Rupiah Sedang Lesu, Hindari Saham-saham Ini Kalau Mau Cuan

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
25 July 2022 16:55
Infografis Sepekan, Saham Top Gainers Top Losers Pekan Ini
Foto: Infografis/ Saham Top Gainers Top Losers Pekan Ini/ Edward Ricardo Sianturi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan rupiah dalam 6 pekan beruntun nyatanya tidak pernah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Pada pekan lalu rupiah melemah 0,17% ke level psikologis Rp 15.015/US$.

Perlemahan nilai tukar rupiah juga turut membebani pasar saham kedepannya. Pelemahan rupiah sejatinya juga menjadi sentimen negatif untuk pasar saham. Tim Riset CNBC Indonesia mencatat rupiah memulai tren depresiasi terhadap dolar AS pada akhir April 2022. Saat itu IHSG juga ikut melemah signifikan.

Bank Indonesia (BI) yang masih mempertahankan suku bunga acuannya membuat rupiah sempat menyentuh Rp 15.035/US$, posisi terlemah sejak Mei 2022.

Pelemahan rupiah sebenarnya sudah terlihat pada bulan Juni yang mana rupiah melemah 2,1% pada medio tersebut, sedangkan secarayear to daterupiah tertekan lebih dalam yakni 5,2%. Hal tersebut dipicu sikaphawkishbank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang secara agresif menaikkan suku bunga acuannya.

Di pekan ini, perhatian utama tertuju pada pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) pada Kamis (28/7/2022) dini hari waktu Indonesia. Jika The Fed pada akhirnya menaikkan 100 basis poin, maka rupiah berisiko tertekan di pekan ini.

Pasar memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas kenaikan tersebut sekitar 80%. Namun, ada juga probabilitas sekitar 20% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin.

Beranjak ke pasar saham. Meski sempat waswas, investor menyambut baik keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan di level terendah sepanjang masa. Pekan lalu bank sentral Tanah Air kembali menetapkan BI-7Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di angka 3,50% dan telah bertahan selama 18 bulan.

Sentimen kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral global serta selisih suku bunga acuan dengan Indonesia yang menyempit patut diwaspadai karena berpengaruh terhadap valuasi dan harga aset keuangan domestik.

Dengan rencana kenaikan suku bunga AS dikhawatirkan dapat mendorong aliran dana investor asing keluar dari Indonesia.

Pelemahan rupiah sejatinya juga menjadi sentimen negatif bagi pasar saham karena sangat mempengaruhi berbagai bisnis yang berhubungan dengan impor. Tekanan nilai tukar rupiah ini dinilai dapat menekan kinerja keuangan perusahaan.

Pertama, emiten farmasi dinilai menjadi salah satu sektor yang paling rentan di tengah fluktasi nilai tukar rupiah. Perlemahan kurs rupiah akan begitu sensitif bagi emiten farmasi  di mana lebih dari 50% bahan bakunya masih bergantung pada impor.

Mayoritas saham sektor farmasi kurang bergairah dan kurang likuid, oleh sebab itu mesti cermat dalam memilih saham-saham farmasi.

SAHAM

EMITEN

SEPEKAN (%)

SEBULAN (%)

KLBF

PT Kalbe Farma Tbk

+1,21%

-1,88%

SIDO

PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul T

+2,08%

-0,51%

KAEF

PT Kimia Farma Tbk

+1,07%

+0,71%

TSPC

PT Tempo Scan Pacific Tbk

-0,36%

-1,78%

PEHA

PT Phapros Tbk

-2,21%

-10,61%

PYFA

PT Pyridam Farma Tbk

+0,48%

0,97%

DVLA

PT Darya-Varia Laboratoria Tbk

+1,18%

+1,98%

SOHO

PT Soho Global Health Tbk

+2,15%

-3,25%

 

Namun, dengan kesadaran masyarakat yang lebih tinggi terhadap produk farmasi terlebih pada saat Covid-19 untuk meningkatkan imun tubuh dengan mengkonsumsi vitamin, suplemen dan obat-obatan bisa menjadi katalis positf bagi sektor farmasi di tengah melemahnya rupiah.

Kedua,emiten yang bergerak pada sektor besi dan baja juga akan terancam terkena dampak saat rupiah melemah. Seperti yang telah diketahui, impor besi dan baja Indonesia meningkat 14,81% menjadi 13,04 juta ton pada 2021 dibandingkan tahun sebelumya. Demikian pula nilai impornya melonjak 74,42% menjadi US$ 11,96 miliar pada 2021 dibanding tahun sebelumnya.

Kokohnya baja tak menyebabkan para emitennya ikut kebal dari perlambatan ekonomi. Nilai tukar rupiah yang bergejolak belakangan ini turut menjebol kinerja emiten tersebut.

SAHAM

EMITEN

SEPEKAN (%)

SEBULAN (%)

BTON

 PT Betonjaya Manunggal Tbk

-0,64%

+4,7%

BAJA

PT Saranacentral Bajatama Tbk

+6,1%

-1,14%

CTBN

PT Citra Tubino Tbk

-8,3%

-4,98%

GGRP

PT Gunung Raja Paksi Tbk

+3,6%

-10,85%

KRAS

PT Krakatau Streel (Persero) Tbk

Stagnan

-3,85%

OPMS

PT Optima Prima Metal Sinergi Tbk

+10,58%

+6,84%

 

Ketiga, emiten konsumer juga cukup sensitif dengan pergerakan nilai tukar. Porsi impor yang cukup besar menjadi beban perusahaan tersebut ditambah lagi dengan memanasnya konflik antara Rusia dan Ukraina berdampak pada kenaikan sejumlah harga komoditas utama.

Selain terbebani dengan nilai tukar, harga saham sejumlah emiten consumer goods yang mengandalkan bahan baku gandum dinilai mengkhawatirkan di mana melambungnya harga gandum dunia di tengah konflik Rusia-Ukraina bisa menekan kinerja keuangan emiten tersebut.

Asal tahu saja, Indonesia sendiri merupakan negara dengan iklim tropis sehingga tidak mendukung untuk pertanian gandum. Karenanya, untuk kebutuhan roti, mie instan, hingga sumber pangan karbohidrat lain, Indonesia harus mengimpor gandum dari negara lain.

Pada 2020 saja nilai impor gandum RI mencapai US$ 2,6 miliar dengan total volume impor mencapai 10,2 juta ton.

Beberapa emiten yang memiliki eksposur terhadap gandum sebagai bahan baku produksi, antara lain PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), emiten produsen mie instan Indomie PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dengan produk unggulannya roti serta mie instan.

Berikut emiten konsumer yang rawan terkoreksi akibat gejolak ekonomi global yang berujung melemahkan nilai tukar rupiah.

SAHAM

EMITEN

SEPEKAN (%)

SEBULAN (%)

MYOR

PT Mayora Indah Tbk

+0,53%

-7,32%

ICBP

PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk

-0,53%

-0,53%

AISA

PT FKS Food Sejahtera Tbk

+5,8%

-3,31%

INDF

PT Indofood Sukses Makmur Tbk

-0,35%

-2,43%

ROTI

PT Nippon Indosari Corpindo Tbk

+1,95%

+1,56%

GOOD

PT Garudafood Putra Jaya Tbk

-0,92%

+3,85%

Terakhir, selain emiten yang berhubungan dengan impor, nilai kurs Rupiah yang terus bergerak melemah tentu menjadi sentimen negatif bagi para emiten yang memiliki eksposure besar terhadap nilai tukar. Apalagi, emiten memiliki utang yang didominasi oleh mata uang dolar AS karena secara otomatis nilai pokok dan bunganya akan meningkat.

Emiten ini terkena depresiasi rupiah karena hampir semua utang emiten dalam mata uang dolar AS. Dimana sebagian besar tidak dilindungi nilai atau hedging. Misalnya emiten konsumer PT Indofood CBP Sukses Makmud Tbk (ICBP).

ICBP menghasilkan pendapatan sebesar 70%-75% dalam rupiah. Sementara, hampir semua utang ICBP dalam mata uang dolar AS dengan biaya yang signifikan dalam mata uang dolar AS untuk impor bahan baku.

Lebih lanjut, obligasi ICBP senilai US$ 2,75 miliar tidak dilindungi nilai. Meski demikian, ada beberapa hal yang meringankan karena jatuh tempo surat utang yang lama hingga tahun 2031. Itu berarti tidak ada kebutuhan pembiayaan kembali dalam waktu dekat.

Sementara, PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) di mana 65% dari arus kas produsen ban ini berada dalam rupiah. Sedangkan, GJTL mempunyai 50%-60% utang dalam dolar AS dan sebagian besar biaya operasional dan belanja modalnya dalam mata uang dolar AS.

Meski secara operasional membukukan kinerja yang solid, namun dapat dengan mudah tergerus dengan kerugian kurs yang menimpa.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular