
BI Akhirnya Naikkan Suku Bunga, IHSG-Rupiah Lanjut Menguat?

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup kembali melemah pada perdagangan Selasa kemarin, di mana investor bersiap untuk komentar hawkish dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,47% ke posisi 32.909,59, S&P 500 terkoreksi 0,22% ke 4.128,73, dan Nasdaq Composite turun tipis 0,002% menjadi 12.381,3.
Melemahnya kembali bursa saham Wall Street dipicu oleh 11 emiten dari indeks S&P 500 yang melemah. Penurunan tersebut dipimpin oleh saham emiten teknologi informasi dan konsumen diskresi. Terkoreksinya saham teknologi turut membebani Nasdaq.
Saham sektor properti, healthcare, komunikasi, teknologi, dan saham bertumbuh menjadi pemberat Wall Street kemarin.
Saham Zoom Video Communications Inc. anjlok hampir 17%, setelah perseroan memangkas proyeksinya di tahun 2022.
Namun untuk sektor energi justru bergerak sebaliknya yakni menguat setelah didukung oleh kenaikan harga minyak.
Saham Halliburton, Occidental Petroleum dan Diamondback Energy masing-masing melonjak 8%, 7,1% dan 5,1%. Sedangkan Saham Exxon Mobil, EOG Resources, dan Pioneer Natural Resources masing-masing naik lebih dari 3%.
Hal ini terjadi setelah harga minyak mentah acuan dunia kembali menguat, setelah Arab Saudi mengisyaratkan potensi penurunan produksi OPEC+.
Harga minyak jenis Brent naik menjadi US$ 99,12 per barel. Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) melonjak 3,13% ke posisi US$ 93,19 per barel.
"Bear market ini dalam pandangan kami akan menjadi yang terakhir," tulis Lisa Shallet, analis sekaligus head of the global investment di Morgan Stanley, dikutip dari CNBC International.
Menurutnya, investor meremehkan inflasi, meningkatnya risiko resesi, dan ekspektasi pendapatan yang turun di beberapa titik.
Investor terus berhat-hati jelang komentar terbaru dari Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell tentang kondisi inflasi dan potensi kenaikan suku bunga dalam simposium ekonomi tahunan The Fed yang akan di helat di Jackson Hole, Wyoming, Jumat mendatang.
Saat ini, prediksi pasar cenderung terbelah, di mana ada yang memperkirakan The Fed akan menaikkan kembali suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp) pada pertemuan September mendatang, ada juga yang memperkirakan kenaikan 75 bp.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 50 bp ke 2,75-3% adalah 58,5%. Sementara kemungkinan kenaikan 75 bp adalah 41,5%.
The Fed telah menaikkan suku bunga acuan 225 bp sepanjang tahun ini. Namun, The Fed diperkirakan belum akan melunak. Dalam rapat bulan depan, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan hampir pasti akan kembali menaikkan Federal Funds Rate (FFR).
Di lain sisi, investor cenderung merespons kurang baik dari data aktivitas manufaktur AS yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode Agustus 2022.
Data flash reading dari PMI manufaktur AS periode bulan ini versi Global S&P tercatat turun menjadi 45, dari sebelumnya di angka 47,7 pada Juli lalu. Angka ini menjadi yang terendah sejak Mei 2020.
"Kekurangan bahan, keterlambatan pengiriman, kenaikan suku bunga dan tekanan inflasi yang kuat semuanya berfungsi untuk meredam permintaan pelanggan," kata laporan itu.
Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) cenderung bertahan di kisaran 3%.
Yield Treasury tenor 10 tahun yang merupakan obligasi acuan (benchmark) negara berada di 3,057%. Sedangkan yield Treasury tenor pendek yakni 2 tahun berada di 3,302%.
(chd/sef)