Newsletter

Inflasi AS Cetak Rekor Lagi, Pasar Keuangan RI Bisa Amsyong?

Putra, CNBC Indonesia
14 July 2022 06:00
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor masih menghindari aset-aset berisiko seperti saham di tengah ancaman resesi ekonomi global yang semakin terlihat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,15% dan ditutup di 6.640,99 pada perdagangan kemarin, Rabu (13/7/2022).

IHSG semakin terlempar jauh dari level psikologis 6.700. Kinerja IHSG juga menjadi kedua terburuk di kawasan Asia Pasifik. IHSG hanya lebih baik dari indeks PSEi Filipina yang ambles 1,49%.

Koreksi tajam yang dialami IHSG membuatnya terlempar dari peringkat 5 besar indeks terbaik dunia. Mengacu pada data BEI, return IHSG tersisa 0,9% sejak awal tahun dan membawa indeks berada di peringkat ke-7.

Bagaimanapun juga kinerja saham-saham domestik juga masih dibayangi oleh outflows dana asing. Data perdagangan mencatat asing net sell jumbo senilai Rp 874 miliar di pasar reguler kemarin.

Berbeda nasib dengan saham, pasar Surat Berharga Negara (SBN) cenderung variatif. Imbal hasil untuk SBN tenor 1, 3, 10 dan 20 cenderung turun yang mengindikasikan adanya penguatan harga.

Sementara itu untuk SBN tenor 5, 15, 25 dan 30 cenderung mengalami kenaikan yang mencerminkan pelemahan harga.

Kurs rupiah ditutup anteng, tetapi masih sangat dekat dengan level Rp 15.000/US$. Peluang rupiah untuk tembus Rp 15.000/US$ memang terbuka.

Sebagai informasi, kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot sudah melemah 5,16% sepanjang tahun ini.

Meski melemah cukup tajam, sebenarnya kinerja nilai tukar rupiah masih terbilang lebih baik dibandingkan dengan peers.

Asal tahu saja, nilai tukar negara lain seperti Ringgit Malaysia melemah 6,51%. Kemudan Baht Thailand anjlok 8,82%. Sedangkan Peso Filipina melemah tajam sampai 10% lebih secara year to date.

Well, sebenarnya kalau dilihat dari saham dan nilai tukar rupiah sebenarnya aset berisiko Tanah Air masih bisa dibilang lebih 'tahan banting' dibanding negara lain. Namun bukan berarti aman dari koreksi begitu saja.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), negara adidaya tersebut baru saja merilis data inflasinya untuk bulan Juni 2022 yang menyebabkan pasar modalnya longsor. Indeks S&P 500 ditutup turun 0,45% sedangkan Dow Jones dan Nasdaq Composite mengalami koreksi masing-masing 0,67% dan 0,15%.

Indeks Harga Konsumen (IHK) yang menjadi indikator inflasi naik 9,1% secara tahunan bulan lalu. Laju inflasi aktual tersebut lebih tinggi dari perkiraan pasar yang memprediksi hanya naik 8,8% secara tahunan.

Laju inflasi Juni 2022 juga lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya 8,6% secara tahunan. Kini inflasi AS sudah mencapai laju tertingginya sejak November 1981.

Inflasi inti AS yang mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa di luar harga pangan serta energi naik 5,9% secara tahunan. Pun lebih tinggi dari estimasi konsensus di angka 5,7%.

Melihat inflasi AS yang masih mengganas tersebut, pelaku pasar mulai memperkirakan bahwa bank sentral AS The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bps).

Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan the Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bps.

Namun setelah rilis data inflasi tersebut pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bps, jika mengacu pada CME FedWatch.

"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutip CNBC Internnational.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-bertambah 7 bp ke 3,03%, sementara imbal hasil obligasi serupa bertenor 2 tahun melompat 11 bp menjadi 3,16%.

Artinya, terjadi kurva inversi di mana imbal hasil obligasi tenor pendek bersinggungan dan bahkan melampaui obligasi tenor panjang. Hal ini dimaknsai sebagai sinyal bakal terjadinya resesi.

Bank of America mengatakan bahwa ekonomi AS akan jatuh ke dalam mild recession tahun ini dan tingkat pengangguran akan mencapai 4,3% tahun depan dari level sekarang di 3,6%.

Inflasi di AS yang sebelumnya diperkirakan sudah peak, ternyata salah. Kenyataan justru berkata sebaliknya, inflasi malah semakin mengganas.

Dengan inflasi yang mengganas Fed digadang-gadang bakal makin agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.

Semakin agresif the Fed dalam naikkan suku bunga acuan, maka risiko outflows dari negara berkembang seperti Indonesia akan semakin tinggi.

Memang untuk kasus Indonesia, pasar saham masih mencatatkan inflow sebesar Rp 50 triliunan. Namun di pasar obligasi asing justru net sell lebih dari Rp 100 triliun.

Artinya secara neto, pasar keuangan Indonesia mencatatkan outflow sebesar Rp 50 triliunan. Faktor inilah yang juga turut mempengaruhi kinerja rupiah.

Banyak yang menilai bahwa rupiah sangat mungkin tembus Rp 15.000/US$ dalam waktu dekat. Namun Yoga Affandi selaku Kepala Bank Indonesia (BI) Institute melihat tekanan yang dialami rupiah tidak bergitu mengkhawatirkan.

Rupiah bahkan dianggap masih dalam ambang stabil karena pelemahannya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan pelemahan nilai tukar negara lain yang juga termasuk ke dalam kelompok emerging market.

Yoga melanjutkan bahwa risiko ketidakpastian yang berpotensi menekan rupiah masih ada. Namun Ia meyakini bahwa Indonesia memiliki modal yang kuat dalam mengantisipasi risiko tersebut.

Modal kuat Indonesia yang disebut Yoga tersebut antara lain prospek pertumbuhan ekonomi pasca pandemi seiring dengan lonjakan harga komoditas, ketergantungan terhadap dana asing yang menurun tercermin dari kepemilikan asing di SBN yang tersisa hanya 16% dari sebelum pandemi yang mencapai 30%.

Selain itu likuiditas valuta asing juga terbilang cukup sehingga memungkinkan terjadinya mekanisme pasar yang baik.

Cadangan devisa (cadev) Indonesia per akhir Juni 2022 mencapai US$ 136,4 miliar yang setara dengan lebih dari 6 bulan pembiayaan impor.

Posisi cadev dianggap mencukupi untuk menjadi first line of defense ketika nilai tukar rupiah mengalami tekanan.

Namun bagaimanapun juga dalam waktu dekat potensi depresiasi rupiah juga membayangi pasar saham. Kalau rupiah tembus ke Rp 15.000/US$, IHSG juga rawan mengalami koreksi.


 

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data ekspektasi inflasi Australia Juli 2022 (08:30 WIB)
  • Rilis data tingkat pengangguran Australia bulan Juni 2022 (08:30 WIB)
  • Rilis data produksi industri Jepang bulan Mei 2022 (10:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY)

5,01 %

Inflasi (Juni 2022, YoY)

4,35%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022)

-4,65% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022)

0,1% PDB

Cadangan Devisa (Juni 2022)

US$ 136,4 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular