu perusahaan mulai melaporkan kinerja keuangan sembilan bulan terakhir. Selain pelaporan kinerja keuangan, terdapat tiga agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Jasa Angkasa Semesta (JASS), Link Net (LINK) dan MNC Digital Entertainment (MSIN).
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA