Newsletter

Awas, Teori 'Sell In May and Go Away' Kian Dekati Kebenaran!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
31 May 2022 07:30
IHSG,  Senin (9/5/2022).

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal masih menguat di awal pekan, tetapi lagi-lagi surat berharga negara (SBN) masih diburu yang mengindikasikan besarnya minat pemodal untuk berjaga-jaga. Inflasi Eropa akan menjadi basis konfirmasi optimisme yang terbangun pekan lalu.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat pada penutupan perdagangan Senin (30/5/2022). Bergerak volatil sepanjang hari, pelaku pasar masih menimbang-nimbang prospek emiten di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global.

IHSG dibuka naik 0,37% di 7.052,17 dan terkoreksi 0,51% (-36,08 poin) ke 6.990,16 pada pukul 11:30 WIB.. Kembali dibuka merah di sesi dua, IHSG berhasil mencatatkan kenaikan di sesi pre-closing sehingga akhirnya ditutup hijau dengan apresiasi 0,16% di level 7.037,56.

Nilai transaksi cukup ramai di angka Rp 15 triliun, tetapi investor asing melakukan jual bersih (net sell) di pasar reguler sebanyak Rp 9 miliar. Sebanyak 315 sahm naik, 214 lain turun, dan 170 sisanya flat.

Di pasar mata uang, rupiah juga melanjutkan tren penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) yang sedang terkena aksi jual. Hingga perdagangan Senin (30/5/2022), rupiah menguat 4 hari beruntun.

Jebloknya indeks dolar AS membuat Mata Uang Garuda melesat 0,48% ke Rp 14.505/US$ di pembukaan. Sayangnya, apresiasi rupiah gagal dipertebal, dan malah terpangkas hingga mengakhiri perdagangan di Rp 14.557/US$, atau menguat 0,12%.

Indeks dolar AS yang sebelumnya berada di level terkuat dalam dua dekade terakhir berbalik merosot dalam dua pekan beruntun, nyaris sebesar 3%. Mulai terbukanya peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak berlaku agresif menjadi penyebabnya.

Dalam nota rapat Mei The Fed yang dirilis pekan lalu, terungkap para pejabat The Fed sepakat menaikkan suku bunga 50 basis poin (bp) pada Juli dan Juli. Mereka menilai kenaikan tersebut akan memposisikan The Fed di titik strategis untuk menilai efek kenaikan suku bunga tersebut.

Artinya, ada peluang The Fed akan menghentikan kenaikan suku bunga untuk sementara setelah kenaikan 50 bp pada Juni dan Juli tersebut. Terlebih, indeks belanja konsumsi perorangan (personal consumption expenditure/PCE) April tumbuh 4,9%, atau melambat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 5,2%.

Indeks PCE menjadi acuan bank sentral AS untuk menentukan langkah moneter mereka selanjutnya. Jika inflasi terkendali, maka langkah agresif penaikan suku bunga AS bisa dihindari dan membantu mengurangi tekanan atas saham teknologi.

Di pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) pun menguat. Investor kompak memburu SBN ditandai dengan melemahnya imbal hasil (yield) di seluruh tenor SBN acuan. Yield SBN bertenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-melemah 7,6 bp ke 7,065%.

Sementara itu, SBN tenor 3 tahun menjadi yang paling besar penurunan yield-nya, yakni 36,6 bp ke 4,908%. SBN berjatuh tempo 25 tahun menjadi yang paling kecil penurunan yield-nya pada hari ini, yakni turun 0,3 bp ke level 7,559%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Pelaku pasar di bursa Amerika Serikat (AS) terpantau memupuk optimisme setelah muncul data inflasi belanja perorangan dan rilis risalah rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Kemarin, Wall Street libur memperingati Hari Pahlawan (memorial day).

Sepanjang pekan lalu, Dow Jones melompat 6,2% dan memutus koreksi 8 pekan beruntun yang merupakan pelemahan terpanjang sejak tahun 1923. Indeks S&P 500 lompat 6,5% dan Nasdaq melesat 6,8%. Keduanya sukses mengakhiri koreksi 7 pekan beruntun.

Kini, Nasdaq terpaut 25,2% dari rekor tertinggi sepanjang masanya, sementara S&P 500 dan Dow terhitung 13,7% dan 10,1% dari posisi tertinggi sepanjang sejarah masing-masing.

"Saya pikir ini menjadi awal reli melegakan yang lama ditunggu," tutur Sam Stovall, Kepala Perencana Investasi CFRA Research seperti dikutip CNBC International. "Ia menunggu beberapa katalis dan saya pikir salah satunya dari The Fed."

Pasar saham AS sempat volatil sebelum membal, merespons rilis risalah rapat rapat The Fed. Bukan hanya tak lagi hawkish, pejabat The Fed diketahui mengatakan akan menimbang pengetatan suku bunga setelah kenaikan agresif pada Juni dan Juli.

Ekspektasi tersebut dinilai membuat pasar menguat pada akhir Mei, dan berpeluang mengerem fenomena aksi jual pada Mei dan koreksi berkelanjutan selepas itu (Sell in May and Go Away). Aksi jual yang terjadi sebelumnya juga dinilai telah berlebihan.

Faktor lain adalah pelemahan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-ke level 2,74% pada Jumat pekan lalu. Sebelumnya, imbal hasil surat berharga negara (SBN) AS tersebut sempat menyentuh angka 3%.

Pelemahan imbal hasil akan membantu mengurangi laju koreksi saham teknologi yang dikenal rakus menerbitkan obligasi untuk membiayai ekspansi mereka. Imbal hasil SBN yang rendah akan berujung pada rendahnya kupon obligasi sehingga memperlonggar profitabilitas mereka.

Periode trading pada Mei akan berakhir pada dini hari nanti (WIB). Meski demikian, pada awal Juni-yang berlangsung pada penghujung terakhir pekan ini-masih ada data yang perlu dicermati yakni pembukaan lapangan kerja yang melambat dari posisi April sebanyak 428.000.

Malam nanti, Presiden AS Joe Biden dijadwalkan bertemu dengan bos The Fed Jerome Powell untuk membahas isu perekonomian pada saat ini.

Volatilitas pasar sedang tinggi-tingginya di bursa saham kemarin, sebagaimana terlihat dari pergerakan flip-flop sepanjang perdagangan sebelum kemudian berbalik menguat di penghujung jam transaksi.

Dengan penutupan di zona hijau tersebut, perdagangan Mei pun berakhir imbang dengan 7 hari koreksi dan 7 hari reli. Perdagangan hari ini pun menjadi penentu posisi IHSG di sepanjang bulan Mei.

Sejauh ini, sepanjang bulan berjalan (month to date/MTD) indeks acuan utama bursa nasional tersebut terhitung ambrol 2,6% (-191,345 poin) dibandingkan dengan posisi akhir Mei yang di level 7.228,91.

Dengan demikian, adagium "sell in May and go away" tahun ini sudah separuh benar, yakni terjadi aksi jual Mei yang memicu koreksi indeks bursa. Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, tahun ini menjadi periode kedua di mana IHSG mengalami koreksi bulanan pada Mei.

Berdasarkan data sejak dua dekade terakhir (2003-2022), IHSG tercatat mengalami koreksi sebanyak 10 kali pada bulan Mei, sementara itu reli yang terbentuk sebanyak 11 kali. Dengan demikian, tren 20 tahun terakhir kian mendekati teori 'Sell in May.'

Jika pelaku pasar nasional ingin mematahkan teori tersebut, maka pada hari terakhir perdagangan Mei, yakni pada hari ini, mesti ada lompatan IHSG nyaris 200 poin atau nyaris 3% dalam sehari.

Hal ini nyaris muskil terjadi mengingat minimnya katalis di pasar. Saat ini, bursa AS masih libur dan pelaku pasar hanya bertumpu pada sentimen regional yakni perkembangan di China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia, dan juga sentimen domestik.

Situasi global masih tidak menentu di mana perang Ukraina masih berlarut-larut, sehingga ancaman inflasi masih membayang. Indikasi melandainya inflasi AS sebagaimana terlihat dari melandainya indeks belanja konsumsi perorangan (personal consumption expenditure/PCE) masih perlu konfirmasi.

Konfirmasi tersebut bakal dicari dari Eropa, yang akan merilis gambaran inflasi Uni Eropa per Mei, yang diprediksi masih meninggi dari posisi April sebesar 7,4%. Konsensus Tradingeconomics memperkirakan angka inflasi zona Euro tersebut bakal meningkat menjadi 7,7%.

Di sisi lain, China yang masih berkutat dengan kebijakan karantina wilayah (lockdown) total di Shanghai bakal merilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) per Mei versi NBS yang diprediksi masih di area kontraksi, yakni sebesar 48,9%.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Penjualan ritel Korea Selatan per April (06:00 WIB)
  • Penjualan ritel Jepang per April (06:30 WIB)
  • Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers'Index/PMI) China per Mei (08:30 WIB)
  • RUPST PT Siloam International Hospitals Tbk/SILO (09:00 WIB)
  • RUPST PT Gihon Telekomunikasi Indonesia Tbk/GHON (09:00 WIB)
  • RUPST & RUPSLB PT Sariguna Primatirta Tbk/CLEO (09:00 WIB)
  • RUPST & RUPSLB PT Supra Boga Lestari Tbk/RANC (09:30 WIB)
  • RUPST PT Indofarma Tbk/INAF (10:00 WIB)
  • RUPST & RUPSLB PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk/CASH (10:00 WIB)
  • RUPST PT Zyrexindo Mandiri Buana Tbk/ZYRX (10:00 WIB)
  • Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Jepang per Mei (12:00 WIB)
  • RUPST PT Tempo Scan Pacific Tbk/TSPC (15:00 WIB)
  • RUPST PT Hero Supermarket Tbk/HERO (15:00 WIB)
  • Inflasi Uni Eropa per Mei (16:00 WIB)
  • Indeks harga perumahan AS per Maret (20:00 WIB)
  • Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS per Mei (21:00 WIB)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Angin Segar Ditiup Wall Street, Tapi 2 Risiko Membayangi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular