Jakarta, CNBC Indonesia - IHSG sepanjang pekan lalu bergerak positif. Menyusul membaiknya sentimen global di tengah ketegangan di Ukraina yang mereda meskipun berujung pada tekanan saham-saham komoditas.
Sepanjang pekan, IHSG terhitung menguat 0,47% atau 32,36 poin dibandingkan dengan posisi penutupan akhir pekan lalu di level 6.922,602.
Pada awal pekan lalu, IHSG sempat menyentuh level psikologis 7.000. Namun kemudian kembali turun karena penguatan dinilai belum didukung aspek fundamental dan masih adanya risiko perang.
Kinerja saham dari sektor energi yang sempat menggiring reli IHSG pekan lalu, tumbang seiring dengan harga komoditas dunia yang merosot.
Data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebutkan total nilai perdagangan sepekan mencapai Rp 82,7 triliun. Investor asing mencetak pembelian bersih (net buy) senilai Rp 6,66 triliun di pasar reguler.
Sementara, nilai tukar rupiah sepanjang pekan lalu melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah tingginya inflasi di Negara Adidaya yang diikuti kenaikan suku bunga acuannya.
Bank sentral AS (The Fed) pada Rabu malam mengumumkan kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate) sebesar 25 basis poin (Bp) ke 0,25%-0,5%. Ini merupakan kenaikan pertama kali sejak 2018.
Sepanjang pekan rupiah melemah, yakni sebesar 0,74% (105 poin) atau berbalik dari sepekan sebelumnya yang masih menguat 0,45%, ke Rp 14.235/dolar AS.
Kenaikan suku bunga dilakukan di tengah inflasi Februari sebesar 7,9% yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, yang berimbas pada aksi berburu kupon obligasi pemerintah AS, yang kian menarik mengikuti tren penguatan imbal hasil (yield) US Treasury di pasar sekunder.
Depresiasi rupiah tak terelakkan karena dolar AS terkerek di tengah aksi pemodal global memburu surat berharga milik negara Adidaya tersebut, ketimbang instrumen serupa di negara berkembang.
Wajar saja, ketika suku bunga acuan AS tinggi, maka selisih imbal hasil (spread) obligasi pemerintah AS kian membesar terhadap obligasi negara berkembang, terutama di tengah premi risiko negara berkembang yang masih tinggi akibat bayang-bayang efek perang Ukraina.
Spekulasi perpindahan alokasi dari negara berkembang ke negara maju ini secara psikologis menekan kilau mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah.
Tiga indeks utama Wall Street selama sepekan kemarin mencatat kinerja terbaik sejak awal November 2020. Dow Jones melonjak 5,5% point-to-point (ptp), S&P naik 6,2% ptp, dan Nasdaq menguat 8,2% ptp.
Wall Street mendapat angin segar setelah diadakannya dialog antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping mengenai konflik di Ukraina. Keduanya ingin konflik segera berakhir. Hal ini yang kemudian diapresiasi oleh pasar.
Pada perdagangan hari Jumat (18/3/2022), indeks Dow Jones Industrial Average naik 274,17 poin atau 0,8% menjadi 34.754,93. Indeks S&P 500 menguat 51,45 poin atau 1,17% menjadi 4.463,12, dan indeks Nasdaq Composite naik 279,06 poin atau 2,05% ke level 13.893,84.
Biden dan Xi menekankan langkah diplomatik sebagai solusi konflik antara Rusia dan Eropa Timur. Pihak AS memberi peringatan kepada China agar tidak memberikan dukungan material untuk Rusia. Sementara China meminta aliansi NATO untuk membuka dialog dengan Rusia.
"Pembacaan dari pertemuan itu seperti yang diharapkan," ujar Art Hogan, kepala strategi pasar di National Securities di New York.
"Mengenai Rusia, Ukraina, pasar lebih positif pada berita dari front diplomatik daripada negatif pada eskalasi," tambahnya.
Dialog kedua negara poros ekonomi dunia menenangkan reli harga minyak. Ini tentunya jadi sentimen positif bagi pasar ekuitas. Sebab harga minyak yang terlampau tinggi meningkatkan risiko krisis energi yang akan memperlambat laju ekonomi. Terlebih lagi saat ini ekonomi dunia masih tahap pemulihan.
"Setidaknya untuk minggu ini minyak telah menemukan levelnya. Itu positif bagi pasar karena kenaikan harga minyak membebani pikiran konsumen sebagai indikator inflasi," kata Steve Sosnick, kepala strategi di Interactive Brokers di Greenwich.
Pekan depan, investor akan memantau kebijakan suku bunga bank sentral China (People Bank of China/PBoC) yang akan diumumkan pada Senin besok.
PBoC diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga pinjaman acuannya, di mana untuk tenor 1 tahun diperkirakan tetap di level 3,7% dan tenor 5 tahun tetap di 4,6%.
Selain itu, data inflasi Inggris periode Februari juga akan dirilis pada pekan depan, tepatnya pada Rabu pukul 14:00 WIB. Pasar memperkirakan inflasi Inggris akan kembali melonjak seiring melesatnya harga komoditas energi pada akhir bulan lalu.
Data flash reading aktivitas manufaktur yang tercermin pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode Maret juga akan dirilis. Adapun negara-negara yang akan merilis data flash reading PMI manufaktur yakni Australia, Jepang, Uni Eropa, Inggris, dan AS.
Investor juga masih akan memantau perkembangan terbaru dari seputaran konflik antara Rusia dengan Ukraina pada pekan depan, di mana konflik keduanya masih memanas meski perundingan damai sudah dilakukan berulang kali.
Konflik kedua negara di Eropa Timur tersebut mempengaruhi harga komoditas energi seperti minyak mentah, gas alam, dan batu bara. Akan sensitif terhadap pemulihan ekonomi dunia.
Gerak IHSG pekan ini dirasa akan volatil mengingat minimnya sentimen dalam negeri. Perkembangan konflik di Eropa masih akan jadi fokus investor karena kaitannya dengan laju inflasi yang mempengaruhi kebijakan moneter di berbagai negara.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Loan Prime Rate China (08.15 WIB)
- Indeks Harga Produsen Jerman per Februari 2022 (14.00 WIB)
- Pidato Presiden Bank Sentral Eropa (14.30 WIB)
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
- IPO BIKE (09.00 WIB)
- Ex date dividen tunai BMRI
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY) | 3,69% |
Inflasi (Februari 2022, YoY) | 2,06% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | -4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021) | 0,30% PDB |
Cadangan Devisa (Februari 2022) | US$ 141,4 miliar |