
Wall Street Ditutup Mix, IHSG Punya Tenaga Buat Bangkit?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi pada perdagangan Senin (25/7/2022) awal pekan ini. Hal tersebut terjadi di tengah sikap investor yang menanti pengumuman suku bunga acuan terbaru dari bank sentral Amerika Serikat (AS).
Kemarin IHSG ditutup melemah 0,31% ke posisi 6.858,407. Pergerakan yang masih cenderung volatil karena investor cenderung wait and see.
Sebelum ambruk total si sesi kedua, IHSG sempat menyentuh zona psikologisnya di 6.900 pada awal perdagangan setelah dibuka menguat 0,21%. Namun, selang beberapa menit kemudian, IHSG cenderung 'galau' dan satu jam pasca dibuka IHSG langsung berbalik arah ke zona merah hingga akhir perdagangan.
Nilai transaksi indeks masih relatif sepi. Tercatat berada di kisaran Rp 9 triliun dengan melibatkan 23 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali.
Investor asing tercatat kembali keluar dari pasar modal RI dengan net sell kemarin di pasar reguler tercatat sebesar Rp 351 miliar. Artinya dalam sebulan terakhir di pasar reguler asing telah membawa kabur dana senilai total Rp 7,13 triliun.
Saham Bumi Resources (BUMI) yang kedatangan investor misterius baru menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya hari ini, yakni mencapai Rp 418,9 miliar. Lalu ada saham Adaro Energy Indonesia (ADRO) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dengan nilai transaksi masing-masing Rp 417,8 miliar dan Rp 260,2 miliar.
Tiga saham yang paling diburu asing kemarin adalah Telkom Indonesia (TLKM), Bukit Asam (PTBA) dan United Tractors (UNTR). Sementara tiga saham yang paling banyak dilego adalah Merdeka Copper Gold (MDKA), Aneka Tambang (ANTM) dan BBRI.
Berbeda dengan kinerja buruk di pasar saham, rupiah malah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin. Dengan demikian, sejak Bank Indonesia mengumumkan kebijakannya rupiah sudah menguat 2 hari beruntun dan kembali ke bawah Rp 15.000/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.995/US$, menguat 0,13% di pasar spot.
BI pada Kamis pekan lalu masih mempertahankan suku bunga acuannya, saat banyak analis memprediksi akan dinaikkan.
BI sudah 18 bulan mempertahankan suku bunga di rekor terendah tersebut. Meski demikian, BI juga sudah mengurangi likuiditas dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga September nanti. BI mendorong kenaikan suku bunga antar bank untuk tenor lebih dari satu pekan.
Selain itu, BI juga akan mempercepat penjualan surat berharga negara (SBN) dan mengenai jumlahnya akan melihat kondisi pasar.
Sebelumnya dalam dua tahun terakhir, BI cukup gencar melakukan pembelian SBN. Untuk APBN 2020 SBN yang diserap berjumlah Rp 473,42 triliun. Selain itu, Bank Indonesia juga membeli SBN dari pasar sekunder sebesar Rp 166,20 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pasar SBN.
Pada APBN 2021 berjumlah mencapai Rp 358,32 triliun dan untuk pembelian SBN di pasar perdana untuk APBN 2022 (per 28 Juni 2022) mencapai Rp 32,78 triliun.
Likuiditas yang melimpah itu kini dianggap sudah berlebihan. Sehingga BI mulai melakukan normalisasi mengarah ke pengetatan kebijakan moneter dengan melakukan penjualan SBN untuk menarik likuiditas.
Meski demikian, penjualan tersebut ditakutkan akan memperparah keluarnya dana asing, yang mana analis meragukan asing akan tertarik karena selisih imbal hasil (yield) dengan obligasi AS (Treasury) yang semakin menyempit.
Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) menunjukkan pada Juli hingga tanggal 22, capital outflow yang terjadi di pasar SBN sebesar Rp 29 triliun. Dengan demikian, sepanjang tahun ini total capital outflow sebesar Rp 140 triliun, dan yang terbesar terjadi Maret lalu senilai Rp 48,3 trillun.
Pasar saham AS ditutup mix pada perdagangan hari pertama pekan ini menjelang pertemuan Federal Reserve dan pengumuman kinerja keuangan perusahaan teknologi raksasa.
Nasdaq menjadi satu-satunya indeks utama Wall Street yang berakhir di zona merah atau melemah 0,43%. Sementara itu dua indeks lainnya mampu ditutup positif, meskipun pergerakannya relatif datar. Indeks blue chip Dow Jones Industria Average (DJIA) menguat 0,28%, sedangkan S&P 500 naik 0,13%. Meski demikian ketiga indeks utama AS tersebut berpotensi untuk membukukan kinerja bulan terbaik tahun ini.
Pekan terakhir perdagangan untuk bulan Juli - dan mungkin minggu terpenting selama musim panas - ditandai dengan pertemuan Fed terkait kenaikan suku bunga dan pengumuman data PDB AS kuartal kedua.
Selain itu sejumlah perusahaan raksasa AS akan mengumumkan kinerja keuangannya pekan ini termasuk Apple, Alphabet, Amazon, Meta dan Microsoft. Bersamaan, nyaris sepertiga dari konstituen S&P 500 juga akan melaporkan pendapatan kuartalan minggu ini, hal ini karena investor resah tentang potensi resesi ekonomi.
Saham teknologi berguguran akibat ketakutan akan kondisi sama yang dirasakan Snap. Perusahaan sosial media tersebut melaporkan pendapatan mengecewakan pekan lalu yang menyebabkan investor khawatir tentang penurunan belanja iklan digital dalam iklim ekonomi saat ini. Meta Platforms turun 1,5%, dan Amazon turun 1,1%. Apple, Microsoft dan Alphabet terkoreksi tipis.
Di sektor lain, saham Newmont Corporation turun 13,2% setelah perusahaan pertambangan melaporkan laba kuartalan yang turun hampir 41% dari tahun lalu akibat penurunan harga emas. Selanjutnya saham Philips jatuh 7,2% setelah pembuat peralatan medis Belanda melaporkan pendapatan kuartalan yang lebih rendah dari perkiraan, mengutip penguncian di China dan masalah rantai pasokan sebagai biang keladi.
Di sisi lain, saham energi menjadi sektor dengan kinerja terbaik seiring kenaikan harga minyak mentah dunia. Marathon Oil dan APA Corp masing-masing melonjak lebih dari 6%. Diamondback Energy, Occidental Petroleum, Devon Energy, dan Valero masing-masing naik sekitar 5%. Chevron adalah top gainer di Dow, naik hampir 3%.
Beberapa kabar penting yang akan muncul dan mempengaruhi sentimen pasar hari ini secara dominan masih berasal dari AS yakni terkait suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) dan pertumbuhan ekonomi akan dirilis jelang akhir pekan ini.
Akan tetapi, investor perlu menyimak sentimen utama dalam negeri yang berpotensi menggerakkan pasar yakni kinerja keuangan sejumlah emiten yang satu per satu mulai melapor.
Kemudian ada juga bank raksasa Tanah Air yang mulai tengah pekan ini dijadwalkan sudah antre melaporkan kinerjanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Bank Centra Asia (BBCA) diperkirakan akan melaporkan pada Rabu, Bank Mandiri (BMRI) Kamis dan Bank Negara Indonesia (BBNI) Jumat pekan ini.
Kinerja keuangan dari sektor perbankan sering kali digunakan sebagai proksi kondisi ekonomi secara luas. Selain itu, empat emiten perbankan utama - ketiga di atas dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) - berkontribusi nyaris seperempat dari total kapitalisasi pasar bursa domestik.
Selanjutnya investor perlu menyimak pergerakan harga komoditas yang sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global.
Sentimen komoditas salah satunya datang dari CPO yang mana pemerintah Indonesia berencana untuk menghapus kebijakan kewajiban pemenuhan untuk pasar domestik alias Domestic Market Obligation (DMO).
Jika terealisasi, tentunya akan berdampak pada peningkatan volume ekspor CPO dalam negeri dan harga yang semakin kompetitif. Ditambah dengan penghapusan pungutan pajak ekspor CPO dan produk turunannya yang dimulai pada 15 Juli hingga 31 Agustus 2022, harga CPO Indonesia menjadi kian menarik dimata pembeli asing dibanding dengan CPO Malaysia. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan permintaan akan CPO Indonesia.
Dari ranah global, kabar ekonomi penting awal pekan ini yang patut dicermati berasal dari Korea Selatan (Korsel) yang pagi ini merilis pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Konsensus tradingeconomics memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Negeri Ginseng akan melambat menjadi 2,5% dari pertumbuhan kuartal II tahun sebelumnya sebesar 3%.
Selanjutnya, investor perlu menyimak kondisi perekonomian global. Dari benua Eropa, Jerman mengumumkan indikator iklim bisnis (Ifo) yang berada di bawah ekspektasi dan mencatatkan angka terendah dalam dua tahun. Sementara itu optimisme bisnis di Inggris masih lemah meskipun meningkat untuk kuartal III tahun ini dari tiga bulan sebelumnya, akan tetapi masih berada di zona negatif.
Meski baru diumumkan jelang akhir pekan ini, sentimen yang mungkin paling penting adalah arah pergerakan suku bunga acuan AS yang diprediksi naik 75 bps menjadi 2,5%, dari sebelumnya 1,75%. Lebih hawkish lagi sejumlah investor terbuka terhadap peluang bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih agresif sebesar 100 bps pada pertemuan Juli ini.
Jika The Fed sungguh-sungguh menaikkan suku bunga acuannya pekan ini, peluang untuk terkoreksinya bursa saham AS terbuka lebar. Ditambah dengan potensi resesi karena perang Rusia-Ukraina belum usai, kian menambah tekanan terhadap aset berisiko.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Laju pertumbuhan PDB Korea Selatan kuartal II 2022 (06.00)
- Risalah rapat Bank Sentral Jepang (06.50)
- Producer Price Indeks Spanyol Juni (14.00)
- Indeks harga perumahan AS Mei (20.00)
- Data penjualan rumah AS Juni (21.00)
- Data investasi asing langsung China YTD hingga Juni
Hari ini setidaknya terdapat 16 agenda korporasi yakni:
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 11 perusahaan yakni: ULTJ; TNCA; TALF; MTMH; LABA; KONI; IBOS; CTTH; CBMF; ATAP; dan ARTA.
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) SMMT
- RUPST & RUPSLB secara simultan oleh tiga perusahaan yakni: PDES; NASA; dan DEFI.
- Kemudian terdapat pula aksi korporasi berupa penerbitan saham IPO dari Habco Trans Maritima (HATM)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Â
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing