Pasar Saham Global Terguncang Rusia, Hati-hati IHSG!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Selasa (22/2/2022) secara mayoritas ditutup negatif. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ditutup melemah sedangkan harga obligasi pemerintah ditutup beragam.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa kemarin, IHSG dibuka naik ke 6.879,819 dan kemudian ditutup di level 6.861,994 atau melemah 0,59%. Mayoritas saham merah yakni sebanyak 365 unit, sementara 176 lain menguat, dan 138 sisanya flat.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi indeks pada Selasa kemarin naik tipis menjadi Rp 12,8 triliun. Investor asing kembali melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 727 miliar di pasar reguler.
Dari bursa Asia, hampir seluruhnya mengalami koreksi di mana indeks Hang Seng Hong Kong memimpin pelemahan bursa Asia kemarin. Hanya indeks saham Filipina saja yang ditutup menguat pada perdagangan kemarin, yakni menguat 0,93%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Selasa:
Sedangkan untuk mata uang Garuda, yakni rupiah pada perdagangan Selasa kemarin juga ditutup melemah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% ke Rp 14.340/US$. Setelahnya rupiah sempat menguat 0,1% ke Rp 14.310/US$ sebelum berbalik melemah ke Rp 14.370/US$.
Di penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di Rp 14.361/US$, rupiah melemah 0,25% di pasar spot.
Tak hanya rupiah saja, mayoritas mata uang Asia melemah pada perdagangan kemarin. Hingga penutupan perdagangan Selasa, hanya yuan China, won Korea Selatan, peso Filipina, dan dolar Singapura yang mampu mengalahkan sang greenback
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Selasa (22/2/2022).
Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin ditutup bervariasi, menandakan bahwa sikap investor di pasar obligasi pemerintah juga cenderung beragam.
Di SBN bertenor satu, tiga, dan 10 tahun, investor cenderung melepasnya ditandai dengan pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield).
Sedangkan di SBN berjatuh tempo 15, 25, dan 30 tahun ramai diburu oleh investor ditandai dengan penguatan harga dan penurunan yield.
Adapun untuk SBN berjangka waktu 5 dan 20 tahun cenderung tidak berubah alias stagnan. Melansir data dari Refinitiv,SBN bertenor 5 tahun stagnan di level 5,338% dan SBN berjatuh tempo 20 tahun flat di level 6,91%.
Sedangkan untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik naik 0,9 basis poin (bp) ke level 6,503%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa (22/2/2022).
Eskalasi tensi konflik antara Rusia-Ukraina turut membuat para investor global kembali was-was. Hal ini terlihat dari kompaknya aksi jual (sell-off) di mayoritas bursa saham utama dunia pada perdagangan kemarin.
Investor terus memantau ketegangan geopolitik yang turut membuat pasar kembali bergejolak. Presiden Rusia, Vladimir Putin pada Senin malam waktu setempat mengumumkan telah mengakui kemerdekaan dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina, yakni Donetsk dan Luhansk.
"Saya menganggap perlu untuk membuat keputusan yang seharusnya sudah dibuat sejak lama untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin sebagaimana diwartakan CNBC International.
Putin juga mengerahkan pasukannya ke wilayah tersebut untuk "menjaga perdamaian".
"Dari laporan, saya pikir kita sudah dapat mengatakan bahwa Putin telah mengirim tank dan pasukan. Dari situ dapat disimpulkan bahwa invasi ke Ukraina telah dimulai," kata Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid dikutip CNBC International, Selasa (2/2/2022).
Meski demikian, Presiden AS Joe Biden belum menggunakan kata 'invasi' untuk langkah yang dilakukan Rusia.
Sebelumnya, AS langsung menanggapi langkah Putin tersebut. Jen Paski salah satu pejabat di Gedung Putih mengatakan Presiden AS, Joe Biden, akan menandatangani perintah eksekutif yang melarang investasi, perdagangan dan pembiayaan oleh warga AS atau sebaliknya dari wilayah Donetsk dan Luhansk.
Sanksi yang diberikan tersebut tentunya bisa memanaskan hubungan AS dengan Rusia, belum lagi negara-negara Eropa yang kemungkinan akan mengambil langkah serupa.
Sementara itu, duta besar China untuk PBB menyerukan semua pihak yang terkait dalam krisis Ukraina untuk menahan diri dan menghindari tindakan apa pun yang dapat memicu ketegangan.
Hal ini bisa membuat tensi geopolitik masih mengalami eskalasi yang membuat sentimen pelaku pasar makin memburuk.
(chd)