Newsletter

Sentimen Negatif Menyelimuti, Mampukah IHSG Bertahan?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
26 January 2022 06:25
federal reserve
Foto: Reuters

Berbagai sentimen negatif baik dari luar maupun dalam negeri berpotensi menekan laju IHSG hari ini.

Pertama, ketidakpastian dari kebijakan moneter The Fed yang akan diumumkan Kamis dini hari waktu Indonesia. 

Goldman Sachs memproyeksikan kenaikan sebanyak 4 kali tahun ini. Namun, bank investasi ini melihat ada risiko bahwa kenaikan suku bunga akan lebih banyak dari itu karena lonjakan inflasi.

Kenaikan suku bunga di AS bisa berdampak pada aliran dana asing yang keluar dari Indonesia. Diperkirakan akan ada sedikit goncangan di pasar keuangan Indonesia. Walaupun tidak separah yang terjadi pada tahun 2013, karena fundamental ekonomi Indonesia yang lebih kuat.

Maka dari itu investor diperkirakan akan bersikap wait and see menunggu pertemuan The Fed selesai untuk mendapatkan sinyal agenda kenaikan suku bunga AS.

Kedua, Investor juga mulai mencermati perkembangan di Benua Biru di mana potensi terjadinya konflik militer lumayan tinggi akibat perseteruan antara Ukraina dan Russia. Ketegangan geopolitik menambah ketidakpastian investor.

Ketiga, bursa AS rontok pada perdagangan kemarin jadi sinyal negatif bagi pasar saham Asia dan Indonesia. Ini karena bursa saham Paman Sam tersebut adalah kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street anjlok, ada kecenderungan IHSG ikut ambruk.

Keempat, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi perkiraan ekonomi global, AS, dan China menjadi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.

Gita Gopinath, pejabat tinggi IMF mengatakan proyeksi pertumbuhan global tahun 2022 sebesar 4,4%, turun 0,5 basis point (bps) dari perkiraan sebelumnya. Ini karena penurunan proyeksi untuk AS dan China. Covid-19 dengan varian barunya masih jadi beban bagi pertumbuhan ekonomi global karena dampaknya yang sistemik.

Ekonomi AS diperkirakan tumbuh sebesar 4% pada tahun 2022 setelah tumbuh 5,6% pada tahun 2021. Proyeksi ini turun 1,2 bps dari perkiraan sebelumnya. IMF menurunkan proyeksi China sebesar 0,8 bps menjadi 4,8% pada tahun 2022 setelah pertumbuhan 8,1% pada tahun 2021.

Pertumbuhan ekonomi AS dan China yang melambat akan berpengaruh ke Indonesia. Sebab kedua negara adidaya tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia. Peran China dan AS terhadap ekspor Indonesia masing-masing sebesar 23,24% dan 11,68%. Sedangkan untuk impor perannya masing-masing 32,5% dan 5,08%.

Dari dalam negeri, perkembangan Covid-19 tak luput dari perhatian investor. Masalahnya Covid-19 di Indonesia dalam tren menanjak.

Angka kasus positif harian Covid-19 bertambah 4.878 kasus terkonfirmasi kemarin. Ini merupakan tambahan kasus tertinggi sejak September 2021.

Biang keladi kenaikan kasus harian Covid-19 Indonesia adalah Omicron. Hingga Selasa (25/1/2021) secara kumulatif, ada 1.665 kasus konfirmasi Omicron ditemukan di Indonesia.

Hal ini akan membuat investor cemas terhadap pemerintah yang bisa sewaktu-waktu menarik rem darurat saat kasus Covid-19 semakin melesat.

Akibatnya ekonomi akan menjadi lesu dan membuat ekspektasi kinerja keuangan emiten-emiten menjadi turun. Tentu saja hal ini menjadi sentimen negatif bagi aset berisiko seperti saham.

Namun, kabar dari dalam negeri tidak gelap-gelap amat. Industri kendaraan bermotor roda dua mulai bergairah pada tahun 2022, tercermin dari penjualan domestik yang mencapai 5.057.516 unit. Jumlah ini naik 38% dibandingkan dengan tahun 2020 yang terjual 3.660.616 unit.

Ini menjadi indikator konsumsi masyarakat Indonesia yang kembali pulih pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2020. Konsumsi sendiri adalah penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusinya sebesar 53,09% terhadap PDB Indonesia.

(ras/vap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular