Rusia vs Ukraina-Barat Makin Panas, Pasar Global Ambruk Lagi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Rabu (23/2/2022) secara mayoritas ditutup positif. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ditutup cerah sedangkan harga obligasi pemerintah ditutup melemah.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu kemarin, IHSG dibuka naik ke 6.878,625 dan kemudian ditutup di level 6.920,056 atau melesat 0,85%. IHSG pun kembali mencetak rekor tertinggi (all time high/ATH) barunya pada perdagangan kemarin, meski mayoritas saham merah yakni sebanyak 275 unit, sementara 251 lain menguat, dan 161 sisanya stagnan.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi indeks pada Rabu kemarin kembali meningkat menjadi Rp 13,4 triliun. Investor asing kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 862 miliar di pasar reguler.
Dari Asia, secara mayoritas bursa sahamnya mengalami penguatan, di mana indeks Shanghai Composite China memimpin penguatan bursa Asia. IHSG pun menjadi juara 2 di Asia pada perdagangan kemarin.
Hanya indeks saham Filipina, BSE Sensex India, dan Straits Times Singapura yang ditutup terkoreksi pada perdagangan Rabu kemarin. Sedangkan untuk indeks Nikkei Jepang pada Rabu kemarin tidak dibuka karena sedang libur memperingati Hari Ulang Tahun Kaisar.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Rabu.
Sedangkan untuk mata uang Tanah Air, yakni rupiah pada perdagangan kemarin juga mampu mengalahkan dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, rupiah ditutup menguat 0,18% ke level Rp 14.335/US$ di pasar spot.
Tak hanya rupiah saja, mayoritas mata uang Asia juga berbalik arah ke zona penguatan, di mana baht Thailand memimpin penguatan mata uang Asia terhadap sang greenback. Hanya dolar Hong Kong, yen Jepang, dan dolar Taiwan yang tertekuk dihadapan dolar AS sedangkan untuk ringgit Malaysia ditutup stagnan.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Rabu:
Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin ditutup melemah, menandakan bahwa investor melepas kepemilikan obligasi pemerintah RI kemarin. Hanya SBN bertenor 10, 25, dan 30 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan penurunan yield dan penguatan harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik turun 0,2 basis poin (bp) ke level 6,501%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun juga turun 0,3 bp ke level 7,244%, dan SBN berjangka waktu 30 tahun melemah 0,6 bp ke level 6,893%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Rabu:
Konflik antara Rusia-Ukraina masih cenderung panas hingga kemarin. Namun, investor global mulai mengabaikan sejenak dan memanfaatkan rendahnya harga aset berisiko untuk membelinya di harga rendah atau buy on dip, meski mereka cenderung tidak membelinya dalam jumlah yang besar.
Pada Selasa lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden memberikan sanksi kepada dua bank Rusia yakni bank VEB dan bank militer Rusia (PSB). Institusi finansial di AS tidak diizinkan untuk memproses transaksi ke dua bank tersebut.
Sanksi juga diberlakukan ke obligasi yang membuat Rusia tidak bisa lagi menjualnya ke Negara Barat. Beberapa individu Rusia juga diberikan sanksi oleh Biden.
Hal ini dilakukan setelah Rusia mengirim pasukannya ke wilayah Donestk dan Luhansk yang sebelumnya diakui kemerderdekaannya dari Ukraina oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Tak hanya di AS, Inggris pun juga menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap lima bank asal Rusia. Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson akan memberikan sanksi kepada Rossiya Bank, IS Bank, General Bank, Promsvyazbank dan Black Sea Bank.
Selain lima bank Rusia, Johnson juga akan memberikan sanksi kepada tiga individu Rusia dengan kekayaan bersih yang sangat tinggi, seperti Gennady Timchenko, Boris Rotenberg, dan Igor Rotenberg.
Eskalasi tensi geopolitik yang membuat harga minyak mentah dunia melesat dan membuat posisi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan kebijakan moneter kedepannya bakal semakin rumit. Kenaikan harga minyak mentah bisa memicu inflasi serta pelambatan ekonomi.
"Kenaikan harga minyak mentah membuat situasi semakin rumit. Ada skenario pertumbuhan ekonomi akan terpukul secara substansial. Ada skenario kenaikan harga tidak akan memberikan dampak yang besar ke ekonomi juga mendorong inflasi," kata Bruce Kasman, kepala ekonom JP Morgan, sebagaimana dilansir CNBC International.
Kasman memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga 25 bp di bulan depan, tetapi akan diikuti 6 kali kenaikan lagi. Pasar juga kini melihat kenaikan sebesar 25 bp paling mungkin dilakukan.
Ekspektasi tersebut berubah dari sebelumnya 50 bp. Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group Rabu pagi, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 71,2% suku bunga akan dinaikkan sebesar 25 bp. Pada pekan lalu probabilitasnya bahkan mencapai 100%.
Padahal hanya tujuh hari sebelumnya, pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga 50 bp dengan probabilitas lebih dari 90%.
(chd/chd)