
KTT G20 Digelar di Bali Pekan Ini, Bisa Jadi Obat Kuat IHSG?

Investor dan pelaku pasar patut menyimak sejumlah isu penting yang dapat menjadi sentimen pasar utama perdagangan pekan ini, mulai dari neraca dagang, kebijakan moneter BI hingga pergolakan di pasar kripto.
Pertama, sentimen yang patut dicermati yakni gelaran KTT G20 yang akan berlangsung pekan ini di Bali selama dua hari mulai Selasa 15 November hingga Rabu 16 November 2022. Pernyataan peminpin utama dunia dalam konferensi ini berpotensi menjadi penggerak pasar keuangan global.
Presiden RI Joko Widodo beserta berbagai Kepala Negara dari 20 anggota KTT G20 akan hadir dalam acara tersebut dan mengangkat tema "Recover Together, Recover Stronger". Sejumlah bahasan penting mulai dari keamanan pangan hingga transformasi digital akan didiskusikan oleh pemimpin negara ekonomi utama dunia.
Kedua, rilis data Neraca Perdagangan Indonesia per Oktober 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pada Selasa (15/11/2022). Data terbaru untuk September, neraca perdagangan RI surplus senilai US$ 4,99 miliar.
Posisi tersebut melampaui prediksi konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada September sebesar US$ 4,85 miliar.
Ekspor Indonesia pada September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar, tumbuh 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Realisasi ekspor merupakan terendah sejak Mei 2022.
Sedangkan, impor pada September 2022 mencapai US$ 19,81 miliar.
Pada hari yang sama, sentimen ketiga sebagai penggerak pasar yakni rilis Indeks Harga Produsen (IHP) AS per Oktober 2022. IHP kerap menjadi salah satu rilis data ekonomi yang dinantikan oleh investor global.
Hal tersebut karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menggunakan data IHP sebagai masukan sebelum memutuskan mengambil kebijakan moneter selanjutnya.
Konsensus analis Trading Economics, memprediksikan IHP AS per Oktober 2022 akan melandai dari 8,5% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 8,3%. Sedangkan, IHP diproyeksikan akan naik 0,5% secara bulanan (month-to-month/mtm) dari 0,4% pada periode sebelumnya.
Sentimen keempat yakni datang dari Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan merilis kebijakan moneter terbarunya pada Kamis (17/11/2022).
Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) dan membawa tingkat suku bunga acuan naik dari 4,75% menjadi 5%.
Sementara tingkat suku bunga Deposit Facility dan suku bunga Lending Facility di proyeksi akan naik yang masing-masing sebesar 25 bps menjadi 4,25% dan 5,75%.
Hal tersebut tampaknya menjadi langkah BI untuk meminimalisir tekanan terhadap pasar keuangan Tanah Air karena Fed diproyeksikan masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga Maret 2023, di mana tingkat suku bunga diprediksi akan mencapai kisaran 5%-5,25%.
Padahal, di sepanjang tahun ini, Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps, di mana tingkat suku bunga Fed saat ini menjadi 3,75%-4% dan menjadi level tertinggi sejak Januari 2008.
Meski begitu, perekonomian Indonesia menunjukkan kekuatannya di tengah kenaikan suku bunga oleh Fed dan bank sentral lainnya untuk meredam inflasi yang berpotensi mengerek ekonomi dunia ke jurang resesi.
Dengan ekonomi yang kuat, BI tentunya punya ruang untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah, yang belakangan terpuruk, sekaligus menjaga inflasi.
Kelima, rilis data inflasi dari Inggris dan Eropa yang patut dicermati untuk mengetahui situasi ekonomi dunia.
Pada Rabu (16/11), Kantor Statistik Nasional dijadwalkan akan merilis angka inflasi Inggris per Oktober 2022. Konsensus Trading Economics memprediksikan inflasi akan mencapai 10,6% secara tahunan (yoy).
Di sisi lainnya, ekonomi Inggris telah terkontraksi atau minus 0,2% pada kuartal III-2022. Melansir CNBC International, Bank sentral Inggris (BOE) memproyeksikan akan terjadinya resesi di Inggris setelah adanya penurunan ekonomi di kuartal III-2022. Angka pengangguran diperkirakan mencapai 6,5% dalam dua tahun ke depan.
Sementara pada Kamis (17/11), EUROSTAT akan merilis angka inflasi Eropa per Oktober 2022. Konsensus Trading Economics juga memproyeksikan angka inflasi akan kembali melonjak ke 10,7% dari sebelumnya di 9,9% secara tahunan.
Hal tersebut memperkuat alasan bank sentral untuk terus memperketat kebijakan moneternya, utamanya dengan menaikkan suku bunga dan ikut meningkatkan potensi resesi di Eropa.
Indonesia sendiri hingga saat ini diperkirakan masih relatif aman dari resesi. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah data ekonomi yang jauh lebih baik dari negara ekonomi utama dunia lainnya.
Sentimen terakhir yang juga patut dicermati adalah saga kehancuran bursa kripto FTX. Saat ini CEO perusahaan telah mengundurkan diri dan diikuti oleh pendaftaran perusahaan ke pengadilan kebangkrutan AS. Miliar dolar uang investor kripto diperkirakan lenyap akibat kelalaian ini dan diprediksi bakal mengirim hentakan ke pasar keuangan secara luas, khususnya pasar kripto. Masih belum diketahui secara pasti seberapa besar dampak yang akan terjadi ke pasar ekuitas dan keuangan secara umum, mengingat saat ini kasus tersebut masih berlangsung.
Namun apabila saga ini ikut menyeret sejumlah nama besar lain, investor dan pelaku pasar wajib mewaspadai potensi penularan ke pasar keuangan yang lebih luas.
(fsd/fsd)