Newsletter

Dear Investor, China Bisa Jadi Penentu Pasar Hari Ini

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
18 April 2022 06:30
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu secara mayoritas mengalami penguatan. Hanya pasar obligasi pemerintah Indonesia yang berkinerja kurang baik pada pekan lalu

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,34% secara point-to-point pada pekan lalu. Pada perdagangan Kamis (14/4/2022) lalu, yang menjadi perdagangan terakhir pekan lalu, IHSG ditutup melemah 0,38% ke level 7.235,53.

IHSG pun sudah mencatatkan penguatan hingga lima pekan terakhir. Bahkan, IHSG terus mencatatkan rekor tertinggi barunya (all time high/ATH).

Nilai transaksi bursa pada pekan lalu mencapai Rp 86,5 triliun, dengan melibatkan 150 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 8 juta kali.

Investor asing pada pekan lalu masih melakukan pembelian bersih (net buy) hingga mencapai Rp 5,29 triliun di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 4,62 triliun di pasar reguler dan sebesar Rp 665,08 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, yakni rupiah, kinerjanya juga terbilang cukup apik, di aman rupiah menguat 0,12% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point. Rupiah mengakhiri pekan di posisi Rp 14.343/US$.

Melansir Refinitiv, secara tahun berjalan (year-to-date/YTD), Mata Uang Garuda memang masih melemah terhadap dolar AS sebanyak 0,6%.

Meskipun IHSG dan rupiah mencatatkan kinerja yang cukup baik, tetapi di pasar obligasi pemerintah RI atau surat berharga negara (SBN) masih mencatatkan kinerja yang kurang baik pada pekan lalu. Harga obligasi pemerintah RI secara mayoritas masih mengalami pelemahan atau mengalami kenaikan imbal hasil (yield) sepanjang pekan lalu.

Mengacu pada data Refinitiv, hanya SBN bertenor 3 tahun yang mengalami penguatan harga dan penurunan yield-nya pada pekan lalu. Bahkan, yield SBN tenor berjangka pendek yakni 1 tahun naik cukup besar yakni sebesar 272,5 basis poin (bp).

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara menguat 13,3 bp pada pekan lalu.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Pada Rabu pekan lalu, Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati juga memberikan pernyataan bahwa pemerintah memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2022 akan tetap berada dalam rentang 4,5% - 5,2%. Meskipun, angka inflasi Indonesia naik dan berada di 2,6% secara tahunan dan 0,6% secara bulanan.

Bank Indonesia (BI) masih optimis inflasi Indonesia tahun ini akan berkisar di 2%-4%, dan belum menaikkan suku bunga acuan seperti bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang terang-terangan memberi pernyataan akan menaikkan suku bunga acuannya mulai bulan depan.

BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di 3,5% hingga adanya kenaikan lanjutan pada inflasi Indonesia. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan bahwa BI tidak sembarangan dalam merespon inflasi. Dia juga menambahkan bahwa apa yang akan direspons oleh MH Thamrin adalah inflasi yang sifatnya fundamental, yang dicerminkan dengan inflasi inti.

Beralih ke AS, bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau kurang bergairah, karena investor mencerna rilis kinerja keuangan perusahaan yang beragam dari bank-bank besar dan meningkatnya kembali inflasi Negeri Paman Sam.

Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,38%, S&P 500 ambruk 2,39%, dan Nasdaq Composite anjlok 3,93%.

Pada perdagangan Kamis pekan lalu, Dow Jones melemah 0,33% ke level 34.451,23, S&P 500 merosot 1,21% ke 4.392,59, dan Nasdaq ambrol 2,14% ke 13.351,08.

Pergerakan pasar terjadi saat inflasi menjadi pusat perhatian pelaku pasar pekan lalu. Hal ini membuat imbal hasil (yield) Treasury naik lebih tinggi, dan dua laporan inflasi AS berturut-turut menunjukkan kenaikan harga yang tajam.

Pada Kamis lalu, yield Treasury AS acuan tenor 10 tahun naik kembali ke tertinggi multi-tahun, yakni naik sebesar 13 basis poin (bp) ke atas level 2,8%.

Sebelumnya pada Selasa lalu waktu AS, Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan laju inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada Maret 2022 mencapai 8,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Angka ini lebih tinggi dari konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 8,4% sekaligus jadi rekor tertinggi sejak Desember 1981.

Sedangkan inflasi dari sisi produsen (Producer Price Index/PPI) AS pada Maret lalu melompat 11,2% secara tahunan (yoy).

Data IHK dan PPI AS yang naik semakin memperkuat keyakinan pasar bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal mendongkrak suku bunga acuan lebih cepat.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed bakal mendongrak Federal Funds Rate sebanyak 2,5 poin persentase pada tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 1994.

Sementara itu, penjualan ritel Maret lalu juga dilaporkan meleset dari ekspektasi dengan tumbuh hanya 0,5%, didorong kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), menurut Biro Sensus AS. Angka itu lebih rendah dari konsensus dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 0,6%. Di sisi lain, klaim tunjangan pengangguran melompat 185.000 selama sepekan terakhir.

Di lain sisi, kinerja perbankan yang dirilis pada pekan lalu terbukti buruk sebagaimana terlihat dari rilis kinerja keuangan Goldman Sachs dan Wells Fargo per kuartal I-2022. Morgan Stanley memberi kejutan dengan mencetak kinerja yang lebih baik sehingga sahamnya menguat 0,7%.

Pada pekan ini, investor masih akan memantau beberapa sentimen global. Salah satunya yakni masih terkait dengan inflasi AS yang kembali meninggi pada Maret lalu.

Sebelumnya pada Selasa pekan lalu waktu AS, Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan laju inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada Maret 2022 mencapai 8,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Angka ini lebih tinggi dari konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 8,4% sekaligus jadi rekor tertinggi sejak Desember 1981. Sedangkan inflasi dari sisi produsen (Producer Price Index/PPI) AS pada Maret lalu melompat 11,2% secara tahunan (yoy).

Data IHK dan PPI AS yang naik semakin memperkuat keyakinan pasar bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal mendongkrak suku bunga acuan lebih cepat.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed bakal mendongrak Federal Funds Rate sebanyak 2,5 poin persentase pada tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 1994.

Hal ini akan menjadi perhatian pasar pada pekan ini. Pasalnya, ketua The Fed, Jerome Powell dijadwalkan memberikan pidato pada akhir pekan ini. Pasar akan mengantisipasi mengenai sejauh mana bank sentral terkuat dunia tersebut bakal mengirim sinyal agresivitas kebijakan moneternya menjadi ekstra ketat.

Selain masih akan memantau dampak dari inflasi AS yang kembali menigging, pasar juga akan memantau Rapat Musim Semi (Spring Meetings) Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia (World Bank) yang akan berlangsung pada Senin hingga Jumat.

Di perhelatan yang dihadiri menteri keuangan dan pejabat bank sentral seluruh negara di dunia tersebut, akan ada pernyataan dan konferensi pers dari pejabat IMF maupun Bank Dunia mengenai situasi ekonomi global sekarang dan prospeknya hingga penghujung tahun.

Sementara di akhir pekan ini, ketua bank sentral AS, Jerome Powell dijadwalkan memberikan pidato. Pasar akan mengantisipasi mengenai sejauh mana bank sentral terkuat dunia tersebut bakal mengirim sinyal agresivitas kebijakan moneternya menjadi ekstra ketat.

Sementara pada hari ini, beberapa data ekonomi penting di dunia akan dirilis. Salah satunya yakni data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2022 yang akan dirilis pada pukul 10:00 waktu setempat atau pukul 09:00 WIB.

Konsensus Tradingeconomics memperkirakan pertumbuhan sebesar 4,4%, melanjutkan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya sebesar 4%.

Selain data pertumbuhan ekonomi China, data produksi industri China pada periode yang sama juga akan dirilis pada hari ini pada pukul 09:00 WIB. Tetapi, diprediksi memburuk dengan hanya tumbuh 4,5% atau melambat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,5%.

Sementara itu dari Indonesia, pelaku pasar akan memantau rilis neraca perdagangan per Maret 2022. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi keuangan memperkirakan nilai ekspor bulan lalu naik 23,22% dari Maret 2021 (year-on-year/YoY).

Sementara itu, impor diperkirakan tumbuh 17,07 YoY. Dengan perkiraan tersebut, neraca perdagangan diprediksi surplus US$ 2,97 miliar. Surplus tersebut lebih kecil dari Februari yang mencapai US$ 3,95 miliar, di mana ekspor melonjak 34,14% sementara impor naik 25,43%.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data ekspor non-migas Singapura periode Maret 2022 (07:30 WIB),
  2. Rilis data neraca perdagangan Singapura periode Maret 2022 (07:30 WIB),
  3. Rilis data pertumbuhan ekonomi China periode kuartal I-2022 (09:00 WIB),
  4. Rilis data produksi industrial China periode Maret 2022 (09:00 WIB),
  5. Rilis data penjualan ritel China periode Maret 2022 (09:00 WIB),
  6. Rilis data tingkat pengangguran China periode Maret 2022 (09:00 WIB),
  7. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Multipolar Technology Tbk (10:00 WIB),
  8. Rilis data neraca perdagangan Indonesia periode Maret 2022 (11:00 WIB),
  9. Rilis data ekspor-impor Indonesia periode Maret 2022 (11:00 WIB),
  10. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Wijaya Karya Beton Tbk (13:30 WIB),
  11. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (14:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY)

3,69%

Inflasi (Maret 2022 YoY)

2,64%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2022)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

4,85% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021 YoY)

0,28% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2021 YoY)

US$ 13,46 miliar

Cadangan Devisa (Maret 2022)

US$ 139,13 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/sef) Next Article Hari Penentuan Tiba: AS Akan Buat Dunia Menangis atau Ketawa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular