Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses ditutup di zona hijau Senin (14/3/2022). Terus masuknya dana asing pada perdagangan menjadi penopangnya.
Berbeda nasib, rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin. Padahal sebelumnya, mata uang garuda ini sempat menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menguat pada pekan lalu.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG berakhir di level 6.952,20 atau lompat 0,43%. Ini merupakan level penutupan tertinggi sepanjang sejarah IHSG.
Sebanyak 239 saham menguat. Sementara 290 lain melemah dan 160 sisanya flat.
Nilai perdagangan tercatat senilai Rp 15 triliunan dengan melibatkan 22 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Investor asing kali ini mencetak pembelian bersih (net buy), senilai Rp 1,3 triliun.
IHSG sukses menghijau di tengah bursa Asia yang galau. Bahkan beberapa indeks saham di kawasan Asia terpantau kebakaran seperti Hang Seng yang drop hampir 5% dan Shanghai Index yang terkoreksi 2,6%.
Pasar menyambut positif perkembangan yang ada terkait dengan perang Ukraina-Rusia. Di mana kedua belah pihak akan kembali bertemu untuk negosiasi syarat perdamaian atau gencatan senjata, di tengah makin meningkatnya tekanan Blok Barat terhadap ekonomi Rusia.
Sementara, melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan Senin dengan stagnan di Rp 14.300/US$. Tidak lama rupiah langsung masuk ke zona merah dan tertahan hingga penutupan perdagangan.
Rupiah sempat melemah hingga 0,25%, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.330/US$ atau melemah 0,21%. Semua mata uang utama Asia melemah pada kemarin, di mana hingga pukul 15:03 WIB, baht Thailand menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,42%.
Perang Rusia dengan Ukraina masih menjadi salah satu penggerak utama pasar mata uang. Selain itu, perhatian di pekan ini tertuju pada pengumuman kebijakan moneter bank sental AS (The Fed) dan Bank Indonesia (BI).
The Fed akan mengumumkan kebijakan moneternya pada Kamis (17/3) dini hari waktu Indonesia. BI akan menyusul di hari yang sama pada pukul 14:00 WIB.
Ketua The Fed, Jerome Powell, saat ini mendukung kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin. Tapi, ia membuka peluang lebih agresif jika inflasi terus menanjak.
"Kami akan berhati-hati saat mempelajari implikasi perang di Ukraina terhadap perekonomian. Kamu memiliki ekspektasi inflasi akan mencapai puncaknya kemudian turun di tahun ini. Jika inflasi malah semakin tinggi atau lebih persisten, kami akan bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih agresif dengan menaikkan suku bunga lebih dari 25 basis poin pada satu atau beberapa pertemuan," kata Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS, pada Rabu (2/3).
Tren kenaikan inflasi di AS memang masih terus berlanjut. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, bahkan menyatakan inflasi masih akan terus menanjak dalam waktu yang cukup lama.
"Saya pikir banyak ketidakpastian yang terkait dengan perang Rusia dengan Ukraina. Dan saya pikir itu akan mempertajam inflasi. Saya tidak mau membuat prediksi apa yang akan terjadi di semester II tahun ini. Kita kemungkinan akan melihat inflasi yang sangat tinggi dan tidak membuat nyaman," kata Yellen sebagaimana diwartakan CNBC International.
Alhasil, risiko The Fed akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunga semakin menguat.
Sepekan sebelum pengumuman kebijakan moneter The Fed, para spekulan sudah mulai memborong dolar AS. Hal ini terlihat dari laporan Commodity Futures Trading Commission (CFTC) Jumat pekan lalu yang menunjukkan posisi net long dolar AS meningkat menjadi US$ 5,44 miliar pada pekan yang berakhir 8 Maret.
Nilai tersebut mengalami kenaikan dari pekan sebelumnya US$ 5,12 miliar yang merupakan level terendah sejak Agustus 2021.
Posisi net long tersebut merupakan kontrak dolar AS melawan yen, euro, poundsterling, franc, dolar Australia dan Kanada. Sementara posisi kontrak yang lebih luas termasuk melawan mata uang emerging market, net long dolar AS senilai US$ 3,88 miliar, naik tipis dari pekan sebelumnya US$ 3,84 miliar.
Hal ini menunjukkan mata uang emerging market masih cukup menarik perhatian para spekulan, khususnya negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia. Terbukti, nilai tukar rupiah masih cukup stabil meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, dan terjadi perang Rusia dengan Ukraina.
Indeks saham utama AS alias Wall Street sebagian besar ditutup melemah pada Senin waktu setempat. Indeks teknologi Nasdaq memimpin penurunan dengan lebih dari 2%.
Ini terjadi lantaran investor melego saham-saham teknologi dan pertumbuhan menjelang pertemuan bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) minggu ini dan adanya perkiraan kenaikan suku bunga.
Selain soal rencana kenaikan suku bunga The Fed, perkembangan konflik Ukraina-Rusia menambah kehati-hatian investor setelah delegasi Rusia dan Ukraina mengadakan pembicaraan putaran keempat pada Senin kemarin, tetapi tidak ada kemajuan yang diumumkan atas pertemuan tersebut.
Nasdaq Composite yang berbasis saham-saham teknologi anjlok 2,04% ke posisi 12.581,22. Sementara Indeks S&P 500 merosot 0,74% ke level 4.173,11 sedangkan Dow Jones Industrial Average berakhir datar, naik sekitar 1 poin ke 32.945,24.
The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya dalam 3 tahun belakangan pada Rabu minggu ini waktu AS dalam upaya untuk memerangi kenaikan inflasi di Negeri Paman Sam tersebut.
"Kami melihat rotasi itu ke [sektor saham] nilai dan menjauh dari [sektor saham] pertumbuhan, dan hal itu terutama sekali terkait dengan apa yang terjadi pada suku bunga," kata Paul Nolte, manajer portofolio di Kingsview Investment Management di Chicago kepada Reuters.
"Pasar saham akan mendapatkan tantangan ke depan, dan hari ini adalah contoh lain dari itu," imbuh Paul.
Saham produsen smartphone iPhone, Apple Inc, amblas 2,7% dan turut membebani indeks S&P 500 dan Nasdaq setelah pemasoknya Hon Hai Precision Industry Co Ltd, yang dikenal sebagai Foxconn, menghentikan operasi di Shenzhen China di tengah meningkatnya kasus COVID-19.
Secara sektoral, sektor saham teknologi dan consumer discretionary adalah pemberat terbesar pada indeks S&P 500.
Sebagaimana diketahui, suku bunga acuan yang lebih tinggi bersifat negatif untuk saham perusahaan teknologi dan pertumbuhan. Ini karena valuasi keduanya lebih bergantung pada arus kas masa depan atawa future cash flows.
Sementara, indeks saham sektor energi merosot 2,9%, seiring minyak mentah jenis Brent turun di bawah US$110 per barel, seminggu setelah naik setinggi US$139 di tengah krisis Ukraina.
Sebelumnya, harga minyak dan komoditas lainnya melonjak menyusul sanksi keras Barat terhadap Rusia.
Investor juga saat ini berfokus pada The Fed, yang diperkirakan akan menaikkan target suku bunga sebesar 25 basis poin dari sebelumnya nol pada pertemuan Rabu waktu AS atau Kamis dini hari WIB.
Selain itu, investor juga akan menyimak pemaparan bank sentral soal perkiraan teranyar untuk suku bunga, inflasi dan ekonomi AS, mengingat ketidakpastian dari ketegangan geopolitik yang meningkat.
"Saat ini, The Fed diperkirakan akan berhati-hati dalam hal kebijakan suku bunga pada 2022, mengingat konflik di Ukraina," Lindsey Bell, kepala pasar dan ahli strategi uang di Ally, dikutip CNBC International.
"Konflik tersebut menambah kompleksitas pada pekerjaan Fed yang sebelumnya sudah sulit. Bank sentral kemungkinan akan tetap bergantung pada data karena membuat keputusan suku bunga sepanjang tahun," imbuh Lindsey.
Dengan perkembangan konflik di Ukraina sebagai latar belakang, investor hari ini juga akan menyimak sejumlah rilis data ekonomi makro dari sejumlah negara, termasuk Tanah Air. Dari dalam negeri, pada pukul 11.00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Februari 2022.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan, nilai ekspor bulan lalu naik 39,17% dari Februari (year-on-year/yoy). Sementara impor diperkirakan tumbuh 38,53% yoy.
Dengan perkiraan tersebut, neraca perdagangan diprediksi surplus US$ 1,8 miliar di Februari. Surplus tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan yang tercatat pada Januari 2022 yakni US$ 932,9 juta ataupun Desember 2021 (US$1,01 miliar).

Kenaikan surplus neraca perdagangan di Februari sudah tercermin dalam cadangan devisa. Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa di akhir Februari 2022 sebesar US$ 141,4 miliar, naik US$ 100 juta dibandingkan dengan akhir Januari lalu.
Jika neraca perdagangan kembali mencatatkan surplus pada Februari, artinya Indonesia sudah membukukan surplus neraca perdagangan sejak April 2020 atau selama 22 bulan terakhir.
Sejumlah ekonom menjelaskan neraca perdagangan Februari akan sangat terbantu oleh kembali dibukanya keran ekspor batu bara. Sebagaimana diketahui, pemerintah sempat melarang ekspor batu bara di bulan Januari untuk memastikan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki pasokan batu bara sebagai bahan bakar pembangkitnya.
Selain dipicu harga, ekspor batu bara juga diyakini meningkat dari sisi volume karena meningkatnya permintaan sejalan dengan pemulihan ekonomi dunia. "Permintaan dari China meningkat seiring dengan kembali ekspansifnya manufaktur negara tersebut," tutur ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman.
Data Penting dari Britania Raya dan AS
Para pelaku pasar global juga bakal mencari petunjuk dari publikasi data ekonomi, misalnya, dari Britania Raya.
Pada pukul 14.00 WIB, akan ada data pengangguran Britania Raya per Januari 2022. Konsensus ekonomi memprakirakan, tingkat pengangguran di negeri Ratu Elizabeth II tersebut akan turun menjadi 4% per Januari 2022.
Sebelumnya, tingkat pengangguran Inggris mencapai 4,1% pada kuartal keempat tahun 2021, berada di level terendah sejak kuartal kedua tahun 2020.

Selain data tingkat pengangguran, data lainnya, yakni penerima tunjangan pengangguran (Claimant Count Change), juga akan disimak investor.
Prediksi ekonom yang dihimpun Tradingeconomics menyebut, Jumlah orang yang mengklaim tunjangan pengangguran di Inggris akan menurun sebesar 25 ribu pada Februari 2022.
Asal tahu saja, Claimant Change berguna juga untuk menyajikan data jumlah orang yang menganggur di Inggris.
Tidak ketinggalan, investor, terutama di AS, akan menyimak data indeks harga produsen (producer price index/PPI) AS per Februari 2022 pada 19.30 WIB.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Risalah pertemuan The Reserve Bank of Australia/RBA (07.30 WIB)
Produksi industri China Jan-Feb (09.00 WIB)
Neraca dagang RI per Februari (11.00 WIB)
Tingkat pengangguran Britania Raya per Januari (14.00 WIB)
Data penerima tunjangan pengangguran (Claimant Count Change) Britania Raya per Februari (14.00 WIB)
Indeks sentimen ekonomi Jerman per Maret (17.00 WIB)
Indeks harga produsen (producer price index/PPI) AS per Februari (19.30 WIB)
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Pertumbuhan Ekonomi (2021 YoY) | 3,69% |
Inflasi (Februari 2022, YoY) | 2,06% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | -4,85% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (2021) | 0,30% PDB |
Cadangan Devisa (Februari 2022) | US$ 141,4 miliar |
Sumber: Berbagai sumber resmi, diolah
TIM RISET CNBC INDONESIA