Newsletter

Sambut Oktober, Data Inflasi Jadi 'Kunci' Laju IHSG

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
03 October 2022 06:00
Inflasi Bulan Juni Kenaikan Pasca Lebaran
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Di awal perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen, salah satunya yaitu ambruknya bursa saham AS pada pekan lalu.

Terkoreksinya bursa Wall street dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap potensi resesi setelah mayoritas bank sentral dunia mengetatkan kebijakan moneternya dengan kompak menaikkan suku bunga acuan untuk meredam tsunami inflasi yang melanda di berbagai negara di dunia.

Padahal, perekonomian AS secara teknis sudah memasuki zona resesi. Berdasarkan data dari Biro Analisis Ekonomi AS yang dirilis Kamis (29/9/2022), ekonomi AS mengalami kontraksi 0,6% secara tahunan pada kuartal II/2022, tak berubah dari pembacaan awal pada akhir Juli lalu.

Data tersebut mengonfirmasi bahwa AS telah memasuki resesi secara teknis menyusul kontraksi 1,6% pada kuartal I-2022.

Namun, tampaknya hal tersebut tidak menghentikan komitmen The Fed untuk membawa turun inflasi ke target Fed di 2%. Bahkan, analis memprediksikan bahwa The Fed akan kembali agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya hingga akhir tahun ini.

"The Fed tidak akan memperlambat laju kenaikan suku bunga mereka dengan 75 basis poin pada November dan 50 basis poin lebih banyak pada Desember," kata Kepala Ekonom di FWDBONDS New York Christopher Rupkey dikutip CNBC International.

Ambruknya bursa Wall Street, dapat menjadi lampu kuning bagi investor global karena bisa membebani laju pasar ekuitas di kawasan lainnya.

Selain itu, hari ini investor dalam negeri juga perlu mencermati rilis data inflasi terbaru untuk bulan September dan akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi pers yang akan digelar Senin (3/10/2022) pukul 11.00 WIB.

Konsensus Trading Economics memprediksikan bahwa inflasi pada September 2022 akan naik hingga ke 6% secara tahunan (yoy). Senada, konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia dari 14 lembaga keuangan menilai, angka inflasi akan melesat rata-rata 1,2% poin persentase secara month-to-month (mtm). Hasil polling juga memperkirakan bahwa angka inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) akan berada di 5,98% dan tertinggi sejak Oktober 2015.

Polling CNBC juga sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu IV September 2022, BI memperkirakan inflasi September menembus 1,1% (mtm).

Sebagai catatan, Indonesia mencatatkan deflasi sebesar 0,21% (mtm) sementara inflasi tahunannya menembus 4,69% pada Agustus 2022.

Kenaikan pada angka inflasi diprediksikan dipicu oleh naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Pada 3 September 2022, pemerintah Indonesia telah menaikkan harga BBM Subsidi Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Disusul, harga Solar subsidi dikerek menjadi Rp 6.800 per liter dari Rp 5.150 per liter. Dua BBM Subsidi terset rata-rata naik 31,4%. 

Padahal, porsi konsumsi Petralite sebesar 47% dari total konsumsi BBM, sehingga kenaikan sebesar 30% pada harga BBM bersubsidi tentunya akan berdampak pada angka inflasi.

Selanjutnya, S&P Global juga dijadwalkan untuk mengumumkan angka PMI Manufaktur Indonesia yang diperkirakan masih mengalami ekspansi pada bulan September. Jika benar, ekspansi ini merupakan yang ke-13 kali beruntun, dengan kontraksi terakhir terjadi pada bulan Agustus tahun lalu, ketika varian delta menyebar luas.

S&P Global juga akan merilis angka PMI Manufaktur final dari berbagai kawasan, di antaranya dari Eropa dan Inggris. Melansir konsensus Trading Economics, PMI manufaktur di Eropa diprediksikan akan mengalami kontraksi ke 48,5 dari 49,6 di Agustus 2022.

Berbeda nasib, konsensus Trading Economics memproyeksikan PMI Manufaktur Inggris akan memangkas kontraksinya pada September 2022 menjadi 48,5 dari 47,3 di bulan sebelumnya. Meski begitu, aktivitas manufaktur Inggris masih tetap terkontraksi.

Hal tersebut tidak lepas dari pukulan telak atas lonjakan energi pasca agresi Rusia ke Ukraina. Harga gas patokan Eropa saat ini naik menjadi sekitar 208 euro per megawatt hour (MWh), sudah lebih rendah dari Agustus, tetapi melonjak lebih dari 200% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

Pabrikan adalah pihak paling terpukul akibat lonjakan biaya energi setelah invasi Rusia ke Ukraina melecut harga gas, sementara mal-mal sepi karena orang memilih menghabiskan waktu di rumah untuk berhemat.

Pascaperang Rusia-Ukraina, Uni Eropa sekarang hanya mendapatkan 9% gas alam dari Rusia, dibandingkan dengan 40% tahun lalu. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen beberapa waktu lalu mengatakan, 13 negara anggota UE sudah tidak lagi menerima gas dari Rusia.

Jika perekonomian di benua biru melambat, dampaknya memang tidak terlalu besar pada RI. Ekspor Indonesia ke negara-negara Eropa dari Januari sampai Juli kemarin senilai US$ 12,1 miliar, atau hanya setara 7,7% dari total ekspor non migas nasional. Porsi itu masih jauh di bawah China (20,9%), AS (10,96%) dan Jepang (8,23).

Dampak resesi Eropa ada tapi kecil, berupa penurunan permintaan barang ekspor-ekspor, mengingat para warga di sana mulai mengurangi belanja. Untungnya, posisi Eropa relatif masih kecil kontribusinya pada kinerja ekspor yang merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Terakhir, investor juga akan disuguhkan dengan rilis PMI Manufaktur AS per September 2022 dari Institute for Supply Management (ISM). Analis Trading Economics memprediksikan bahwa angka aktivitas manufaktur AS masih akan ekspansif meski akan menurun sedikit dari 52,8 menuju 52,2 pada September 2022.

Melansir data dari Kementerian Perdagangan, nilai ekspor non-migas antara RI dan AS cukup besar, senilai US$ 19,86 miliar atau setara Rp 301 triliun (asumsi kurs Rp 15.255/US$) pada periode Januari hingga Agustus 2022. Bahkan, AS merupakan mitra dagang RI kedua terbesar setelah Tiongkok.

 

 

(aaf/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular