Newsletter

Wall Street Ambruk Lagi! IHSG Kemarin Ngeri, Hari Ini Angker

Putra, CNBC Indonesia
10 May 2022 06:10
Ilustrasi Jerome Powell (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)
Foto: Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Tekanan jual juga terus berlanjut di pasar saham AS. Di awal-awal perdagangan, tiga indeks saham acuan Wall Street anjlok lebih dari 2%.

Indeks Nasdaq Composite yang berisikan saham-saham teknologi terkoreksi paling parah hingga 4,29%. Sementara S&P 500 terkoreksi 3,2% dan Dow Ambruk 1,99%.

Sementara itu di saat yang sama, yield obligasi pemerintah AS 10 tahun juga merangkak naik ke level 3,18%.

Semua ini pemicunya lagi-lagi bermuara pada kebijakan moneter AS. Bank sentral Paman Sam The Fed pekan lalu menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps.

Kini target suku bunga AS berada di kisaran 0,75-1,00%. Kenaikan drastis suku bunga acuan membuat yield surat utang pemerintahnya naik signifikan.

Ketika yield naik berarti harga obligasi sedang tertekan. Investor cenderung memilih aset-aset dengan durasi pendek dan melepas aset dengan horison investasi jangka panjang.

Hal inilah yang memicu saham-saham teknologi babak belur di sepanjang tahun 2022 ini. Pelaku pasar pun memperkirakan volatilitas masih akan berlangsung.

"Kami perkirakan pasar masih akan bergerak volatil dengan kecenderungan adanya downside risk seiring dengan risiko stagflasi yang meningkat" tulis Maneesh Despande dari Barclays sebagaimana diwartakan CNBC International.

Sebagai informasi stagflasi adalah kondisi ketika perekonomian suatu negara mengalami inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi dan dibarengi dengan ekonomi yang melambat dan adanya resesi.

Stagflasi pernah terjadi di tahun 1970-an. Pemicu stagflasi kala itu juga sama yaitu harga minyak dan energi yang melambung karena tensi geopolitik yang meningkat.

Secara teknikal, pasar saham AS juga dinilai belum mencapai titik terendahnya (bottom). Hal ini diungkapkan oleh JC'O Hara dari MKM Partners, melansir CNBC International.

"Kami pikir  harga saham masih berpotensi untuk terus turun karena kami belum melihat cukup bukti indikator teknikal yang menunjukkan proses bottoming dimulai. Profil volume juga belum oversold" tulis JC'O Hara.

(trp/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular