Newsletter

Akankah IHSG Cetak "All Time High" Baru Lagi, Tembus 7.000?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
21 February 2022 06:10
Ekspresi Trader di lantai bursa amerika di New York Stock Exchange (NYSE) di New York City, AS, 12 November 2018. REUTERS / Brendan McDermid
Foto: Ekspresi Trader di lantai di New York Stock Exchange (NYSE) di New York City, AS, 12 November 2018. REUTERS / Brendan McDermid

Beralih ke AS, kinerja bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau mengecewakan, karena sentimen global yang masih cenderung negatif baik dari ketegangan politik Rusia-Ukraina atau pengetatan kebijakan moneter The Fed.

Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 1,41%, S&P 500 merosot 1,2%, dan Nasdaq Composite ambruk 1,76%.

Pada perdagangan Jumat pekan lalu, ketiga indeks utama di Wall Street tersebut juga ditutup terkoreksi. Dow Jones melemah 0,68% ke level 34.079,18, S&P 500 merosot 0,72% ke 4.348,90, dan Nasdaq ambrol 1,23% ke 13.548,07.

Pasar di AS masih merespons negatif dari ketegangan antara Rusia dengan Ukraina, di mana ketegangan politik kedua negara tersebut masih terjadi meski pejabat Rusia menyebut akan menarik pasukkannya dari Ukraina dan "latihan militer" yang dilakukan di perbatasan Ukraina telah selesai.

Bahkan, media yang dikendalikan pemerintah Ukrainia dan Rusia pada Jumat lalu saling melempar tuduhan mengenai pelanggaran kesepakatan gencatan senjata.

Ukraina pada Kamis lalu menuduh kelompok separatis pro-Rusia menyerang desa di perbatasan. Sementara di AS, Menteri Luar Negeri Antony Blinken di depan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai situasi di Ukraina adalah "momen yang berbahaya."

"Pasar cenderung bereaksi berlebih merespons kejadian geopolitis," tutur analis Credit Suisse Andrew Garthwaite dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.

Selain dari ketegangan geopilitik yang belum mereda, investor juga merespons negatif dari pernyataan Presiden The Fed St. Louis James Bullard, yang menilai aksi The Fed kedepannya akan lebih agresif, mengingat bahwa inflasi bisa tak terkendali jika tidak ada kenaikan suku bunga acuan.

Risalah juga menunjukkan para pejabat melanjutkan pertimbangan mereka tentang seberapa agresif kebijakan untuk mengecilkan portofolio aset US$ 9 triliun mereka, tetapi tidak memberikan banyak petunjuk baru tentang bagaimana hal itu mungkin terjadi akhir tahun ini.

Langkah tersebut merupakan cara lain bagi The Fed untuk memperketat kondisi keuangan guna mendinginkan perekonomian.

Di lain sisi, dari data ketenagakerjaan, di mana Departemen Tenaga Kerja merilis klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 Februari, yakni berada di angka 248.000, atau sedikit lebih buruk dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 218.000.

Selain itu, Departemen Tenaga Kerja AS juga merilis data penjualan harga grosir periode Januari 2022 pada pekan lalu, di mana data ini melonjak 1% dan mendorong kenaikan secara tahunan sebanyak 9.7%.

Adapun penjualan ritel Negeri Paman Sam pada Januari tercatat melonjak 3,8% atau jauh lebih baik dari ekspektasi pasar yang memprediksikan adanya kenaikan sebesar 2,1%, setelah sempat merosot 1,9% di Desember.

(chd/chd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular