Newsletter

The Fed Berubah Jadi 'Siluman Elang', IHSG Dkk Bisa Cilaka

Putra, CNBC Indonesia
15 July 2022 06:00
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga aset keuangan domestik bergerak variatif pada perdagangan kemarin (14/7). Nilai tukar rupiah melemah tipis, indeks saham melesat sementara Surat Berharga Negara (SBN) acuan mengalami koreksi.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,74% ke 6.690,09 setelah sebelumnya anjlok 1% lebih. Fenomena penguatan IHSG kemarin lebih mencerminkan adanya faktor technical rebound.

Tehcnical rebound kembali membawah IHSG menjadi indeks saham acuan dengan kinerja paling apik di kawasan Asia Pasifik.

IHSG keluar sebagai runner up indeks saham terbaik di Benua Kuning dan hanya kalah dari indeks TAIEX Taiwan yang menguat 0,79%.

Kendati IHSG mengalami apresiasi yang cukup tinggi, investor asing tampak masih menghindari aset berisiko yang satu ini.

Data perdagangan mencatat investor asing melakukan jual bersih saham senilai Rp 485,29 miliar di pasar reguler. Belakangan ini outflows dana asing terus terjadi di pasar saham.

Namun di sepanjang tahun 2022, pasar saham Tanah Air masih membukukan inflow senilai Rp 48,05 triliun di pasar reguler.

Kinerja rupiah di pasar spot juga tak berbeda jauh dari sebelum-sebelumnya. Rupiah melemah tipis 0,03% terhadap dolar AS dan ditutup di Rp 14.990/US$.

Rupiah masih enggan beranjak dari posisinya yang sudah sangat dekat dengan Rp 15.000/US$. Pelemahan rupiah terjadi akibat dolar AS yang sangat perkasa.

Keperkasaan dolar AS diperoleh setelah The Fed agresif menaikkan suku bunga acuan sejak Maret 2022.

Berbeda nasib dengan saham dan rupiah, pasar SBN masih dibayangi dengan koreksi. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun kemarin mengalami kenaikan 3,7 basis poin menjadi 7,28%.

Kenaikan yield mencerminkan bahwa harga SBN sedang mengalami pelemahan. Naiknya yield SBN 10 tahun dibayangi oleh inflasi AS yang kembali mencetak rekor baru.

Asal tahu saja, inflasi AS bulan Juni lalu naik 9,1% secara tahunan. Laju inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak November 1981.

Pelaku pasar telah salah memperkirakan bahwa laju inflasi sudah mencapai puncak dan akan memasuki fase penurunan. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Sentimen terkait inflasi yang mengganas masih menjadi faktor dominan yang menggerakkan pasar keuangan Negeri Paman Sam.

Ancaman inflasi yang membuat ekonomi bisa mengalami overheating kian nyata dan memicu penurunan harga aset-aset berisiko seperti saham.

Semalam, indeks saham acuan AS mayoritas terbenam di zona merah. Indeks Dow Jones dan S&P 500 kompak ambles 0,46% dan 0,30% sedangkan hanya Nasdaq yang berhasil selamat dengan apresiasi tipis 0,03%.

Inflasi yang memanas juga berdampak pada pasar obligasi AS dan mengirim imbal hasil (yield) obligasi tenor 2 tahun naik 9 basis poin (bps) ke 3,138%, sedangkan yield obligasi tenor 10 tahun jatuh 4 bps ke 2,919%. 

Kurva terbalik tersebut biasanya memberikan sinyal akan terjadinya resesi. Data inflasi tersebut juga membuka peluang untuk The Fed menaikkan suku bunga acuan, di mana pasar memprediksikan adanya kenaikan sebesar 1% atau 100 bps.

"Kesimpulan untuk investor adalah kebijakan The Fed akan tetap bergantung pada data dan The Fed akan melanjutkan jalur pengetatan yang agresif sampai tekanan inflasi memuncak dengan pasti," tulis analis BCA Research di dalam risetnya dikutip CNBC International.

Dia juga menambahkan bahwa tekanan harga yang terus menerus akan menyebabkan kenaikan suku bunga acuan yang besar pada pertemuan selanjutnya di 26-27 Juli. 

Berdasarkan data FedWatch, pelaku pasar kini memperkirakan bank sentral AS bakal makin hawkish dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps dengan probabilitas 47,6%.

Dari sisi rilis earnings, laba salah satu bank terbesar di AS yaitu JPMorgan ambles 28% secara tahunan pada kuartal II-2022.

Bank dengan aset terbesar di AS tersebut mencatatkan laba per saham sebesar US$ 2,76 dan lebih rendah dari ekspektasi analis di US$ 2,88.

Penurunan laba bersih JPMorgan disebabkan karena bank tersebut memupuk pencadangan ekstra sebesar US$ 428 juta seiring dengan memburuknya kualitas portofolio kredit yang dimiliki.

Penurunan kinerja keuangan salah satu saham blue chip AS tersebut juga turut menjadi penekan bagi pasar sahamnya.

Chairman dan CEO JPMorgan Damie Jimon mengatakan bahwa tensi geopolitik, inflasi tinggi dan melemahnya keyakinan konsumen dapat membuat membuat ekonomi terpukul.

Kinerja Wall Street yang mengecewakan berpotensi menular ke pasar keuangan Asia. Risiko penurunan dari inflasi tinggi semakin jelas terasa.

Ekonomi AS kini berada di ambang resesi. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, apa yang terjadi di AS dapat menjangkiti negara lain.

Soal inflasi, Menteri Keuangan AS Jenet Yellen dalam pertemuan negara-negara G20 di Bali menyampaikan bahwa inflasi di AS sudah sangat tinggi.

Yellen menyampaikan bahwa dirinya mendukung langkah yang diambil oleh The Fed untuk mengendalikan inflasi yang kian ganas.

Namun di sisi lain mantan bos The Fed itu juga menyebut bahwa pengetatan moneter yang agresif juga akan berdampak pada perekonomian AS.

Semakin tingginya risiko resesi AS dan perlambatan ekonomi global akibat perang Rusia-Ukraina dan inflasi masih menjadi sentimen utama penggerak pasar dalam waktu dekat.

Rupiah dinilai sangat mungkin tembus Rp 15.000/US$. Jika hal tersebut terjadi, maka dampaknya ke IHSG dan harga SBN akan negatif.

Namun investor setidaknya dapat berharap dari rilis neraca dagang hari ini. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia terhadap 12 ekonom memperkirakan bahwa neraca dagang Indonesia masih bisa surplus sekitar US$ 1,45-4,3 miliar untuk bulan Juni.

Surplus neraca dagang yang berlanjut diharapkan masih dapat menguatkan fundamental nilai tukar rupiah seiring dengan pasokan valas yang masih memadai.

Neraca dagang yang diramal masih akan surplus bulan Juni tidak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk kembali membuka keran terhadap ekspor CPO.

Untuk diketahui, kebijakan larangan ekspor CPO dilakukan pada bulan Mei seiring dengan kenaikan harga minyak goreng.

Namun kebijakan pelarangan ekspor tersebut juga menimbulkan dampak lain yaitu meningkatnya stok minyak sawit dalam negeri yang memukul harga di kalangan petani.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2022 (09:00 WIB)
  • Rilis data neraca dagang Indonesia bulan Juni 2022 (09:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY)

5,01 %

Inflasi (Juni 2022, YoY)

4,35%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022)

-4,65% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022)

0,1% PDB

Cadangan Devisa (Juni 2022)

US$ 136,4 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/luc) Next Article Investor Berdebar Menanti Rapat The Fed, IHSG Rawan Terkoreksi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular