Newsletter

Tok! The Fed Naikkan Suku Bunga 75 bps, Apa Dampaknya ke RI?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
28 July 2022 05:59
federal reserve
Foto: Reuters

Kabar utama yang akan mempengaruhi sentimen pasar secara dominan hari ini adalah keputusan bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) sebesar 75 bps menjadi 2,25% hingga 2,5%.

Sebelumnya, investor di Wall Street telah bereaksi positif didorong oleh keyakinan Jerome Powell akan ekonomi AS yang dinilainya masih sehat. Bursa saham utama AS kompak ditutup menguat dini hari tadi.

Hal ini tentu ikut menjadi kabar baik bagi investor dalam negeri, akan tetapi masih tetap harus waspada. Salah satunya karena kenaikan suku bunga AS berarti selisih antara FFR dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) akan semakin menyempit.

Menyempitnya selisih tersebut dapat menjadi ancaman karena membuat investasi di pasar keuangan Indonesia menjadi relatif kurang menarik, khususnya di pasar obligasi. Data Kementerian Keuangan bahkan mencatat eksodus dari pasar keuangan domestik sudah mulai terjadi, yang mana pada bulan Mei pasar obligasi mengalami outflow Rp 32,12 triliun. Kemudian Juni sebesar Rp 15,51 triliun dan bulan Juli ini hingga tanggal 26 dana asing yang dibawa kabur mencapai Rp 29,15 triliun.

Kaburnya dana asing dapat merembes hingga ke pasar ekuitas, mengingat tingginya suku bunga AS memberikan tekanan likuiditas bagi investor Barat yang sebagian mungkin terpaksa keluar dari bursa domestik. Jika aksi jual asing terjadi secara signifikan, artinya ini dapat memberikan tekanan bagi IHSG.

Sejatinya sejak awal tahun asing tercatat rajin memborong saham RI, mengingat bursa domestik mencatatkan kinerja terbaik di Asia Pasifik. Sejak awal tahun net buy asing telah mencapai 58,19 triliun di seluruh pasar.

Namun dalam beberapa waktu ini tren tersebut mengalami perubahan dengan net buy harian yang semakin kecil atau bahkan asing malah melepas saham RI. Dalam sepekan terakhir investor asing melepas Rp 326 miliar saham RI di pasar reguler, sedangkan dalam sebulan terakhir aksi jual tersebut membengkak hingga Rp 5,59 triliun.

Selanjutnya, investor perlu menyimak sentimen utama dalam negeri yang berpotensi dapat membantu menggerakkan pasar ke zona positif, yakni kinerja keuangan sejumlah emiten yang satu per satu mulai melapor.

Kemarin dua bank raksasa Tanah Air yakni BBCA dan BBRI telah melaporkan kinerja yang gemilang didorong oleh relaksasi PPKM yang mendorong pembukaan ekonomi lebih luas. Meskipun kinerja perbankan tumbuh pesat perlu dicatatkan bahwa kuartal kedua tahun ini bertepatan dengan momen puasa dan lebaran yang mana merupakan puncak konsumsi tahunan masyarakat Indonesia.

Dari sisi lain, proksi ekonomi RI juga terlihat dari kinerja positif emiten konsumer Unilever yang mencerminkan konsumsi masyarakat pada kuartal kedua dan selama momen lebaran tidak melemah.

Hari ini Bank Mandiri (BMRI) dijadwalkan akan mengumumkan kinerja keuangannya diikuti oleh Bank Negara Indonesia (BBNI) pada hari Jumat besok.

Selanjutnya investor perlu menyimak pergerakan harga komoditas yang sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global.

Harga gas alam kontrak AS sempat menyentuh rekor tertinggi dalam 14 tahun pada perdagangan intraday kemarin, sedangkan harga batu bara kontrak Agustus di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 440/ton, mendekati level tertinggi sepanjang sejarah di US$ 446/ton yang tercatat pada 2 Maret 2022.

Sentimen komoditas lainnya datang dari CPO yang mana pemerintah Indonesia berencana untuk menghapus kebijakan kewajiban pemenuhan untuk pasar domestik alias Domestic Market Obligation (DMO).

Jika terealisasi, akan berdampak pada peningkatan volume ekspor CPO dalam negeri dan harga yang semakin kompetitif. Ditambah dengan penghapusan pungutan pajak ekspor CPO (15 Juli hingga 31 Agustus 2022), harga CPO Indonesia menjadi kian menarik dimata pembeli asing dibanding dengan CPO Malaysia. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan permintaan akan CPO Indonesia.

Dari ranah global, investor perlu menyimak kondisi perekonomian global. Dari benua Asia, Korea Selatan mengumumkan indeks sentimen konsumer yang terendah dalam 2 tahun terakhir yang mengindikasi prospek ekonomi yang kurang optimal.

Sebelumnya dari benua Eropa Jerman juga mengumumkan indikator iklim bisnis (Ifo) yang berada di bawah ekspektasi dan mencatatkan angka terendah dalam dua tahun. Sementara itu optimisme bisnis di Inggris masih lemah meskipun meningkat untuk kuartal III tahun ini dari tiga bulan sebelumnya, akan tetapi masih berada di zona negatif.

Terakhir investor perlu mencerna kembali kabar buruk dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang kembali memangkas pertumbuhan ekonomi global 2022. Sebelumnya pada April lalu IMF memproyeksi ekonomi global tumbuh 3,6%, sedangkan dalam proyeksi terbaru turun menjadi 3,2%.

Pemangkasan proyeksi tersebut nyaris terjadi di seluruh ekonomi termasuk ASEAN-5 yang pertumbuhannya berkurang 0,8% dari sebelumnya dan terbaru ekonominya diperkirakan mengalami ekspansi 5,3%. ASEAN-5 yang disebut IMF terdiri dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina.

(fsd/sef)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular