Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air masih belum bergairah pada perdagangan Selasa (14/6/2022) dan kembali ditutup beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menghijau, sedangkan rupiah dan harga obligasi pemerintah kembali melemah.
IHSG ditutup menguat cukup tajam 0,78% ke posisi 7.049,88. Sempat melemah di awal perdagangan, bahkan keluar dari level psikologis 7.000. Namun, di sesi II, IHSG sukses rebound dan berakhir di zona hijau.
Sayangnya, investor asing masih melakukan aksi jual bersih (net sell) di pasar reguler senilai Rp 743 miliar, di mana saham dengan marketcap besar seperti BBCA dan BBRI paling banyak dilepas asing yang masing-masing senilai Rp 174 miliar dan Rp 138 miliar.
Sedangkan, saham BRMS dan INCO menjadi dua saham paling banyak dibeli asing dengan senilai Rp 191 miliar dan Rp 28 miliar.
Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitaran Rp 15,637 triliun dengan melibatkan 25,143 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 250 saham menguat, 273 saham melemah, dan 157 saham flat.
Dari Asia, bursa sahamnya secara mayoritas ditutup melemah. Selain IHSG, indeks Shanghai Composite China juga ditutup naik 1,02% ke posisi 3.288,91 dan Hang Seng Hong Kong naik tipis 0,41 indeks poin (+0,00%) ke 21.067,99,
Sedangkan untuk indeks ASX 200 Australia masih cukup parah koreksinya yakni ambruk 3,55% ke posisi 6.686, indeks Nikkei Jepang ambles 1,32% ke posisi 26.629,859, Straits Times Singapura merosot 0,97% ke 3.108,89, dan KOSPI Korea Selatan melemah 0,46% ke 2.492,97.
Jika IHSG mampu rebound, mata uang Garuda masih belum beranjak dari pelemahannya terhadap dolar AS. Tidak heran, indeks dolar AS memang sedang perkasa di pasar spot. Bahkan di perdagangan kemarin, dolar AS sempat menyentuh rekor tertingginya selama 20 tahun di posisi 105,29.
Pada awal perdagangan kemarin, rupiah sempat terkoreksi tajam hingga menyentuh titik terendah dalam 18 bulan di Rp 14.762/US$. Kemudian, rupiah berhasil memangkas koreksinya dan berakhir di Rp 14.695/US$, bertahan di bawah Rp 14.700/US$.
Jika dibandingkan dengan mata uang di Asia, rupiah menjadi mata uang dengan performa terburuk ketiga. Sementara itu, baht Thailand dan yen Jepang memimpin pelemahan mata uang di Asia yang terkoreksi masing-masing sebesar 0,37% dan 0,36% terhadap si greenback.
Selain itu, di pasar surat berharga negara (SBN), secara mayoritas kembali mengalami pelemahan harga ditandai dengan kenaikan imbal hasil (yield).
Mayoritas investor melepas SBN kemarin, hanya SBN bertenor 3 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield dan penguatan harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun turun 1,5 basis poin (bp) ke posisi 4,627% pada perdagangan hari ini. Sedangkan yield SBN bertenor 25 tahun masih stagnan di 7,538%.
Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara menguat signifikan sebesar 12,3 bp ke 7,413% pada perdagangan kemarin.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa (14/6).
Bursa saham Amerika Serikat (AS) cenderung berakhir melemah pada perdagangan Selasa (14/6/2022).
Indeks S&P 500 terkoreksi lebih dalam ke wilayah bear market (zona penurunan) dan imbal hasil (yield) obligasi melonjak karena investor bersiap untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Indeks Dow Jones Industrial Average ambruk 151,91 poin (-0,5%) ke 30.364,83 dan menjadi hari ke lima penurunan beruntun. Indeks S&P 500 turun 14,15 poin (-0,38%) ke 3.735,48. Namun, indeks Nasdaq turun naik 19,12 poin (0,18%) ke 10.828,35.
"Ini merupakan salah satu hari di mana pasar harus mengambil sikap menunggu dan melihat, dan tentu saja itulah yang tampaknya terjadi di indeks utama. Kami benar-benar terjebak di jalan tengah," tutur Kepala Strategi Pasar di National Securities Art Hogan dikutip CNBC International.
Saham-saham mencapai posisi terendah selama sesi terakhir perdagangan. Indeks Dow Jones menyentuh titik terendah harian karena sempat turun 370 poin. Sedangkan indeks S&P 500 berada 22% dari rekor tertingginya.
Pergerakan pada pasar ekuitas terjadi karena yield obligasi melonjak lagi untuk mengantisipasi kebijakan pengetatan yang lebih agresif dari The Fed. Yield obligasi tenor 10 tahun mencapai 3,48% kemarin dan mencapai rekor tertinggi selama 11 tahun, sedangkan yield obligasi tenor 2 tahun menjadi 3,43%.
"Jika yield obligasi tidak berhenti naik, maka pasar saham belum selesai turun," kata Kepala Perencana Investasi Leuthold Group Jim Paulsen.
Saham FedEx melejit 14% setelah mengumumkan penambahan tiga direktur baru menjadi kinerja terbaik sejak 1986. Namun saham perjalanan tertekan, di mana Norwegian Cruise dan Royal Caribbean anjlok yang masing-masing sebesar 3,7% dan 4,4%. Saham maskapai Delta dan United Airlines juga tertekan 2,5%.
Sektor teknologi reli dipimpin oleh saham, Tesla, Microsoft, dan Nvidia. Beberapa pekan terakhir, sektor teknologi telah terpukul karena investor beralih ke sektor safe-haven seperti kebutuhan primer konsumen, menyebabkan Nasdaw jatuh lebih dari 30% dari level tertingginya.
Investor melihat peluang sebanyak 90% terhadap kenaikan sebanyak 75 basis poin pada pertemuan The Fed yang berlangsung dua hari hingga besok, jika mengacu pada CME FedWatch.
Indeks S&P 500 mengalami aksi jual yang intens dan jatuh 3,9% ke titik terendah sejak Maret 2021 dan berakhir ke bear market untuk pertama kalinya sejak 2020 pada Senin (13/6).
Menurut data indeks Dow Jones dan S&P, selama pasar bearish terakhir, indeks S&P 500 kehilangan 33,9% sebelum pulih. Data juga menunjukkan bahwa bear market rata-rata bertahan lebih dari 18 bulan.
Investor di Wall Street masih mengevaluasi data Indeks Harga Produsen (IHP) per Mei yang naik ke 10,8% dan berada dekat dengan rekor tertingginya.
Hal tersebut ikut mengkonfirmasi potensi resiko bahwa inflasi pada Indeks Harga Konsumen (IHK) juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.
Pada hari ini, investor akan memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang cenderung kembali terkoreksi pada perdagangan Selasa (14/6).
Penurunan yang terjadi di bursa saham AS juga dipicu oleh melonjaknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang naik ke level tertinggi dalam satu dekade kemarin karena meningkatnya ekspektasi pasar bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin.
Yield obligasi tenor 2 tahun mencapai 3,439% tertinggi sejak November 2007, sedangkan yield obligasi acuan tenor 10 tahun mencapai 3,475% dan menjadi yang tertinggi sejak April 2011. Para investor tak berani memegang obligasi jangka pendek dan membuat harganya tertekan sehingga yield nya naik.
Tidak hanya itu, kenaikan pada IHP per Mei yang naik ke 10,8% menjadi kenaikan tercepat dalam hampir 40 tahun dan telah mengguncang pasar. Hal tersebut ikut meningkatkan spekulasi bahwa The Fed akan lebih agresif lagi dan akan melampaui ekspektasi.
Pergerakan di bursa saham AS kemarin, berpotensi menekan pergerakan IHSG hari ini.
Dari dalam negeri, pelaku pasar juga perlu memantau rilis neraca perdagangan Indonesia per Mei yang dijadwalkan akan dirilis hari ini pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Mei akan mencapai US$ 3,57 miliar. Surplus tersebut lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada April 2022 yakni US$ 7,56 miliar.
Selain itu, konsensus juga memproyeksikan bahwa ekspor akan tumbuh 38,06% (year on year/yoy) sementara impor meningkat 34,06%. Sebagai catatan, pada April lalu, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 27,32 miliar atau melonjak 47,8% (yoy) sementara impor meningkat 21,9% menjadi US$ 19,76 miliar.
Surplus neraca perdagangan yang mengecil pada Mei sudah tercermin dalam cadangan devisa. Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa pada akhir Mei 2022 senilai US$ 135,6 miliar, lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada April yakni US$ 135,7 miliar.
Pada 23 Mei, pemerintah Indonesia telah membuka kembali keran ekspor CPO, yang tentunya juga akan berkontribusi terhadap neraca perdagangan. Selain itu, meningkatnya harga komoditas lain seperti batu bara, baja, dan besi juga akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia per Mei.
Meski begitu, ada potensi nilai impor akan meningkat seiring membaiknya perekonomian tanah air dan pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Konsensus pasar memperkirakan impor meningkat 34,06% pada Mei tahun ini atau lebih besar dibandingkan pertumbuhan 21,97% pada April.
Melonjaknya harga minyak mentah dunia juga dapat meningkatkan nilai impor Indonesia pada Mei. Hingga hari ini, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) dan brent telah melonjak yang masing-masing sebesar 69,65% dan 67,05% secara tahunan.
Sementara itu dari data ekonomi, pada hari ini, investor juga perlu mengamati rilis penjualan ritel China per Mei yang akan dirilis pukul 09:00 WIB dan penjualan ritel AS per Mei pukul 19:30 WIB.
Sebagai informasi, penjualan ritel China per April turun 11,1% secara tahunan karena penguncian yang diberlakukan untuk penanganan Covid-19 di Shanghai.
Hingga hari ini, kasus Covid-19 masih bermunculan di negeri tirai bambu tersebut dan sebagian besar kota Shanghai masih dikunci. Pemerintah China juga masih menerapkan penguncian nol-Covid yang memungkinkan sebuah kota dikunci penuh meski hanya ada satu kasus corona di wilayah itu.
Kondisi ekonomi China yang lesu, tentunya menjadi lampu kuning bagi Indonesia karena China merupakan mitra dagang utama Tanah Air. China telah berkontribusi sebanyak 21,21% dari total ekspor dan sebanyak 27,65% dari total impor Indonesia.
Memburuknya kondisi China akan ikut meningkatkan harga barang karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor barang jadi atau konsumsi setengah jadi dari China, bahkan bahan pangan seperti cabe, garam, dan bawang juga berasal dari China.
Melansir Trading Economics, penjualan ritel China per Mei diprediksikan akan tetap turun, tapi hanya 7,1% lebih sedikit ketimbang pada bulan sebelumnya.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Angka Produksi Industri China Per Mei (09:00 WIB)
- Angka pengangguran China per Mei (09:00 WIB)
- Penjualan Ritel China per Mei (09:00 WIB)
- Neraca Perdagangan Indonesia per Mei (11:00 WIB)
- Neraca Perdagangan Eropa per April (16:00 WIB)
- Penjualan Ritel AS per Mei (19:30 WIB)
Agenda Korporasi Hari Ini:
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Kobexindo Tractors Tbk (09:00 WIB)
- RUPST dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Widodo Makmur Perkasa Tbk (09:00 WIB)
- RUPST dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Kino Indonesia Tbk (09:00 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Unilever Indonesia Tbk (09:30 WIB)
- RUPST dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Pelayaran Nasional Bina Buana Ray Tbk (10:00 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Saraswanti Anugerah Makmur (10:30 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Mitra Energi Persada Tbk (10:30 WIB)
- RUPST dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Widodo Makmur Unggas Tbk (13:30 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Multistrada Arah Sarana Tbk (14:00 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Dyandra Media International Tbk (14:00 WIB)
- Pembagian dividen PT Supreme Cable Mnfctrg & Commerce Tbk
- Pembagian dividen PT Mitra Bara Adiperdana Tbk
- Pembagian dividen PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk
- Pembagian dividen PT Surya Esa Perkasa Tbk
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q I-2022 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Mei 2022 YoY) | 3.55% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2022) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (4,85% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q I-2022) | 0,1% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q I-2022) | (US$ 1,8 miliar) |
Cadangan Devisa (Mei 2022) | US$ 135,6 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA