Newsletter

Investor Cash Out, Wall Street Kebakaran Gan! IHSG Piye?

Putra, CNBC Indonesia
14 January 2022 06:35
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air kebanjiran dana hingga pekan kedua Januari 2022. Namun inflow besar-besaran tersebut belum cukup kuat membuat aset keuangan domestik menunjukkan kinerja yang positif.

Di pasar saham, investor asing telah mencatatkan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 3,37 triliun. Namun di pasar obligasi pemerintah (SBN), asing justru melepas kepemilikannya di surat berharga negara tersebut.

Meskipun ada inflow besar di pasar saham, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya menguat tipis 0,08% dalam seminggu terakhir.

Kemarin (13/1) IHSG ditutup menguat 0,17% di level 6.658,36. Asing net buy Rp 587,9 miliar di seluruh pasar. Di sepanjang perdagangan, IHSG cenderung bergerak di zona merah.

Namun dalam satu jam terakhir jelang penutupan, IHSG rebound dan berhasil menutup perdagangan dengan apresiasi.

Sementara itu di pasar SBN, harga obligasi pemerintah untuk tenor 10 dan 20 tahun cenderung menguat. Investor kembali memburu tenor jangka panjang setelah bos The Fed Jerome Powell memberikan testimoninya di depan Senat AS.

Dalam kesempatan tersebut, Jay Powell memberikan gambaran bahwa bank sentral AS siap untuk menaikkan suku bunga acuan untuk menjinakkan inflasi yang naik tinggi.

Untuk diketahui, inflasi AS di bulan Desember 2021 tercatat naik 7% year-on-year (yoy) dan menjadi kenaikan tertinggi dalam 4 dekade terakhir.

Namun kenaikan inflasi tersebut sudah diantisipasi oleh pasar sehingga tekanan di pasar keuangan cenderung mereda untuk jangka pendek dalam beberapa hari perdagangan terakhir.

Beralih ke pasar valuta asing (valas), banjir dana asing di pasar keuangan RI terutama di pasar ekuitas membuat kinerja rupiah terdongkrak.

Di pasar spot, nilai tukar rupiah ditutup menguat 0,17%. Kemarin untuk US$ 1 dibanderol di Rp 14.290/US$.

Akhirnya rupiah kembali turun ke bawah Rp 14.300/US$ setelah sempat mendekati Rp 14.300/US$ di pekan ini.

Menurut laporan riset MNC Sekuritas yang bertajuk Anticipating FFR Hikes : Favor Stock Over Bond, saham baik global maupun domestik cenderung tidak terlalu sensitif terhadap siklus kebijakan moneter the Fed jika dibandingkan dengan obligasi pemerintah.

Sehingga wajar saja jika di Indonesia pun, aset keuangan yang diburu oleh investor asing justru saham bukan obligasi pemerintah.

Nasib apes harus kembali dirasakan oleh bursa saham New York. Tiga indeks saham acuannya harus ditutup dengan koreksi tajam.

Indeks Dow Jones Industrial melemah 0,49%. Kinerja indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite lebih mengecewakan lagi. Kedua indeks tersebut masing-masing anjlok lebih dari 1% dan 2,5% dini hari tadi.

Pergerakan saham terutama saham-saham teknologi di AS sangat volatil sejak awal tahun 2022. Setelah sempat menguat dalam 3 hari perdagangan terakhir, harga saham-saham teknologi kembali berguguran.

Investor cenderung cash out untuk saat ini. Lagi-lagi pergerakan harga aset keuangan masih dibayangi dengan arah kebijakan moneter the Fed yang lebih ketat ke depan.

Jika di tahun 2021 saham teknologi menjadi primadona, kini justru banyak dilego investor. Seperti yang sudah diketahui bersama, saham teknologi memang sangat sensitif di tengah siklus pengetatan yang dilakukan otoritas moneter AS.

Aksi profit taking dari saham-saham teknologi di Wall Street juga disampaikan oleh Peter Boockvar dari Bleakly Advisory Group.

"Ketika the Fed tak bersahabat, investor akan cenderung menjual [saham] setelah reli," kata Peter.

Meskipun harga saham di bursa New York berguguran, sejatinya kinerja keuangan di kuartal IV diperkirakan bakal moncer.

Musim rilis laporan keuangan akan dimulai pada pekan ini. Emiten perbankan menjadi yang pertama dijadwalkan untuk mempublikasikan kinerja keuangannya.

Analis memperkirakan laba emiten di kuartal IV-2021 bisa naik 22,4%. Namun analis menilai kunci utama yang bakal menjadi penggerak pasar lebih condong pada guidance dan proyeksi di tahun 2022.

Dari rilis data ekonomi, sentimen kurang sedap yang menjadi pemberat harga aset berisiko seperti saham datang dari laporan sektor ketenagakerjaan di AS.

Data klaim tunjangan pengangguran tercatat mencapai 230 ribu, lebih tinggi dari perkiraan pasar di angka 200 ribu.

 

Melihat Wall Street yang kebakaran, tentu bukanlah kabar baik bagi pasar keuangan Asia yang bakal buka hari ini.

Meskipun harga saham AS berjatuhan, harga obligasi pemerintahnya cenderung naik. Hal ini tercermin dari penurunan yield US Treasury 10 tahun yang ditutup di bawah 1,7%.

Analis menilai bahwa penurunan yield akan cenderung temporer. Ke depan yield akan naik lagi. Bahkan untuk obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun bisa mencapai 2%. Hal tersebut disampaikan oleh Senior Economist UBS Brian Rose.

Saat suku bunga naik, banyak yang menilai berinvestasi di saham masih menjadi salah satu pilihan. Namun secara sektoral, perlu ada rotasi atau bahkan rebalancing.

Analis memandang bahwa saham-saham di sektor perbankan dan siklikal bakal diuntungkan. Lebih lanjut, analis melihat saham-saham yang berbasis value (value stock) bakal lebih menarik daripada growth stock seperti saham teknologi.

Apabila The Fed benar-benar agresif dalam menaikkan suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) dan saham teknologi tertekan, maka tahun 2022 akan menjadi kebalikan dari tahun 2021.

Jika tahun lalu return dari capital gain value stock kalah jauh dengan growth stock, tahun ini ramalannya kondisi akan berubah 180 derajat.

Di saat suku bunga naik, maka kinerja keuangan growth stock akan tertekan karena beban keuangan bakal menjadi lebih tinggi untuk ekspansi.

Di sisi lain, banyak growth stock terutama saham-saham teknologi yang masih 'bakar duit' sehingga bottom line minus alias rugi.

Kerugian tersebut dapat menjadi gambaran bahwa arus kas di masa mendatang yang dapat diperoleh investor cenderung masih kecil sehingga butuh waktu lebih lama untuk mencapai titik impas (breakeven) apalagi untuk mencetak laba, tentu waktu yang dibutuhkan lebih panjang lagi.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa untuk saat ini memegang saham-saham teknologi memiliki risiko yang lebih tinggi.

Dari dalam negeri hari ini akan ada beberapa rilis data ekonomi, mulai dari Prompt Manufacturing BI serta Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU).

Namun rilis kedua data tersebut tak akan terlalu berdampak pada pergerakan pasar karena untuk saat ini investor cenderung lebih memperhatikan sikap hawkish the Fed dan implikasinya terhadap aset keuangan.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data Indeks Harga Produsen Jepang bulan Desember 2021 (06.50 WIB)
  • Pengumuman Suku Bunga Acuan Korea Selatan (08.00 WIB)
  • Rilis data Perdagangan Internasional China bulan Desember 2021 (10.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51 %

Inflasi (Desember 2021, YoY)

1,87%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2021)

-4,65% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021)

1,50% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 144,9 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular