CNBC Indonesia Research

Kabar Baik Tiba! "Hantu" Resesi Beneran Pergi dari Amerika?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
28 October 2022 10:15
Bendera Amerika Serikat
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) belakangan memang di proyeksi bakal resesi. Diketahui bahwa negeri Paman Sam ini sudah tertekan pasca perang Rusia-Ukraina meletus. Lalu benarkah itu hanya ramalan belaka? Padahal negara-negara di dunia sudah was was jika negara dengan ekonomi terbesar ini jatuh ke jurang resesi.

Risiko resesi di Amerika Serikat (AS) memang sudah lama dikhawatirkan karena memiliki dampak berkelanjutan bagi ekonomi global. Resesi AS juga bisa mempengaruhi perekonomian nasional, karena negeri Pam Sam ini merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Tadi malam waktu Indonesia, AS telah melaporkan pertumbuhan ekonominya pada kuartal III-2022 ini yang ternyata berada di luar ekspektasi atau tumbuh 2,6%. Tentu saja, ini menandakan ekonomi Paman Sam telah pulih dari kontraksi ekonomi yang terjadi pada paruh pertama tahun ini.

Mengutip laporan dari Biro Analisis Ekonomi AS yang dirilis Kamis (27/10/2022), sebelumnya PDB AS menyusut sebesar 0,6% di kuartal kedua dan 1,6% di kuartal pertama. Sehingga, kenaikan Ekonomi AS pada kuartal III-2022 yang mencapai 2,6% kali ini mengalahkan perkiraan pasar yang diprediksi hanya 2,4%.

Tumbuhnya ekonomi AS menujukan penurunan yang lebih kecil dalam investasi inventaris swasta, percepatan dalam investasi tetap non-perumahan, dan peningkatan dalam pengeluaran pemerintah federal.

Peningkatan pengeluaran pemerintah federal sendiri sebagian diimbangi oleh penurunan yang lebih besar dalam investasi tetap residensial dan perlambatan dalam belanja konsumen.

Di sisi pengeluaran, konsumsi pribadi di AS menyumbang 68% dari total PDB, terdiri dari pembelian barang 23% dan jasa 45%.

Sementara investasi swasta menyumbang 16% dari PDB, dan konsumsi serta investasi pemerintah sebesar 18%. Karena nilai barang yang diekspor (13,5%) lebih rendah dari nilai barang yang diimpor (16,5%), ekspor neto mengurangi 3% dari total nilai PDB AS.

Jika ditarik ke belakang, perekonomian AS sudah merosot tajam sejak 2021 karena program stimulus The Fed berakhir. Kemudian, inflasi merajalela dan memotong belanja konsumen serta pendapatan perusahaan. Ditambah lagi dengan naiknya harga energi pasca perang Rusia-Ukraina meletus 24 Februari lalu.

Inflasi di Amerika Serikat (AS) berada di dekat level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Pada September, inflasi tercatat melambat menjadi 8,2%. Ini merupakan angka terendah dalam tujuh bulan. Agustus lalu, inflasi tercatat 8,3%. Meski begitu, ini tetap lebih tinggi di atas perkiraan pasar 8,1%.

Pada akhirnya The Fed tak segan mengorbankan ekonomi demi mencapai tujuannya menurunkan inflasi. Hingga kini, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sudah menaikkan suku bunga sebesar 300 basis poin menjadi 3% - 3,25%. 

Langkah agresif inilah yang menyebabkan banyak sekali analis yang memproyeksikan ekonomi AS mengalami perlambatan ekspansi dan pemulihan. Tapi benar saja, sejak agresifnya The Fed Secara definisi, AS sudah masuk ke dalam resesi dengan mencatatkan pertumbuhan negatif dua kali berturut-turut selama dua kuartal di tahun yang sama. Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal II-2022.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Jadi, AS Batal Jatuh Ke Jurang Resesi Dong?

Membaiknya ekonomi AS seakan menepis semua kabar bahwa AS sudah berada di jurang resesi. Presiden AS Joe Biden memberikan konferensi pers terkait ini. Menurutnya ekonomi AS memang menunjukkan pemulihan.

"Pemulihan ekonomi kami terus berlanjut," katanya, dikutip AFP pada Kamis (27/10/2022).

"Segalanya terlihat baik," tambah mantan wakil presiden AS era Barrack Obama itu yang memang akan menghadapi momen politik lain di negaranya dalam waktu dekat yakni pemilihan paruh waktu anggota kongres AS.

Komentar senada juga dikatakan Menteri Keuangan Janet Yellen. Ia mengatakan data baru menandakan ekonomi sedang bergeser ke arah "pertumbuhan berkelanjutan".

Meski demikian, analis memperingatkan risiko rumah tangga yang bergulat dengan harga yang melonjak. Ini akan membuat banyak masyarakat menarik tabungan mereka. Akan ada risiko khusus untuk konsumsi karena rumah tangga terus menghadapi tantangan dari harga tinggi dan kemungkinan pertumbuhan pekerjaan yang lebih lambat ke depan.

Kalau kita mau yakin AS Bakal resesi atau tidak, coba telusuri indikator makro lainnya. Nyatanya memang, pasar tenaga kerja AS menunjukkan kekuatannya pada September lalu, dengan perusahaan swasta menambahkan lebih banyak pekerjaan dari yang diharapkan.

Artinya tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara total. Pasar tenaga kerja yang kuat membuat kabar resesi Amerika Serikat semakin abu-abu. 

Data dari Automatic Data Processing, Inc. (ADP) melaporkan ada sekitar 208.000 pekerjaan yang bertambah pada bulan lalu, naik dari Agustus lalu yang sebesar 185.000 pekerjaan. Angka ini juga lebih besar dari perkiraan pasar dalam polling Dow Jones sebesar 200.000 pekerjaan.

Dari per sektornya, keuntungan itu datang ketika industri penghasil barang melaporkan penurunan posisi 29.000, dengan manufaktur turun 13.000 dan sumber daya alam dan pertambangan kehilangan 16.000.

Namun, lonjakan besar terjadi di sektor perdagangan, transportasi, dan utilitas yang membantu mengimbangi kerugian tersebut, karena sektor ini melihat kenaikan pekerjaan sebesar 147.000.

Di lain sisi, laporan tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% pada September dari bulan sebelumnya 3,7%. Kemudian sepanjang September, perekonomian AS menyerap 263.000 tenaga kerja, tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara total, dengan rata-rata kenaikan upah 5% year-on-year (yoy).

Kondisi tenaga kerja AS terkini menunjukkan bahwa peningkatan suku bunga dan pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan The Fed belum berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja. Dunia usaha masih berkespansi, tenaga kerja masih terserap cukup besar, dan tidak ada tanda-tanda PHK. Artinya, meski perekonomian AS berkontraksi.

Dengan membaiknya perekonomian AS, pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) dikabarkan mulai terbelah mengenai kebijakan moneter mereka. Sebagian dari pejabat The Fed menginginkan pelonggaran kebijakan moneter mulai Desember tetapi sebagian lainnya tetap ingin melanjutkan kebijakanhawkish.

Wall Street Journal pekan lalu melaporkan adanya "perpecahan" tersebut. Seluruh pejabat The Fed sepakat dan tidak ada keraguan jika mereka ingin tetap menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis points (bps) pada pertemuan 1-2 November mendatang.

Artinya, kebijakan suku bunga acuan The Fed kemungkinan naik sebesar 75 bps selama empat pertemuan beruntun setelah kenaikan 75 bps pada Juni, Juli, dan September.

Beberapa pejabat The Fed secara terang-terangan juga sudah mengemukakan perbedaan pendapatnya.

Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa melonggarkan kebijakanhawkishnya.Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.

"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bps lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bps tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat.Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.

Sebaliknya, Presiden The Fed Chicago Charles Evans adalah salah satu pejabat yang tetap menginginkan keberlanjutan kebijakanhawkish.Dia menginginkan suku bunga acuan bisa dinaikkan hingga 4,5% pada tahun depan untuk kemudian ditahan.

Di sisi lain, pejabat The Fed akan terus mengamati indikator makro dengan cermat karena The Fed masih akan berupaya untuk membendung inflasi yang tinggi hingga menyentuh target di 2%. Namun dengan membaiknya ekonomi AS, The Fed bisa berbahagia karena di tengah kebijakannya yang begitu Agresif justru mampu mengangkat ekonomi AS di luar perkiraan ekonom.

Kendati demikian, 'hura-hura' pertumbuhan ekonomi AS tak bisa berlarut-larut. Ke depan, masih ada tantangan besar yang terus menghantui AS. Inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas, hingga konflik geopolitik Ukraina dan Rusiayang belum usai patut menjadi tanda waspada bagi AS dan negara-negara lainnya.

Sejumlah lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2023 berada pada kisaran 2,3%-2,9%. Turun dari estimasi tahun ini, di kisaran 2,8%-3,2%. Penurunan harga dan permintaan komoditas dunia tetap menjadi sinyal berbahaya bagi negara-negara di dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular