
Sambut Oktober, Data Inflasi Jadi 'Kunci' Laju IHSG

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak ditutup melemah pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot nyaris 2% dan rupiah mencatatkan kinerja bulanan terburuk sejak awal pandemi Covid-19.
Pada perdagangan Jumat (30/9), IHSG berhasil ditutup di zona hijau, setelah melemah 5 hari beruntun. Meski begitu, penguatannya tipis 0,07%, tapi mampu mengantarkan IHSG kembali ke level psikologis 7.000 setelah sempat longsor ke bawah level tersebut. IHSG pun berakhir ke posisi 7.040,79.
Namun, di sepanjang bulan September 2022, IHSG mencatatkan koreksi yang cukup tajam sebesar 1,9%. Dalam 22 hari perdagangan, IHSG berhasil menguat 12 hari dan terkoreksi 10 hari.
Sejak 22 September 2022 atau tepat ketika bank sentral Amerika Serikat (AS) (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bps). Selain itu, pada hari yang sama, Bank of England (BOE) dan Swiss National Bank (SNB) juga kompak menaikkan suku bunganya yang masing-masing sebesar 50 bps dan 75 bps.
Pengetatan moneter global yang kompak dilakukan oleh mayoritas bank sentral berbagai negara di dunia membuat takut investor di seluruh pasar keuangan. Ketatnya kebijakan moneter merupakan langkah yang diambil untuk mengekang inflasi yang sudah lama bergerak liar dan memperlemah daya beli masyarakat.
Namun, upaya intervensi artifisial dari sisi permintaan tersebut berpotensi menyebabkan resesi apabila tidak dikendalikan dengan baik. Hal tersebut merupakan ketakutan utama investor yang menjadi pendorong utama aksi jual di pasar modal belakangan ini.
Meski demikian, secara kuartalan IHSG masih mampu mencatatkan pengembalian positif dan merupakan indeks acuan yang berkinerja terbaik tidak hanya di Asia Tenggara, namun juga Asia Pasifik tahun ini. Secara year to date, IHSG berhasil menguat 6,98%.
Penguatan IHSG sebagian ditopang oleh kinerja saham sektor energi yang lebih baik di tengah tingginya harga komoditas serta permintaan yang melesat pasca pembukaan ekonomi yang lebih luas dan ikut diperparah oleh gangguan rantai pasokan. Sementara itu di dunia, IHSG berada di peringkat kelima hanya kalah dari Turki, Argentina, Cili dan Qatar.
Di luar Asia, S&P 500 turun 3,8% pada kuartal ketiga dan Nasdaq Composite turun 2,6%, kemudian FTSE 100 dan DAX Jerman masing-masing turun 4,0% dan 6,3%.
Senasib, rupiah berhasil menutup hari terakhir perdagangan di September (30/9/2022) dengan menguat 0,23% ke Rp 15.225/US$ terhadap dolar AS. Namun, kinerja Mata Uang Garuda di sepanjang bulan September 2022, terkoreksi tajam sebesar 2,6% dan menjadi pelemahan terbesar secara bulanan sejak Maret 2022 atau 2,5 tahun terakhir.
Terkoreksinya rupiah dipicu oleh keperkasaan dolar AS di pasar spot. Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya, terpantau melesat 3,14% di sepanjang September 2022.
Keperkasaan dolar AS tersebut turut ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan oleh Fed. Meski begitu, Bank Indonesia (BI) pun langsung bertindak cepat dan menaikkan suku bunga 50 bps, lebih tinggi dari konsensus analis yang disurvei CNBC Indonesia. Saat ini suku bunga acuan BI berada di angka 4,25%.
Kenaikan agresif oleh BI terjadi salah satunya dilakukan untuk menjaga nilai tukar rupiah, selain juga untuk mengontrol inflasi yang sudah naik signifikan, namun masih di bawah level darurat yang terjadi di negara-negara maju.
Kenaikan ini merupakan yang kedua secara beruntun dan lebih agresif dilakukan oleh BI, dari semula sebesar 25 bps pada bulan Agustus.
Selain dari kebijakan moneter BI sejatinya juga melakukan beragam intervensi, salah satunya pembelian SBN di pasar sekunder. Akan tetapi tingkat efektivitas upaya triple intervention tersebut tampaknya makin berkurang dan tidak bisa lagi menjadi buffer tunggal untuk menahan pelemahan rupiah.
Kemudian kaburnya dana asing dari pasar domestik ikut memperburuk kinerja rupiah. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang tahun ini hingga 26 September terjadi capital outflow di pasar SBB hingga Rp 150 triliun. Alhasil, kepemilikan SBN oleh investor asing kini kurang dari 15%.
Namun, kepemilikan asing yang semakin menciut setidaknya dapat memberikan secercah harapan baru bagi rupiah, mengingat risiko terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar lagi, sehingga stabilitas rupiah lebih terjaga.
Akan tetapi tantangan terbesar rupiah saat ini masih akan datang dari faktor eksternal utama yakni penguatan indeks dolar yang tampaknya tidak akan langsung turun signifikan, setidaknya tidak dalam waktu dekat. Hal ini karena The Fed yang masih bersikaphawkishdan diperkirakan siap untuk kembali menaikkan suku bunga secara agresif.
Hal ini juga sejalan dengan pandangan pada analis dan ekonom. Sebanyak 59 dari 83 ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada November. Kemudian, di Desember, The Fed diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%.
Keperkasaan dolar AS, nyatanya juga menekan kinerja mayoritas mata uang di Asia. Di sepanjang perdagangan pada September 2022, dolar Taiwan berhasil menjadi mata uang berkinerja terburuk, terkoreksi 4,65% terhadap dolar AS. Disusul oleh yen Jepang dan baht Thailand yang terkoreksi masing-masing sebesar 4,17% dan 3,42%.
Beralih ke AS, bursa saham Wall Street pada akhir perdagangan September, Jumat (30/9/2022) berakhir terkoreksi. Ketiga indeks utama Wall Street kompak melemah dibayangi kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga dan isu resesi global.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) berakhir tergelincir 500 poin atau 1,71%. Sedangkan, indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite melemah tajam masing-masing 1,51%.
Di sepanjang September 2022, indeks Dow Jones ambles 8,8%, sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq jatuh yang masing-masing sebesar 9,3% dan 10,5%. Dari 11 sektor pada indeks S&P 500, hanya indeks sektor real estate yang berhasil di zona hijau, sementara sektor teknologi terkoreksi tajam.
"Ini adalah lingkungan yang sulit untuk ekuitas dan fixed income, sesuatu yang kami harapkan mengingat pandangan kami tentang Fed mempertahankan suku bunga lebih tinggi lebih lama dan pasar mulai melihat pandangan itu," tutur Manajemen Portfolio Horizon Investments Zachary Hill dikutip CNBC International.
"Dalam waktu dekat, kami kemungkinan akan melanjutkan volatilitas pasar dengan bias ke bawah saat kami menuju musim rilis kinerja keuangan," tambahnya.
Wakil Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Lael Brainard pada Jumat (30/9) menggaris bawahi perlunya menurunkan inflasi dan mengatakan bahwa The Fed berkomitmen untuk menghindari penurunan suku bunga acuannya sebelum waktunya.
Saham Nike turun tajam setelah melaporkan penjualannya meningkat, tapi rantai pasokan dan masalah inventaris menghambat laba. Sahamnya berakhir ambles 12,8%.
Pada kuartal III-2022, indeks S&P 500 dan Nasdaq anjlok yang masing-masing sebesar 5,3% dan 4,1%, sedangkan indeks Dow Jones jatuh 6,7% dan mengalami penurunan pada kuartal ketiga beruntun dan menjadi pertama kalinya sejak 2015.
Di awal perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen, salah satunya yaitu ambruknya bursa saham AS pada pekan lalu.
Terkoreksinya bursa Wall street dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap potensi resesi setelah mayoritas bank sentral dunia mengetatkan kebijakan moneternya dengan kompak menaikkan suku bunga acuan untuk meredam tsunami inflasi yang melanda di berbagai negara di dunia.
Padahal, perekonomian AS secara teknis sudah memasuki zona resesi. Berdasarkan data dari Biro Analisis Ekonomi AS yang dirilis Kamis (29/9/2022), ekonomi AS mengalami kontraksi 0,6% secara tahunan pada kuartal II/2022, tak berubah dari pembacaan awal pada akhir Juli lalu.
Data tersebut mengonfirmasi bahwa AS telah memasuki resesi secara teknis menyusul kontraksi 1,6% pada kuartal I-2022.
Namun, tampaknya hal tersebut tidak menghentikan komitmen The Fed untuk membawa turun inflasi ke target Fed di 2%. Bahkan, analis memprediksikan bahwa The Fed akan kembali agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya hingga akhir tahun ini.
"The Fed tidak akan memperlambat laju kenaikan suku bunga mereka dengan 75 basis poin pada November dan 50 basis poin lebih banyak pada Desember," kata Kepala Ekonom di FWDBONDS New York Christopher Rupkey dikutip CNBC International.
Ambruknya bursa Wall Street, dapat menjadi lampu kuning bagi investor global karena bisa membebani laju pasar ekuitas di kawasan lainnya.
Selain itu, hari ini investor dalam negeri juga perlu mencermati rilis data inflasi terbaru untuk bulan September dan akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi pers yang akan digelar Senin (3/10/2022) pukul 11.00 WIB.
Konsensus Trading Economics memprediksikan bahwa inflasi pada September 2022 akan naik hingga ke 6% secara tahunan (yoy). Senada, konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia dari 14 lembaga keuangan menilai, angka inflasi akan melesat rata-rata 1,2% poin persentase secara month-to-month (mtm). Hasil polling juga memperkirakan bahwa angka inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) akan berada di 5,98% dan tertinggi sejak Oktober 2015.
Polling CNBC juga sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu IV September 2022, BI memperkirakan inflasi September menembus 1,1% (mtm).
Sebagai catatan, Indonesia mencatatkan deflasi sebesar 0,21% (mtm) sementara inflasi tahunannya menembus 4,69% pada Agustus 2022.
Kenaikan pada angka inflasi diprediksikan dipicu oleh naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Pada 3 September 2022, pemerintah Indonesia telah menaikkan harga BBM Subsidi Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Disusul, harga Solar subsidi dikerek menjadi Rp 6.800 per liter dari Rp 5.150 per liter. Dua BBM Subsidi terset rata-rata naik 31,4%.
Padahal, porsi konsumsi Petralite sebesar 47% dari total konsumsi BBM, sehingga kenaikan sebesar 30% pada harga BBM bersubsidi tentunya akan berdampak pada angka inflasi.
Selanjutnya, S&P Global juga dijadwalkan untuk mengumumkan angka PMI Manufaktur Indonesia yang diperkirakan masih mengalami ekspansi pada bulan September. Jika benar, ekspansi ini merupakan yang ke-13 kali beruntun, dengan kontraksi terakhir terjadi pada bulan Agustus tahun lalu, ketika varian delta menyebar luas.
S&P Global juga akan merilis angka PMI Manufaktur final dari berbagai kawasan, di antaranya dari Eropa dan Inggris. Melansir konsensus Trading Economics, PMI manufaktur di Eropa diprediksikan akan mengalami kontraksi ke 48,5 dari 49,6 di Agustus 2022.
Berbeda nasib, konsensus Trading Economics memproyeksikan PMI Manufaktur Inggris akan memangkas kontraksinya pada September 2022 menjadi 48,5 dari 47,3 di bulan sebelumnya. Meski begitu, aktivitas manufaktur Inggris masih tetap terkontraksi.
Hal tersebut tidak lepas dari pukulan telak atas lonjakan energi pasca agresi Rusia ke Ukraina. Harga gas patokan Eropa saat ini naik menjadi sekitar 208 euro per megawatt hour (MWh), sudah lebih rendah dari Agustus, tetapi melonjak lebih dari 200% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.
Pabrikan adalah pihak paling terpukul akibat lonjakan biaya energi setelah invasi Rusia ke Ukraina melecut harga gas, sementara mal-mal sepi karena orang memilih menghabiskan waktu di rumah untuk berhemat.
Pascaperang Rusia-Ukraina, Uni Eropa sekarang hanya mendapatkan 9% gas alam dari Rusia, dibandingkan dengan 40% tahun lalu. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen beberapa waktu lalu mengatakan, 13 negara anggota UE sudah tidak lagi menerima gas dari Rusia.
Jika perekonomian di benua biru melambat, dampaknya memang tidak terlalu besar pada RI. Ekspor Indonesia ke negara-negara Eropa dari Januari sampai Juli kemarin senilai US$ 12,1 miliar, atau hanya setara 7,7% dari total ekspor non migas nasional. Porsi itu masih jauh di bawah China (20,9%), AS (10,96%) dan Jepang (8,23).
Dampak resesi Eropa ada tapi kecil, berupa penurunan permintaan barang ekspor-ekspor, mengingat para warga di sana mulai mengurangi belanja. Untungnya, posisi Eropa relatif masih kecil kontribusinya pada kinerja ekspor yang merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Terakhir, investor juga akan disuguhkan dengan rilis PMI Manufaktur AS per September 2022 dari Institute for Supply Management (ISM). Analis Trading Economics memprediksikan bahwa angka aktivitas manufaktur AS masih akan ekspansif meski akan menurun sedikit dari 52,8 menuju 52,2 pada September 2022.
Melansir data dari Kementerian Perdagangan, nilai ekspor non-migas antara RI dan AS cukup besar, senilai US$ 19,86 miliar atau setara Rp 301 triliun (asumsi kurs Rp 15.255/US$) pada periode Januari hingga Agustus 2022. Bahkan, AS merupakan mitra dagang RI kedua terbesar setelah Tiongkok.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- S&P Global Manufaktur Indonesia per September 2022 (07:30 WIB)
- Inflasi Indonesia September 2022 (11:00 WIB)
- Data PMI Manufaktur Eropa final per September 2022 (15:00 WIB)
- Data PMI Manufaktur Inggris final per September 2022 (15:30 WIB)
- Data PMI Manufaktur AS per September 2022 (21:00 WIB)
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Estika Tata Tiara Tbk (BEEF) (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) (10:30 WIB)
- RUPSLB PT Harum Energy Tbk (HRUM) (14:00 WIB)
Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Tingkat | |
Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (Agustus 2022 YoY) | 4.69% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022) | 4,25% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (3,92% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022) | (1,1%) PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (Agustus 2022) | US$ 123,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/luc) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat