Tunggu Vonis BI dan Bank Sentral Global, IHSG Mampu Rebound?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar ekuitas domestik pekan lalu merayakan torehan catatan harga penutupan tertinggi (all time high/ATH) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meski demikian, nyatanya dalam sepekan IHSG malah terkoreksi, salah satunya karena investor masih cenderung khawatir dampak dari inflasi global yang masih meninggi dan bersiap terhadap keputusan kebijakan moneter The Fed.
Sepanjang pekan lalu, Indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut merosot 1,02% secara point-to-point. Kendati demikian, IHSG masih melemah tipis 0,05% dalam sebulan, dan masih menguat 1,68% dalam tiga bulan terakhir.
Pekan lalu IHSG tercatat 3 kali menguat dan hanya 2 kali ambles. Rekor tertinggi sepanjang masa tercatat di 7.377,49 pada perdagangan Kamis (15/9), sedangkan untuk rekor penutupan tercatat pada hari Selasa (13/9) di 7.318,02.
IHSG sebenarnya sempat berada di jalur apresiasi pekan lalu, sebelum pada perdagangan Jumat (16/9) ambles dalam. Pada perdagangan hari terakhir pekan lalu, Indeks ditutup ambruk nyaris 2% ke posisi 7.168,87 dan keluar jauh dari zona psikologis 7.300 dan kini berada di zona 7.100.
Dalam sepekan, investor asing tercatat masih melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga mencapai Rp 1,59 triliun di seluruh pasar.
Pekan lalu, sentimen positif yang menggerakkan IHSG dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan neraca dagang Indonesia yang surplus selama 28 bulan beruntun sebagai sinyal bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih solid.
Neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 5,76 miliar pada Agustus 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor Indonesia pada periode Agustus 2022 berhasil tumbuh 30,15% secara year on year (yoy) mencapai US$ 27,91 miliar.
Adapun sentimen negatif utama datang dari kepada Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed. Inflasi yang sangat tinggi telah membuat investor khawatir bahwa The Federal Reserve akan lebih agresif dengan kenaikan suku bunganya, meningkatkan kemungkinan resesi di AS.
Sementara itu dari pasar keuangan lainnya, mata uang rupiah juga ikut terkoreksi sepanjang pekan lalu. Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), mendekati lagi level Rp 15.000/US$. Sentimen pelaku pasar yang memburuk membuat rupiah kian tertekan.
Melansir dari Refinitiv, pekan lalu rupiah melemah 0,82% secara point-to-point di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Jumat (16/9/2022) kemarin, rupiah berada di Rp 14.950/US$, melemah 0,37% di pasar spot.
Dalam lima hari perdagangan terakhir, rupiah ditutup menguat dua kali yakni pada Kamis dan Jumat sementara sisanya ditutup pada zona merah.
(fsd/fsd)