
Deg-degan! Harga BBM & MH Thamrin Pengaruhi IHSG Hari Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu cenderung beragam, di mana pasar saham dalam negeri terpantau kembali menghijau, sedangkan pasar mata uang dan pasar obligasi pemerintah cenderung kurang menggembirakan
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat masih menguat 0,61% secara point-to-point (ptp). Dengan demikian, IHSG berhasil menguat lima pekan beruntun.
Namun, pada perdagangan Jumat (19/8/2022) lalu, IHSG ditutup melemah 0,2% ke 7.172,43. Bahkan pada pekan ini, IHSG terus 'pepet' zona psikologisnya di 7.200.
Mengutip data bursa, pada pekan lalu, investor asing tercatat mengoleksi saham-saham di Tanah Air dengan catatan beli bersih (net buy) mencapai Rp 2,99 triliun di semua pasar.
Dari pasar reguler asing diketahui mengoleksi saham mencapai Rp 2,71 triliun, sedangkan di pasar negosiasi juga mengoleksi saham di RI sebesar Rp 271,59 miliar.
Di kawasan Asia-Pasifik, bursa sahamnya bergerak bervariasi pada pekan lalu. Selain IHSG, indeks saham lain yang menguat adalah PSEI Filipina (4,66%), Nikkei 225 Jepang (1,4%), Weighted Index Taiwan (0,78%), dan Sensex India (0,31%).
Sedangkan yang melemah adalah SETI Thailand (-0,33%), Shanghai Composite China (-0,57%), Straits Times Singapura (0,7%), dan Hang Seng (-2%).
Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, yakni rupiah, sepanjang pekan lalu terpantau ambles hingga lebih dari 1%, tepatnya ambles 1,16% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp).
Pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup di Rp 14.835/US$. Melemah tipis 0,03% dari posisi hari sebelumnya.
Meski melemah, tetapi depresiasi rupiah ternyata masih lumayan, tidak sedalam mata uang negara-negara tetangga. Yen Jepang, misalnya, melemah 2,48% sepanjang pekan lalu dan jadi yang terlemah di Benua Kuning.
Sementara won Korea Selatan melemah 2,37%, yuan China melemah 1,52%, dan dolar Singapura melemah 1,52%.
Sementara di pasar obligasi pemerintah RI atau surat berharga negara (SBN), imbal hasil (yield) SBN pada pekan lalu kompak menguat, menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.
Mengacu pada data Refinitiv, SBN bertenor 5 tahun menjadi yang paling tinggi kenaikan yield-nya pada pekan lalu. Yield SBN tenor 5 tahun menguat 12,6 basis poin (bp) ke 6,415%, dari sebelumnya di posisi 6,289%.
Sedangkan, SBN tenor 25 tahun menjadi yang paling rendah kenaikan yield-nya sepanjang pekan lalu, yakni naik 0,6 bp ke posisi 7,557%, dari sebelumnya di 7,551%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara menanjak 12,3 bp ke posisi 7,094%, dari sebelumnya pada perdagangan Jumat dua pekan sebelumnya di 6,971%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Salah satu faktor penopang IHSG adalah keputusan Bank Indonesia (BI) yang belum menaikkan suku bunga acuan. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan depan, kemungkinan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat belum akan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate.
Sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid19), BI menurunkan suku bunga acuan secara agresif hingga ke 3,5%, yang bertahan hingga saat ini. Suku bunga acuan 3,5% adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
"Alasan utama BI belum menaikkan suku bunga adalah inflasi inti yang masih relatif rendah, yang mencerminkan pemulihan ekonomi belum cukup cepat untuk menghadapi kenaikan suku bunga. BI akan menunggu sampai inflasi inti memanas. Selain itu, rupiah masih cukup kuat," papar Irman Faiz, Ekonom Bank Danamon, kepada Reuters.
Iklim suku bunga rendah kondusif bagi pasar saham. Sebab, biaya ekspansi emiten masih murah sehingga tetap menjanjikan laba. Saat emiten mampu mencatat pertumbuhan laba, maka investor boleh berharap akan dividen atau sekadar capital gain.
Sedangkan, melemahnya rupiah pada pekan lalu disebabkan karena masih kuatnya sang greenback (dolar AS). Pekan lalu, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 2,24%.
Sejak akhir 2021 (year-to-date/YTD), Dollar Index sudah melesat 12,51%. Dalam setahun terakhir, kenaikannya mencapai 15,4%.
'Beking' dolar AS adalah ekspektasi kenaikan suku bunga acuan. Sejumlah pejabat teras bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kembali menyuarakan perlunya kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut, meski inflasi Negeri Paman Sam sudah mulai melandai.
Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebanyak 50 bp pada rapat 22 September 2022 adalah 44,5%. Sedangkan peluang kenaikan 75 bp ada di 55,5%. Bisa dibilang dua kemungkinan ini sama besarnya, tidak ada perbedaan yang mencolok.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengangkat imbalan investasi aset-aset berbasis dolar AS, terutama instrument berpendapatan tetap. Ini membuat permintaan dolar AS meningkat sehingga nilai tukarnya menguat. Jadi jangan heran kalau rupiah dan mata uang Asia berguguran.
Beralih ke AS, bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau melemah, setelah beberapa pekan mencatatkan penguatan.
Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,16%, S&P 500 ambles 1,21%, dan Nasdaq Composite ambruk 2,62%.
Pada perdagangan Jumat pekan lalu, Dow Jones ditutup merosot 0,86% ke posisi 33.706,738, S&P 500 ambles 1,29% ke 4.228,48, dan Nasdaq anjlok 2,01% menjadi 12.705,21.
Penghentian reli musim panas di Wall Street terjadi setelah dirilisnya risalah dari pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) edisi Juli dan komentar dari The Fed St. Louis, James Bullard yang mengindikasikan bahwa The Fed kemungkinan akan masih melanjutkan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat, meredam harapan investor sebuah perlambatan dari kenaikan suku bunga.
Terlepas dari pergerakan pekan lalu, banyak investor dan trader menahan harapan untuk bangkit kembali.
"Saya tidak mengharapkan pembalikan total kembali ke posisi terendah Juni atau sesuatu seperti itu, namun, ketidakstabilan yang kita lihat hari ini dan minggu ini mencerminkan banyak kasus penurunan yang ada di luar sana," kata FBB Capital Partners, Mike Bailey, sebagaimana dikutip dari CNBC International.
"Saya pikir melihat perdagangan pasar menyamping atau melihat sedikit jeda dalam reli itu pasti masuk akal berdasarkan beberapa fakta yang kita lihat di luar sana," tambah Bailey.
Sementara itu menurut analis lainnya, meski pasar kembali lesu, tetapi sejatinya masih sehat dan cenderung hanya berkonsolidasi, setelah beberapa pekan mencatatkan penguatan.
"Pasar sedikit berkonsolidasi pekan ini, sedikit flip-flooping...menurut saya ini masih menjadi pasar yang sehat," tutur Analis Teknik Wellington Shields Frank Gretz, dilansir dari CNBC International.
Di lain sisi, sekitar US$ 2 triliun nilai nosional kontrak opsi sudah berakhir pada Jumat lalu. Kedaluwarsa opsi dapat menambah volatilitas ke pasar karena beberapa pemegang mungkin terpaksa memindahkan posisi mereka.
Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) naik lebih tinggi pada perdagangan Jumat lalu, karena investor masih mencerna rilis data hari sebelumnya, yang menunjukkan klaim pengangguran merayap lebih rendah di bawah ekspektasi.
Yield Treasury tenor 10 tahun yang menjadi benchmark naik 9 bp menjadi 2,972%. Sedangkan yield Treasury tenor 30 tahun juga naik 7,5 bp menjadi 3,216%.
Sebelumnya, data Klaim pengangguran mencapai 250.000 untuk pekan yang berakhir 13 Agustus, turun 2.000 dari pekan sebelumnya.
The Fed sedang mempertimbangkan untuk kembali menaikan suku bunga besar pada rapat edisi September. Presiden The Fed St. Louis, James Bullard mengatakan bahwa dia tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa inflasi telah mencapai puncaknya.
Pada hari ini, memang sentimen dari data ekonomi cenderung sepi. Yakni dari China saja, di mana bank sentral (People Bank of China/PBoC) akan menentukan kebijakan suku bunga acuan terbarunya.
Konsensus pasar dari Trading Economics memperkirakan PBoC akan kembali memangkas suku bunga acuan pinjamannya pada hari ini. Untuk suku bunga acuan (Loan Prime Rate/LPR) tenor 1 tahun diprediksi akan kembali dipangkas menjadi 3,6%, dari sebelumnya 3,7%.
Sedangkan untuk LPR China tenor 5 tahun juga diprediksi akan dipangkas menjadi 4,35%, dari sebelumnya 4,45%.
Sebelumnya pada Selasa pekan lalu, PBoC secara tak terduga memangkas suku bunga utama untuk kedua kalinya tahun ini. Pemangkasan ini dikhawatirkan sebagai sinyal jika perlambatan ekonomi China masih akan terjadi ke depan.
Jika suku bunga PBoC kembali dipangkas, maka China merupakan negara yang masih bersikap dovish, di tengah banyak negara yang bank sentralnya sudah hawkish, demi menjinakan inflasi yang masih tinggi.
Sementara pada pekan ini, ada beberapa sentimen yang patut dicermati oleh pelaku pasar. Pertama yakni Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan pada Selasa pekan ini.
Konsensus masih memperkirakan BI menahan suku bunga acuan di 3,5% untuk bulan Agustus ini.
Namun bulan lalu, pandangan para ekonom terbelah. Mulai ada beberapa ekonom yang berekspektasi bahwa BI perlu menaikkan suku bunga acuan di tengah kenaikan inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Kedua, masih dari dalam negeri, yakni sentimen terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) akan mengumumkan terkait dengan harga BBM, khususnya jenis Pertalite pekan depan.
Kenaikan ini, kata Luhut, terjadi akibat beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sudah terlalu besar untuk menanggung biaya subsidi BBM khusus penugasan seperti Pertalite dan juga Solar Subsidi.
Sebagaimana diketahui, pada APBN 2022 ini, subsidi untuk energi senilai Rp 502,4 triliun. Subsidi itu digunakan untuk BBM, LPG dan juga listrik.
Ketiga, yakni dari global, pembacaan awal (flash reading) daridata aktivitas manufaktur periode Agustus 2022 juga perlu dicermati oleh pasar. Beberapa negara yang akan merilis data flash reading aktivitas manufaktur yakni Australia, Jepang, Uni Eropa, Inggris, dan AS, yang akan dirilis pada Selasa pekan ini.
Keempat, yakni rilis data perkiraan kedua dari pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal II-2022.
Sebelumnya pada akhir Juli lalu, data perkiraan pertama dari PDB AS kuartal II-2022 telah dirilis, di mana ekonomi Negeri Paman Sam kembali lesu. Alhasil, Negeri Paman Sam resmi mengalami resesi secara teknikal. Tetapi, banyak pengamat tidak setuju bahwa AS sudah mengalami resesi.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Pengumuman keputusan suku bunga acuan China periode Agustus 2022 (08:15 WIB),
Â
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPS Tahunan PT Dewata Freightinternational Tbk (14:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (Juli 2022 YoY) | 4,94% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2022) | 3,5% |
Surplus Anggaran (APBN 2022 per Juli) | 0,57% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY) | 1,1% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (Juli 2022) | US$ 132,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?