Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia belum mendapat dorongan yang cukup kuat untuk kembali reli.
Harga aset-aset keuangan domestik masih tertekan, baik saham, obligasi maupun nilai tukar rupiah. Setidaknya itulah yang terjadi kemarin.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,66% dan ditutup di 7.052,3 mengawali perdagangan awal November.
Mayoritas saham mengalami koreksi harga. Statistik perdagangan mencatat ada 355 saham yang harganya drop. Sebanyak 186 saham menguat dan 161 saham stagnan.
Di pasar Surat Berharga Negara (SBN), imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun cenderung flat. Namun, yield acuan tersebut tetap berada di 7,5% dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya.
Nilai tukar rupiah juga mengalami depresiasi. Di pasar spot, rupiah melemah 0,19% di hadapan dolar AS dan ditutup di Rp 15.625/US$.
Rilis data PMI manufaktur yang masih ekspansif serta mulai melandainya inflasi di dalam negeri belum mampu menjadi katalis positif yang kuat untuk saham, SBN dan rupiah.
IHS Markit melaporkan indeks PMI manufaktur Indonesia berada di 51,8 pada Oktober 2022. Indeks PMI manufaktur RI turun 1,9 poin dibandingkan dengan posisinya di bulan September 2022.
Meski turun, angka PMI yang tetap ada di atas 50 menunjukkan sektor yang berkontribusi hampir seperlima PDB Indonesia ini tetap ekspansif dan mencatat rekor ekspansi 14 bulan beruntun ketika negara-negara maju seperti Eropa dan Inggris cenderung terkontraksi.
Rilis data inflasi juga positif. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi deflasi sebesar 0,11% di Indonesia pada Oktober 2022. Laju inflasi Indonesia juga melandai menjadi 5,71% year on year (yoy) dari sebelumnya di 5,95% yoy pada September 2022.
Berbeda dengan inflasi umum yang melandai, inflasi inti masih naik. Per Oktober 2022, inflasi inti Indonesia naik 3,31% yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang mencapai 3,21% yoy.
Kenaikan inflasi inti kemungkinan masih terkait dengan dampak penyesuaian harga BBM subsidi yang dilakukan pemerintah pada September 2022.
Meskipun sulit untuk mendapatkan cuan di pasar keuangan domestik akhir-akhir ini, tetapi ada hal yang patut disyukuri. Tekanan yang terjadi di pasar keuangan RI tidak sebesar yang dialami negara-negara lain.
Di tengah berbagai isu resesi yang terus menjadi perhatian, ekonomi Indonesia masih diramal tumbuh 5% tahun depan oleh banyak pihak, salah satunya IMF.
Survei Bloomberg juga menunjukkan bahwa peluang resesi terjadi Indonesia termasuk yang paling kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Peluang resesi RI hanya 3%.
Padahal negara seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam peluang resesinya diperkirakan mencapai lebih dari 5%. Inilah faktor yang membuat mengapa IHSG masih memberikan return positif lebih dari 7% sepanjang tahun ini.
Beralih ke bursa saham AS, indeks saham Wall Street dibuka hijau cerah di awal bulan November 2022. Namun penguatan tidak berlangsung lama sebelum indeks jatuh ke zona koreksi.
Indeks Dow Jones naik 0,37%; indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing menguat 0,6% dan 0,85%. Namun hingga akhir perdagangan, ketiganya sudah 'nyungsep' ke zona merah dimana Dow longsor 0,24%, S&P 500 merah 0,41%, dan Nasdaq down 0,89%.
Volatilitas di pasar aset-aset berisiko seperti saham masih dirasakan oleh berbagai pihak terutama investor.
Volatilitas yang tinggi tecermin dari pergerakan berfluktuasi. Bayangkan saja di bulan Oktober 2022, ketiga indeks saham Bursa New York berhasil mencatatkan kinerja yang positif. Bahkan Dow Jones menguat 14% dan menjadi kinerja bulanan terbaik sejak Januari 1976.
Penguatan Dow Jones yang melebihi kedua indeks lain yaitu S&P 500 dan Nasdaq Composite cenderung ditafsirkan sebagai fenomena investor yang cenderung bermain defensif karena konstituen Dow Jones kebanyakan saham blue chip dan berfundamental baik.
Di sisi lain, kendati ada penurunan yield obligasi AS (US Treasury Note), tetapi tidak terlalu terasa. Untuk diketahui, yield obligasi negara acuan AS tenor 10 tahun sempat turun ke bawah 4%. Namun penurunannya hanya 3 basis poin (bps) saja dan masih dalam tren naik.
Pelaku pasar masih terus mencermati kelanjutan musim rilis laporan keuangan di AS. Optimisme mulai muncul seiring dengan adanya ekspektasi tentang ekonomi China dan kebijakan bank sentral AS.
Narasi bahwa China akan segera keluar dari kebijakan zero Covid-19 policy mulai banyak diperbincangkan di kalangan pelaku pasar.
Jika China mengakhiri kebijakan zero covid policy yang selama ini mereka jalankan, maka ada harapan bahwa negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu akan tumbuh.
Di sisi lain ada juga yang berekspektasi bahwa bank sentral AS akan mulai menurunkan kadar hawkish-nya melihat kondisi ekonomi AS yang diramal bakal terguncang resesi.
Untuk bulan November ini, Fed diperkirakan masih akan mengerek naik suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 4%.
Rasanya masih terlalu dini untuk berekspektasi lebih pada kondisi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini.
Respons pasar juga masih sangat reaktif terhadap berbagai kemungkinan yang ada termasuk jatuhnya ekonomi global ke jurang resesi dan krisis keuangan yang menjadi momok menyeramkan.
Well, bagaimanapun juga volatilitas di pasar keuangan AS akan berdampak ke pasar Asia termasuk Indonesia yang akan buka pagi ini.
Setidaknya ada beberapa faktor atau sentimen yang perlu menjadi cermatan bagi pelaku pasar hari ini. Fokus utama pelaku pasar saat ini adalah harga komoditas, kinerja keuangan emiten dan pergerakan nilai tukar.
Di pasar komoditas, harga batu bara memang naik 1,39% ke US$ 369/ton. Namun harga batu bara telah anjlok tajam dibandingkan dengan awal bulan September 2022 yang mencapai US$ 463/ton.
Anjloknya harga batu bara acuan global juga membuat saham-saham emiten batu hitam Tanah Air terkena pukulan telak.
Saham-saham blue chip sektor batu bara anjlok tajam kemarin. Saham PTBA drop 4,1%; ADRO melemah 5,8%, sedangkan saham ITMG, INDY dan HRUM anjlok lebih dari 6%.
Kenaikan harga batu bara yang minimalis sepertinya tidak cukup kuat untuk mendorong harga saham-saham batu bara yang menjadi pendorong penguatan IHSG sepanjang tahun ini.
Dari sisi nilai tukar, rupiah juga melemah 9,65% sepanjang tahun ini. Bank Indonesia (BI) melihat bahwa tekanan yang dihadapi rupiah ke depan masih akan besar seiring dengan agresivitas bank sentral AS untuk mengerek naik suku bunga.
"Dolar Amerika Serikat menguat hampir terhadap seluruh mata uang, baik mata uang negara utama, maupun sebagian besar mata uang emerging market (pasar negara berkembang)," jelasKepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Edi Susianto kepada CNBC Indonesia, Senin (1/11/2022).
Dengan harga komoditas yang mulai melandai dan peluang pelemahan rupiah, katalis positif untuk mendorong penguatan harga aset investasi domestik menjadi terbatas.
Investor kini hanya bisa menaruh harapan pada amunisi terakhir yaitu kinerja keuangan emiten kuartal III-2022.
Dari beberapa emiten yang sudah merilis kinerja kuartal III-2022, hasilnya memang masih baik. Laba bank-bank kakap yang menjadi proxy untuk kesehatan pasar modal Indonesia masih tumbuh positif.
Kinerja korporasi juga tumbuh tercermin dari laporan keuangan emiten BUMN pada kuartal III-2022.
Secara agregat kedua belas BUMN tersebut mencatatkan laba bersih sebesar Rp 77,1 triliun hingga September 2022.
Laba bersihnya naik 39% year on year (yoy) dibanding September 2021 yang hanya mencapai Rp 55,6 triliun.
Kendati kinerja keuangan moncer, akan tetapi rasanya masih sulit untuk IHSG kembali tembus 7.100 dan yield SBN turun kembali ke level 7%.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data laju inflasi Korea Selatan bulan Oktober 2022 (06:00 WIB).
- Rilis risalah rapat bank sentral Jepang/BoJ (06:50 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,44 % |
Inflasi (Oktober 2022, YoY) | 5,71% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 4,75% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -3,92% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022) | 1,1% PDB |
Cadangan Devisa (Juli 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA