Newsletter

Kabar Baik dari Wall Street, Akankah IHSG Bangkit?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
20 April 2022 06:50
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Selasa (19/4/2022) kemarin secara mayoritas ditutup melemah. Hanya rupiah saja yang menorehkan penguatan kemarin.

Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup ambles 1,05% ke level 7.199,23. IHSG sempat menguat di awal perdagangan kemarin. Namun setelah itu indeks anjlok.

Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitaran Rp 15 triliun dengan melibatkan 25 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,6 juta kali. Sebanyak 179 saham terapresiasi, 359 saham terdepresiasi, dan 153 saham stagnan.

Investor asing pun kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) hingga mencapai Rp 423,29 miliar di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 329,5 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 93,79 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Dari Asia, bursa sahamnya ditutup cenderung beragam pada perdagangan kemarin. Dari bursa Asia yang mengalami penguatan, indeks KOSPI Korea Selatan memimpin dengan melesat nyaris 1%.

Sedangkan dari bursa Asia yang mengalami koreksi, indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling besar koreksinya kemarin, yakni ambruk lebih dari 2%.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Selasa kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan Selasa kemarin berhasil ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Melansir data Refinitiv, rupiah menguat tipis 0,02% ke Rp 14.350/US$ saat pembukaan perdagangan kemarin. Sempat melemah tipis ke Rp 14.355/US$, rupiah kemudian terus melaju hingga mencatat penguatan 0,21% ke Rp 14.323/US$. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.335/US$, menguat 0,13% di pasar spot.

Dibandingkan mata uang Asia-Pasifik lainnya, pelemahan rupiah tersebut menjadi yang terbaik kedua setelah dolar Australia, di mana hanya dolar Australia dan rupiah saja yang menguat dihadapan sang greenback kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Selasa kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), secara mayoritas kembali mengalami pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield) pada perdagangan kemarin.

Hanya SBN bertenor 25 tahun dan 30 tahun yang yield-nya cenderung stagnan di level masing-masing 7,354% dan 7,036%

Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara makin mendekati kisaran level 7%, di mana saat ini, yield SBN tenor 10 tahun sudah berada di level 6,977%, naik 2 bp.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa kemarin.

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk tetap mempertahankan BI-7 Day Reserve Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan tersebut sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi. Serta upaya untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah tekanan eksternal yang meningkat terkait adanya tensi Rusia-Ukraina, serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju.

"Bank Indonesia juga terus mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut," jelas Perry dalam konferensi pers, Selasa kemarin.

Keputusan Gubernur Perry dan kolega sejalan dengan ekspektasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia sebelumnya memperkirakan BI-7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%. Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut hanya satu yang memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini.

Namun, BI memperkirakan ekonomi nasional pada 2022 tumbuh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Perkiraan BI kini adalah 4,5-5,3% dari yang sebelumnya 4,7-5,5%.

Hal ini dipengaruhi oleh kondisi global yang juga tumbuh lebih rendah akibat ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina dan normalisasi moneter pada negara maju merespons lonjakan inflasi.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street berhasil ditutup di zona hijau pada perdagangan Selasa waktu setempat, di tengah antisipasi pemodal atas rilis kinerja emiten di Negeri Sam tersebut.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,45% ke level 34.911,199, S&P 500 melonjak 1,61% ke posisi 4.462,21, dan Nasdaq Composite melompat 2,15% menjadi 13.619,66.

Dengan inflasi tinggi dan kecenderungan sikap hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), investor kini memantau situasi rantai pasokan dan permintaan konsumen di perusahaan raksasa AS.

"Margin laba diperkirakan masih menguat, sekalipun inflasi berpeluang memangkas margin dari rekor tertinggi sepanjang masanya pada 2021. Hanya sektor energi dan utilitas yang mencerminkan kenaikan tahun berjalan di ekspektasi pertumbuhan margin," tutur Keith Lerner, Direktur Investasi Truist Advisory Services, dalam riset yang dikutip CNBC International.

Saham bank menjadi yang paling unggul karena suku bunga bergerak lebih tinggi di tengah rilis kinerja keuangan bank regional dan menengah.

Saham Citizens Financial, yang mengalahkan estimasi kuartal pertama di garis atas dan bawah pada Selasa pagi melonjak 6,8%. Saham JPMorgan juga melesat lebih dari 2%.

Selain saham bank, beberapa saham sektor teknologi dan media juga positif pada Selasa kemarin. Saham Disney dan Netflix melonjak 3,2%, sedangkan saham Microsoft melesat 1,7%, dan saham Alphabet (induk Google) melaju 1,8%.

Saham Hasbro melompat sekitar 5%, sekalipun perusahaan mainan tersebut mencetak laba bersih kuartal I-2022 yang lebih lemah dari ekspektasi secara kuartalan. Pasalnya, pendapatan perseroan masih sesuai ekspektasi pasar. Saham militer Lockheed Martin anjlok sekitar 1,6%.

Pasar juga memantau kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury). Yield Treasury tenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar menguat ke level 2,92%.

Hal ini memicu ekspektasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunganya secara drastis.

Kecemasan seputar kenaikan suku bunga acuan memicu volatilitas tinggi di pasar obligasi yang memperberat saham dalam beberapa pekan terakhir.

Sementara itu, data izin pembangunan perumahan baru pada Maret lalu dilaporkan lebih tinggi dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones. Itu tampaknya meningkatkan saham homebuilder, dengan D.R. Horton naik 3,9%.

"Sejauh ini data ekonomi telah bertahan cukup baik, jadi ada beberapa kekuatan yang mendasari meskipun kekhawatiran resesi tumbuh dan suara tentang perlambatan ekonomi semakin keras," kata Angelo Kourkafas, ahli strategi investasi di Edward Jones, dilansir dari CNBC International.

Di lain sisi, saham perjalanan juga berkinerja baik setelah aturan wajib masker untuk perjalanan udara dicabut menyusul keputusan pengadilan setempat pada Senin lalu. Saham American Airlines melonjak lebih dari 5%, sementara United naik 4,5%.

Pada hari ini, investor akan memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street. Wall Street pun berhasil berbalik arah (rebound) ke zona hijau setelah beberapa hari terkoreksi.

Meski berhasil pulih, tetapi pelaku pasar di AS masih memantau dampak dari inflasi yang meninggi kembali pada Maret lalu. Mereka masih memantau pergerakan yield Treasury yang masih melonjak hingga mencapai level tertingginya sejak 2018.

Hal ini memicu ekspektasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunganya secara drastis.

Kecemasan seputar kenaikan suku bunga acuan memicu volatilitas tinggi di pasar obligasi yang memperberat saham dalam beberapa pekan terakhir.

Dengan inflasi tinggi dan kecenderungan sikap hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), investor di AS kini memantau situasi rantai pasokan dan permintaan konsumen di perusahaan raksasa AS.

Selain dari Wall Street, investor juga akan memantau dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang kembali dipangkas.

IMF memangkas proyeksi atas pertumbuhan ekonomi global. Bahkan untuk 2023 mendatang, IMF memproyeksikan ekonomi dunia akan mendekati resesi.

Hal ini tertulis dalam ringkasan laporan IMF yang bertajuk World Economic Outlook: War Sets Bank The Global Recovery, dikutip CNBC Indonesia, Selasa kemarin

Pada 2022, ekonomi dunia diperkirakan hanya mampu tumbuh 3,6% lebih dari yang sebelumnya diramal 3,8%. Untuk 2023, akan menjadi lebih buruk karena ekonomi diperkirakan hanya tumbuh 0,8%-0,2%

Buruknya ramalan tersebut disebabkan oleh perang Rusia dan Ukraina yang hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian.

Padahal, kedua negara tersebut berperan besar pada perekonomian dunia, terutama dalam pasokan minyak dan gas bumi. Ini sekaligus memberikan pengaruh terhadap sederet harga komoditas internasional yang kini sudah melonjak. Perang juga berdampak pada kenaikan harga pangan internasional.

Situasi ini akhirnya turut mengerek inflasi di berbagai negara. IMF memperkirakan inflasi pada negara maju mencapai 5,7% dan 8,7% pada negara berkembang untuk 2022.

Negara maju dan berkembang dengan fiskal yang kuat, akan mampu memberikan subsidi atau bantalan untuk menjaga daya beli masyarakat. Akan tetapi, negara lain dengan fiskal terbatas tak mampu berbuat banyak.

Sementara itu dari China, bank sentral (People Bank of China/PBoC) akan mengumumkan kebijakan suku bunga pinjaman acuan terbarunya pada hari ini, di mana bank sentral Negeri Panda diprediksi akan tetap mempertahankan kembali suku bunga acuannya.

Untuk suku bunga pinjaman acuan tenor 1 tahun diprediksi tetap di level 3,7%, sedangkan suku bunga pinjaman acuan berjatuh tempo 5 tahun diperkirakan masih berada di level 4,6%.

Pada hari ini juga, beberapa data ekonomi yang akan dirilis juga tak kalah penting. Adapun data ekonomi tersebut yakni data neraca perdagangan dan data ekspor-impor Jepang periode Maret lalu.

Konsensus Tradingeconomics memperkirakan neraca perdagangan Negeri Sakura akan kembali defisit menjadi 668,3 miliar yen.

Sedangkan dari data ekspor Negeri Sakura, diprediksi akan naik menjadi 19,1% pada bulan lalu dan impor Negeri Sakura juga akan naik menjadi 34%.

Selain Jepang, data neraca perdagangan Uni Eropa atau Zona Euro pada periode Februari 2022 juga akan dirilis pada hari ini.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data neraca perdagangan Jepang periode Maret 2022 (06:50 WIB),
  2. Rilis data ekspor-impor Jepang periode Maret 2022 (06:50 WIB),
  3. Keputusan suku bunga acuan pinjaman bank sentral China (08:15 WIB),
  4. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Astra International Tbk (09:00 WIB),
  5. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT PP Presisi Tbk (09:30 WIB),
  6. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan dan Luar Biasa PT Armada Berjaya Trans Tbk (10:00 WIB),
  7. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Dharma Satya Nusantara Tbk (10:00 WIB),
  8. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT PP Properti Tbk (13:00 WIB),
  9. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Multi Bintang Indonesia Tbk (14:00 WIB),
  10. Rilis data neraca perdagangan Zona Euro periode Februari 2022 (16:00 WIB),
  11. Rilis data produksi industri Zona Euro periode Februari 2022 (16:00 WIB),
  12. Rilis data penjualan rumah Amerika Serikat periode Maret 2022 (21:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY)

3,69%

Inflasi (Maret 2022 YoY)

2,64%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (April 2022)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

4,85% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021 YoY)

0,28% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2021 YoY)

US$ 13,46 miliar

Cadangan Devisa (Maret 2022)

US$ 139,13 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular