Newsletter

Tunggu Vonis BI dan Bank Sentral Global, IHSG Mampu Rebound?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
19 September 2022 06:00
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar ekuitas domestik pekan lalu merayakan torehan catatan harga penutupan tertinggi (all time high/ATH) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meski demikian, nyatanya dalam sepekan IHSG malah terkoreksi, salah satunya karena investor masih cenderung khawatir dampak dari inflasi global yang masih meninggi dan bersiap terhadap keputusan kebijakan moneter The Fed.

Sepanjang pekan lalu, Indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut merosot 1,02% secara point-to-point. Kendati demikian, IHSG masih melemah tipis 0,05% dalam sebulan, dan masih menguat 1,68% dalam tiga bulan terakhir.

Pekan lalu IHSG tercatat 3 kali menguat dan hanya 2 kali ambles. Rekor tertinggi sepanjang masa tercatat di 7.377,49 pada perdagangan Kamis (15/9), sedangkan untuk rekor penutupan tercatat pada hari Selasa (13/9) di 7.318,02.

IHSG sebenarnya sempat berada di jalur apresiasi pekan lalu, sebelum pada perdagangan Jumat (16/9) ambles dalam. Pada perdagangan hari terakhir pekan lalu, Indeks ditutup ambruk nyaris 2% ke posisi 7.168,87 dan keluar jauh dari zona psikologis 7.300 dan kini berada di zona 7.100.

Dalam sepekan, investor asing tercatat masih melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga mencapai Rp 1,59 triliun di seluruh pasar.

Pekan lalu, sentimen positif yang menggerakkan IHSG dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan neraca dagang Indonesia yang surplus selama 28 bulan beruntun sebagai sinyal bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih solid.

Neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 5,76 miliar pada Agustus 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor Indonesia pada periode Agustus 2022 berhasil tumbuh 30,15% secara year on year (yoy) mencapai US$ 27,91 miliar.

Adapun sentimen negatif utama datang dari kepada Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed. Inflasi yang sangat tinggi telah membuat investor khawatir bahwa The Federal Reserve akan lebih agresif dengan kenaikan suku bunganya, meningkatkan kemungkinan resesi di AS.

Sementara itu dari pasar keuangan lainnya, mata uang rupiah juga ikut terkoreksi sepanjang pekan lalu. Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), mendekati lagi level Rp 15.000/US$. Sentimen pelaku pasar yang memburuk membuat rupiah kian tertekan.

Melansir dari Refinitiv, pekan lalu rupiah melemah 0,82% secara point-to-point di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Jumat (16/9/2022) kemarin, rupiah berada di Rp 14.950/US$, melemah 0,37% di pasar spot.

Dalam lima hari perdagangan terakhir, rupiah ditutup menguat dua kali yakni pada Kamis dan Jumat sementara sisanya ditutup pada zona merah.

Akhir pekan lalu, Wall Street mengakhiri salah satu minggu terburuk tahun ini. Akan tetapi investor kawakan dan eksekutif perusahaan ramai-ramai menjelaskan bahwa mereka percaya kondisi terburuk masih belum dilalui oleh ekonomi secara luas dan pasar keuangan secara spesifik.

Setelah mencapai titik terendah pada bulan Juni, S&P 500 telah mengalami reli lebih dari 17% hingga pertengahan Agustus, sebelum kembali kehilangan tenaga. Aksi jual minggu ini membuat penguatan indeks acuan tersebut kembali terpangkas dan sat ini hanya 5,6% di atas level terendah yang dicatatkan pada bulan Juni, setelah ambles 5,15% dalam sepekan. Pelemahan lebih dari 5% dalam seminggu hanya terjadi tiga kali tahun ini.

Sementara itu dua indeks acuan lainnya juga tertekan dalam pekan lalu. Indeks padat teknologi NASDAQ menjadi yang terburuk dan jatuh 5,97%, sedangkan indeks blue chip Dow Jones melemah 4,16% dalam sepekan.

Para pengusaha, pembuat kebijakan, dan rakyat Amerika biasa semuanya bergulat dengan periode akhir suku bunga ultra rendah sedekade lebih yang membantu mendorong ekonomi setelah krisis keuangan 2008 dan kembali dipertahankan karena pandemi global yang menyebabkan ledakan inflasi.

Rantai pasokan yang masih carut marut pasca ekonomi mulai dibuka, perang di Ukraina dan krisis energi yang muncul menjadi sejumlah tantangan yang menambah tingkat ketidakpastian memperparah kondisi ekonom yang tidak terlihat dalam beberapa dekade.

Penurunan pada hari Jumat di Wall Streey terjadi karena saham raksasa logistik FedEx merosot lebih dari 21%, setelah memperingatkan bahwa keuntungannya terancam di Asia dan Eropa karena ekonomi yang melemah. FedEx mengatakan akan memotong beberapa layanan, menutup lokasi dan membekukan perekrutan. Kekhawatiran mereka ikut mengguncang kepercayaan investor.

FedEx dipandang sebagai 'peramal' ekonomi karena bisnis pengiriman paketnya mencerminkan permintaan bisnis dan konsumen. Kepala eksekutif perusahaan, Raj Subramaniam, berbicara kepada CNBC International pada hari Kamis, meramalkan "resesi di seluruh dunia."

Penurunan besar pekan lalu datang setelah Indeks Harga Konsumen yang diamati secara luas menghancurkan harapan bahwa inflasi mulai mereda. Laporan tersebut menghidupkan kembali kekhawatiran bahwa kebijakan Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga secara agresif demi memerangi inflasi dapat mendorong Amerika Serikat ke dalam resesi.

Suasana suram saat ini sangat kontras dengan kondisi awal pemulihan pasca pandemi, yang mana reli pasar saham yang mendorong S&P 500 ke level tertinggi baru pada awal Januari. Investor dan pembuat kebijakan tahun lalu tampaknya cenderung menganggap enteng potensi inflasi dapat menjadi masalah utama yang sulit dipecahkan. Hal ini pada akhirnya semakin diperburuk oleh kenaikan harga energi setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Pekan ini sentimen utama yang berpotensi menggerakkan IHSG akan didominasi oleh keputusan kebijakan moneter suku bunga oleh sejumlah bank sentral, termasuk dari dalam negeri oleh Bank Indonesia.

Bank sentral utama dunia lain yang ikut mengumumkan suku bunga acuannya termasuk The Fed AS, Bank of England, Swiss National Bank dan Bank of Japan. Data ekonomi global lain yang juga patut menjadi perhatian investor termasuk tingkat inflasi untuk Jepang dan Kanada, Iklim Bisnis Ifo untuk Jerman, dan data perumahan di AS. Terakhir, investor akan patut menunggu pembacaan awal angka PMI manufaktur untuk AS, Inggris, Area Euro, Prancis, Jerman, Australia, dan Jepang.

Pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed)

Pertemuan The Fed yang dijadwalkan akan digelar pada 21-22 September 2022 untuk mendiskusikan kebijakan moneter terbarunya.

Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, pasar memprediksi peluang The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3%-3,25% sebesar 80%. Sementara sisanya memproyeksikan The Fed akan lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps menjadi 3,25%-3,5%.

Pandangan hawkish tersebut terjadi setelah rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Agustus 2022 berada di 8,3% secara tahunan (yoy). Meskipun melandai dari bulan sebelumnya di 8,5%, tapi posisi tersebut masih berada di atas prediksi analis.

Lebih ekstrem lagi, analis Goldman Sachs Group memprediksikan bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunga acuannya dan membawa tingkat suku bunga menjadi 4%-4,25% pada akhir tahun ini. Mereka juga memproyeksikan tingkat pengangguran di AS akan naik menjadi 3,7% pada akhir 2022. Pandangan serupa juga diutarakan Analis Global S&P.

"Sikap agresif The Fed diperkirakan akan berlanjut dengan penetapan harga pasar dalam kenaikan 75 bp ketiga berturut-turut, meskipun kenaikan 100 poin juga ada di meja. Suku bunga diperkirakan akan mencapai 4,25% pada akhir 2022," kata Intelijen Pasar Global S&P dikutip Reuters.

Dari dalam negeri, investor juga akan disibukkan dengan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan digelar pada 21-22 September 2022. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan mengekor The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps, melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dari bulan sebelumnya.

Seperti diketahui, pada 23 Agustus 2022, BI sempat memberikan kejutan dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 3,75%, ketika pasar bertaruh bahwa BI akan tetap menahan suku bunga acuannya. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 18 bulan lalu.

Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kenaikan tersebut menjadi langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan volatile food. Selain itu, keputusan ini dilakukan dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental dengan tingginya ketidakpastian global yang semakin kuat.

Padahal, inflasi RI per Agustus 2022 mengalami deflasi sebesar 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jika dibandingkan dengan Agustus 2021, inflasi berada di 4,69%, melandai dibandingkan bulan sebelumnya di 4,94%. Meski begitu, Perry Warjiyo menilai bahwa inflasi tersebut masih cukup tinggi.

Kenaikan suku bunga bulan ini tampak tidak akan mengejutkan analis dan pasar, mengingat pada awal bulan ini, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM jenis Petralite, Solar dan Pertamax, yang merupakan fondasi utama roda ekonomi dan pada akhirnya dapat mendorong inflasi ke tingkat yang lebih tinggi.

DBS Group Research, dalam risetnya yang dikutip CNBC Indonesia, Jumat (9/9/2022), memperkirakan inflasi utama pada akhir 2022 mengarah ke angka 6,5-7% secara tahunan dan menaikkan rata-rata setahun penuh ke 5,0%. Sementara 2023 menjadi 3,8%.

Selanjutnya, ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman menyatakan kenaikan harga BBM, baik Solar, Pertalite dan Pertamax, berisiko dapat memangkas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33%.

Berikut beberapa pidato dan data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:

  • Pidato pejabat bank sentral Australia/RBA (05.10)
  • Pidato tiga pejabat bank sentral Eropa/ECB (14.15, 16.00 dan 16.45)
  • Output konstruksi Juli kawasan euro (16.00)
  • Pernyataan bank sentral Brasil/BCA (18.30)
  • Indeks pasar perumahan AS (21.00)

Dengan berakhirnya musim laporan keuangan dan RUPST, hari ini hanya terdapat 3 agenda korporasi yakni:

  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Sky Energy Indonesia (JSKY) pukul 10.00
  • Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Cashlez Worldwide Indonesia (CASH) pukul 10.00 dan Verena Multi Finance (VRNA) pukul 14.00 WIB.

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular