
Wall Street Longsor, IHSG Masih Kuat Nanjak Hari Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan Selasa (24/5) kemarin dengan apresiasi 1,07% ke level 6.914,14.
IHSG konsisten bergerak di zona hijau sepanjang perdagangan. Asing net buy mini di pasar reguler Rp 17 miliar. Sementara itu di pasar negosiasi dan tunai, asing net sell Rp77,8 miliar.
IHSG menjadi jawara kemarin dengan bursa Asia-Pasifik utama lainnya malah ditutup di zona merah di tengah pasar global masih berjuang untuk mempertahankan relinya.
Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menjadi dua saham paling banyak diborong asing dengan net buy Rp 167 miliar dan Rp 74,3 miliar
Sedangkan saham paling banyak dilepas asing adalah saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), dengan net sell Rp 165 miliar dan Rp 90 miliar.
Tidak hanya IHSG, rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin. Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang kembali mengerek Giro Wajib Minimum (GWM) mampu membuat rupiah mempertahankan penguatan.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,14% ke Rp 14.650/US$. Sepanjang perdagangan kemarin, rupiah tidak pernah melemah, bahkan sempat menguat lagi 0,21%.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.655/US$, menguat 0,1% di pasar spot.
Kemarin, BI secara resmi mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). Hasilnya sesuai ekspektasi, suku bunga acuan masih belum diutak-atik.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23-24 April untuk mempertahankan BI7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers secara virtual.
Dengan demikian, BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak pernah berubah selama 15 bulan. Suku bunga acuan 3,5% adalah yang terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, BI juga mengambil langkah-langkah guna menjaga stabilitas rupiah dengan mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas dengan menaikkan GWM secara bertahap.
Sementara itu dolar AS sedang mengalami koreksi akibat penurunan yield Treasury AS. Pada perdagangan Senin kemarin, indeks dolar AS jeblok lebih dari 1%, melanjutkan penurunan 1,35% sepanjang pekan lalu.
Selain penurunan yield Treasury, dolar AS juga tertekan setelah salah satu pejabat elit bank sentral AS (The Fed) menyatakan suku bunga bisa kembali diturunkan ketika inflasi sudah sukses dikendalikan.
Indeks utama Wall Street sebagian besar berakhir lebih rendah dengan aksi jual di saham teknologi semakin parah akibat kekhawatiran akan prospek pertumbuhan ekonomi dan kenaikan suku bunga terus membebani pasar.
S&P 500 turun 32,27 poin atau 0,81%, Nasdaq Composite yang dipenuhi saham teknologi turun 270,83 poin atau 2,35%. Sementara itu Dow Jones Industrial Average mampu menguat tipis di menit-menit terakhir bel penutupan perdagangan, naik 48,38 poin atau 0,15%.
Ketiga indeks tersebut sempat jatuh lebih dalam ke zona merah di awal perdagangan karena laporan suram tentang penjualan rumah dan pandangan perusahaan yang kurang menjanjikan memperbesar kekhawatiran investor.
Yang membebani investor pada hari Selasa kemarin adalah peringatan laba dan pendapatan dari perusahaan media sosial Snap sehari sebelumnya yang memperburuk sentimen tentang sektor teknologi. Selain itu, laporan mengecewakan lain menunjukkan penjualan rumah baru AS yang lebih lambat pada bulan April semakin memperkeruh suasana.
Saham Snap anjlok US$ 9,68, atau 43%, menjadi berakhir di level US$ 12,79 pada hari Selasa karena investor menanggapi komentarnya bahwa lingkungan ekonomi makro telah memburuk kondisi perusahaan lebih dari yang diharapkan. Kekhawatiran tentang gangguan pada pendapatan iklan Snap memberikan efek domino ke saham teknologi lain yang juga telah terpukul dalam tahun ini. Meta Platforms turun 7,6%, sedangkan induk Google Alphabet turun 5%.
Sementara itu, data penjualan rumah yang jauh di bawah ekspektasi ekonom tampaknya menjadi tanda lain bahwa kenaikan suku bunga Fed sudah memperlambat ekonomi riil.
Kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan di tengah inflasi yang lebih tinggi telah menjadi salah satu katalis yang membuat S&P 500 jatuh 18% dari level tertinggi Januari. Investor telah mengkhawatirkan apakah S&P 500 akan memasuki wilayah pasar bearish, yang didefinisikan sebagai penurunan setidaknya 20% dari level tertinggi baru-baru ini. Pada hari Jumat, indeks acuan hampir berakhir di pasar bearish sebelum diselamatkan oleh reli di akhir sesi.
Ketika saham perusahaan teknologi besar ambles dalam, saham yang lebih terikat dengan ekonomi fisik hanya mengalami koreksi tipis atau malah tumbuh positif. Sektor S&P 500 seperti kebutuhan pokok konsumen, energi, dan real estat bergerak di zona hijau pada akhir perdagangan.
Aksi jual pada hari Selasa di saham teknologi mendorong investor untuk mengoleksi obligasi pemerintah, dengan imbal hasil pada catatan Treasury AS 10-tahun turun menjadi 2,758% dari 2,857% pada hari Senin. Imbal hasil obligasi akan turun ketika harganya naik.
Di Eropa, Stoxx 600 melemah 1,1%. Di Asia, Hang Seng Hong Kong turun 1,7%. Nikkei 225 Jepang terkoreksi 0,9% sementara Shanghai Composite China turun 2,4%.
Pada perdagangan hari ini sentimen pasar utama masih didominasi oleh reaksi investor akan keputusan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan di level terendah, meskipun secara terbatas respons pasar tampaknya masih positif dengan IHSG ditutup menguat kemarin.
Selanjutnya investor juga patut menyimak dampak kebijakan Bank Indonesia (BI) yang kembali mengerek Giro Wajib Minimum (GWM), khususnya terhadap sektor perbankan.
Sebelumnya di awal tahun ini, BI berencana mengerek GWM Pada Maret (100 basis poin), Juni (100 basis poin) dan September (50 basis poin), untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 6,5%
Dan untuk bank umum syariah (BUS) di September GWM menjadi 5%, dengan kenaikan masing-masing 50 basis poin.
Kemarin, BI mempercepat dan menaikkan lagi GWM tersebut. Untuk BUK, GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.
Untuk BUS yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.
Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun. Tetapi tidak akan mengurangi kemampuan perbankan menyalurkan kredit sebab likuiditas dikatakan masih sangat longgar. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) saat ini berada di kisaran 29% dan akan turun menjadi 28% dengan kenaikan GWM. Tetapi AL/DPK tersebut masih jauh lebih tinggi dari sebelum pandemi Covid-19 melanda di kisaran 21%.
Penyerapan likuiditas tersebut pada akhirnya diharapkan mampu untuk membuat rupiah menjadi jauh lebih stabil.
Investor juga perlu menyimak kondisi terbaru serta implikasi yang terjadi akibat konflik di Eropa Timur antara Rusia dan Ukraina.
Dalam World Economic Forum Annual Meeting yang tengah berlangsung - diselenggarakan hingga 22-26 Mei - Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen kemarin mengatakan kepada CNBC Internasional bahwa dia berharap kesepakatan untuk memberikan sanksi kepada minyak Rusia akan tercapai dalam beberapa hari mendatang.
Bulan lalu blok tersebut telah melakukan embargo atas batu bara Rusia. Jika embargo baru untuk minyak resmi disepakati, harga komoditas dapat kembali naik termasuk batu bara dan dapat mempengaruhi gerak emiten di sektor energi.
Terakhir, investor juga tampaknya perlu memantau kondisi ekonomi AS dan kinerja pasar keuangan di negeri Paman Sam secara luas. Pengetatan kebijakan moneter tampaknya masih menjadi momok dan efeknya mungkin dapat dirasakan hingga ke pasar modal dalam negeri.
Sebelumnya Goldman Sachs memperkirakan ada kemungkinan 35% ekonomi AS memasuki resesi dalam dua tahun ke depan. Pesimisme akan prospek ekonomi AS juga diungkapkan manajer hedge fund yang juga merupakan miliarder, Bill Ackman, yang menyebut bahwa inflasi yang sedang 'mengamuk' hanya akan hilang jika Federal Reserve bertindak lebih agresif atau aksi jual pasar membuat pasar keuangan runtuh.
"Tidak ada prospek pengurangan inflasi yang material kecuali The Fed secara agresif menaikkan suku bunga, atau pasar saham ambruk, mengkatalisasi keruntuhan ekonomi dan hancurnya permintaan," kata Ackman dalam cuitan di Twitter, Selasa (24/5).
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Pidato pejabat bank sentra Australia (06.45)
- Indeks keyakinan konsumen Jerman Juni (13.00)
- Pidato presiden Bank Sentral Eropa (15.00)
- Pidato pejabat bank sentral Jepang (16.05)
Hari ini setidaknya terdapat 14 agenda korporasi yakni:
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) TUGU
- RUPST PEHA
- RUPST MIDI
- RUPST MGRO
- RUPST MERK
- RUPST INTP
- RUPST HEAL
- RUPST dan RUPSLB FILM
- RUPST CINT
- RUPST BNBA
- RUPST BBKP
- RUPST AMRT
- RUPST ABDA
- Cum date deviden tunai EPMT
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd/fsd) Next Article Powell Buat Pasar Happy, IHSG Bisa Cuan Saat Window Dressing