Newsletter

China Lockdown hingga Rusia Mau Damai, IHSG Gamang?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
29 March 2022 06:20
Suasana Shanghai Saat Lockdown China
Foto: Para sukarelawan membawa kebutuhan sehari-hari bagi penduduk di Distrik Fengxian di kota Shanghai, China timur, Senin (28/3/2022). (Wang Yanting/Xinhua via AP)

Hari ini ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh para investor, dengan mayoritas isu berasal dari luar negeri.

Pertama tentu saja terkait perang Ukraina-Rusia serta implikasinya bagi sektor ekonomi dan bisnis global. Hingga saat ini, perang yang sempat membebani pasar keuangan dunia tersebut masih jauh dari kata selesai, meskipun sudah ada tanda-tanda deeskalasi.

Hal ini terkait laporan pejabat Ukraina yang menyebut pasukan Rusia mulai menarik diri dari beberapa lokasi serangan, Senin (28/3/2022) pagi waktu setempat, termasuk dari ibu kota negara Kyiv.

Sementara itu, Rusia sendiri belum memberi keterangan resmi saat ini. Namun Sabtu lalu, Moskow memberi sinyal akan mengakhiri perang dan hanya berkonsentrasi di Ukraina Timur, Donbass, dengan mengurangi jumlah angkatan bersenjata mereka.

Terbaru, kabarnya kedua belah pihak akan melakukan pembicaraan damai secara tatap muka yang akan berlangsung di Turki hari ini (29/3/2022), ungkap Kremlin yang dilansir Reuters.

Rubel Rusia pun akhirnya terapresiasi di bawah 88 per US$, posisi paling tinggi dalam 4 minggu, dan kini hanya 10% lebih rendah dari dolar AS sejak invasi yang menandakan kontrol modal yang diberlakukan oleh bank sentral Rusia membuahkan hasil, sementara sanksi yang dijatuhkan oleh Barat masih terlalu lemah.

Selain itu, kekhawatiran terkait kemampuan Rusia untuk melaksanakan kewajiban atas utang negaranya telah mereda setelah Kementerian Keuangan mengindikasikan akan melakukan pembayaran kupon dan pokok obligasi negara 2024 senilai US$ 2 miliar.

Dari dunia kripto, bitcoin naik mendekati 6% ke level tertinggi salam lebih dari dua bulan di harga US$ 47.450 karena risk appetite investor yang menajam jelang pembicaraan baru antara Rusia dan Ukraina.

Sentimen utama lain adalah kabar buruk yang datang dari China. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut kembali akan melakukan karantina wilayah (lockdown) di ibu kota Shanghai.

Kenaikan kasus Covid-19 membuat pemerintah China melakukan lockdown dengan membagi Shanghai menjadi dua menggunakan patokan Sungai Huangpu. Distrik di sebelah timur sungai, dan beberapa di baratnya, akan dikunci dan diuji antara 28 Maret dan 1 April. Area yang tersisa akan dikunci dan diuji antara 1 dan 5 April.

Sebagai negara utama tujuan ekspor, lockdown yang dilakukan China tentunya bisa berdampak ke negara perdagangan Indonesia yang sudah membukukan surplus 22 bulan beruntun.

Selanjutnya investor juga perlu memperhatikan volatilitas harga komoditas, yang kian hari semakin sulit diprediksi. Setelah cenderung melemah selama dua pekan sebelumnya, pekan lalu komoditas tambang, energi dan perkebunan kompak menguat.

Akan tetapi lockdown di China dan prospek damai antara Rusia dan Ukraina membuat harga minyak dunia kembali jatuh nyaris 7% pada perdagangan Senin. Tidak hanya itu, komoditas tambang yakni nikel juga ambles 6% pada perdagangan kemarin di LME.

Dari negeri Paman Sam, investor juga akan mencermati mengikuti laporan terkait penggajian (payroll) AS dan data pengeluaran konsumsi pribadi sebagai proksi dan petunjuk seberapa cepat The Fed akan mengetatkan kebijakan moneter.

Baru-baru ini bank sentral AS tersebut telah resmi menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bp) selaras dengan harapan pasar. Meski demikian dari dalam negeri, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuannya, setidaknya sampai Rapat Dewan Gubernur Selanjutnya.

Analis keuangan dan ekonom banyak yang memprediksi bahwa RI setidaknya akan melakukan dua kali kenaikan suku bunga dan paling cepat dilakukan pada kuartal kedua tahun ini. Agresivitas dari The Fed tentu juga mempengaruhi seberapa cepat suku bunga dalam negeri akan naik.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, sekali lagi menegaskan suku bunga 3,50% akan dipertahankan sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental.

Sebelumnya, pimpinan tertinggi The Fed telah menyebut bahwa kedepannya mereka dapat saja menaikkan suku bunga secara agresif hingga 50 bps bila benar-benar diperlukan.

Terakhir dari dalam negeri, beredar kabar bahwa PPN 11% juga akan berdampak pada transaksi bursa. Sebelumnya, pemerintah juga baru melakukan pengenaan bea materai Rp 10.000 untuk setiap transaksi saham di atas Rp 10 juta sejak 1 Maret 2022 lalu.

Dalam sebuah surel kepada para nasabahnya yang dikutip CNBC Indonesia Senin (28/3), salah satu perusahaan sekuritas menyampaikan bahwa "berdasarkan peraturan undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Oktober 2021, kami akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 11% untuk transaksi saham."

(fsd/fsd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular