
Awas Investor, Faktor Ini Bisa Buyarkan Fenomena Santa Rally

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dan pasar modal bergerak variatif cenderung menguat pekan lalu di tengah pantauan investor atas perkembangan kasus Omicron. Pekan ini, volatilitas diprediksi meninggi dan memperkecil peluang terjadinya reli akhir tahun (Santa Clause Rally).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Jumat (17/12/2021) menguat tipis, sebesar 0,11%, ke 6.601,93. Namun sepanjang pekan, indeks acuan utama bursa tersebut terhitung terkoreksi 0,77% setelah pada pekan sebelumnya melesat 1,75%.
Total volume transaksi saham mencapai 117,01 juta atau lebih sepi ketimbang pekan sebelumnya yang mencapai 128,29 juta unit. Volume transaksi turun menjadi 6,55 juta kali (dari 6,61 juta kali) dan nilai transaksi drop menjadi Rp 62,6 triliun dari pekan sebelumnya Rp 75,15 triliun.
Artinya, pelaku pasar memang sedang mengurangi agresivitas investasinya di pasar saham di tengah simpang-siur kabar mengenai efek Omicron terhadap perekonomian negara maju dan di Indonesia (setelah konfirmasi kasus pertama pada Kamis pekan lalu).
Pemodal asing juga bersikap sama. Di pasar saham, investor asing membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 2,12 triliun. Padahal, pekan sebelumnya tercetak pembelian bersih Rp 4,12 triliun.
Di sisi lain, kurs rupiah menguat 0,03% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepekan lalu, melanjutkan penguatan pada pekan sebelumnya yang mencatatkan apresiasi 0,17%. Pada Jumat lalu, US$ 1 setara dengan Rp 14.365 di pasar spot, atau melemah 0,17% hari itu.
Sementara itu di pasar obligasi, harga Surat Berharga Negara (SBN) cenderung bergerak variatif selama sepekan lalu tetapi cenderung terkoreksi. Mayoritas di antaranya mencetak penguatan imbal hasil (yield), yang menandakan terjadi aksi jual.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin (bp) setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari delapan seri SBN yang menjadi acuan pasar, enam di antaranya mencetak penguatan yield (alias harga yang melemah) dipimpin SBN seri FR0061 (tenor 1 tahun) yang melesat 39,7 bp menjadi 3,644%.
Yield SBN tenor 10 tahun (seri FR0087) yang menjadi acuan utama di pasar obligasi, menguat 10,4 bp menjadi 6,412%. Dua SBN dengan pelemahan yield adalah SBN seri 3 tahun dan 25 tahun, masing-masing sebesar 6,4 dan 0,6 bp.
Aksi jual di obligasi pada umumnya menandakan bahwa investor cenderung mengurangi posisi di aset defensif yang minim risiko (safe haven) tersebut, karena mereka menilai keuntungan di pasar saham lebih menjanjikan.
Mengingat HSG juga cenderung melemah sepekan lalu, terlihat bahwa investor asing belum cukup berani untuk masuk besar-besaran karena mengkhawatirkan risiko ekonomi, salah satunya karena penyebaran varian terbaru Covid-19, yakni omicron. Oleh karenanya, mereka cenderung memilih memegang dana tunai terlebih dahulu.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) pada Jumat pekan lalu ditutup di zona merah menyusul kekhawatiran akan kenaikan kasus Covid-19 AS akibat varian Omicron yang bisa mengganggu pemulihan ekonomi.
Indeks Dow Jones Industrial Average drop 1,5% menjadi 35.365,44 sementara S&P 500 turun 1% menjadi 4.620,64. Nasdaq tertekan paling tipis di antara ketiga indeks utama di Wall Street, sebesar 0,1% menjadi 15.169,68.
Secara mingguan, Nasdaq menjadi pemberat utama Wall Street setelah indeks utama berisi saham-saham teknologi tersebut ambruk nyaris 3% selama sepekan, jauh lebih parah dari koreksi Dow Jones dan S&P 500 yang pada periode sama tertekan masing-masing sebesar 1,7% dan 1,9%.
Koreksi saham teknologi dipimpin Microsoft yang meski dalam sehari Jumat pekan lalu hanya melemah 0,3%, tetapi selama sepekan ambruk nyaris 5,5%. Adapun saham Alphabet (induk usaha Google) dan Apple ambles lebih dari 4% sepanjang pekan.
Saham JPMorgan Chase ambles 2,3% setelah terkena denda senilai US$ 200 juta karena pelanggaran pencatatan "meluas", termasuk penggunaan aplikasi ilegal pemesanan saham dan gagal menjaga komunikasi.
Meningkatnya kasus Covid-19 AS dan kian agresifnya penyebaran Omicron memicu kekhawatiran bahwa ekonomi akan terganggu kembali, menyusul diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial.
Akibatnya, saham-saham sektor kesehatan kembali meraja. Produsen vaksin Moderna dan Pfizer mencetak reli mingguan masing-masing sebesar 14,7% dan 12,7% pada pekan lalu dan di barisan jawara pengangkat indeks S&P 500.
Di sisi lain, keputusan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan mempercepat laju pengurangan pembelian surat utang di pasar (tapering) menjadi momok bagi pasar. Terlebih rencana mereka menaikkan suku bunga acuan beberapa kali pada tahun depan,
"Ini merupakan pekan yang bergejolak, tidak hanya dalam hal aksi harga tetapi berita yang telah keluar," tutur analis Ventura Wealth Management, Tom Cahill, seperti dikutip CNBC International.
Sepanjang bulan berjalan, S&P 500 masih terhitung menguat 1,2% pada Desember ini. Adapun sepanjang tahun berjalan, indeks tersebut tercatat melesat 23%.
Jumat lalu merupakan periode kadaluwarsa kontrak opsi (option) dan kontrak berjangka (futures) saham dan indeks di Wall Street, yang terjadi secara kuartalan. Periode ini dijuluki sebagai "quadruple witching hour" atau "masa di mana kekuatan gelap memuncak" karena tingkat volatilitas pasar yang meninggi.
Sepekan jelang libur Natal, pasar berpeluang melihat kenaikan volatilitas di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di negara-negara maju yang memicu kebijakan pembatasan sosial (lockdown).
Volatilitas terjadi karena ketidakseragaman arah narasi terkait prospek ekonomi dan bisnis. Di satu sisi, pelaku pasar mendapati fakta bahwa Omicron terbukti tidak memicu gejala yang parah, di sisi lain pemerintah negara maju bersikap reaktif dengan melakukan lockdown.
Dalam konferensi pers pekan lalu, Menteri Kesehatan Afrika Selatan Joe Phaahla mengatakan bahwa hanya 1,7% dari kasus teridentifikasi Covid-19 yang dirujuk di rumah sakit selama 2 pekan terakhir.
Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat keparahan yang ditimbulkan oleh varian Delta, di mana nyaris seperlima atau 19% dari penderitanya harus dirawat di rumah sakit karena tingkat keparahan gejala infeksi.
Hal ini semestinya menjadi sentimen positif karena menunjukkan bahwa tingginya transmisi Omicron tak lantas berpeluang memicu lumpuhnya layanan kesehatan dan memicu problem pandemi yang lebih besar.
Namun demikian, bagi pelaku pasar, isunya bukan hanya di situ saja melainkan pada respons negara-negara di dunia, terutama negara maju. Jika tingkat keparahan kecil tetapi kebijakan lockdown diberlakukan dalam skala luas, maka tak ada alasan untuk memburu aset riskan di pasar saham.
Terbaru, Walikota London Sadiq Khan mengumumkan status "insiden besar" pada hari Minggu kemarin, menyusul lonjakan infeksi Covid-19 akibat varian Omicron. Dia mempertimbangkan untuk kembali memberlakukan lockdown.
"Jika tak memberlakukan pembatasan baru lebih cepat dan malah menunda-nunda, anda akan melihat lebih banyak kaus positif dan berpotensi membuat layanan publik seperti NHS [National Health Service] di jurang keambrukan, jika tidak ambruk saat itu juga," tuturnya kepada BBC, Minggu (19/12/2021).
Omicron merupakan varian virus corona yang paling mudah menular dibandingkan varian lain meski hanya menimbulkan gejala ringan. Di Indonesia, varian tersebut sudah terkonfirmasi pada pekan lalu, dan memicu kekhawatiran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Meski Desember identik dengan fenomena reli yang disebut Santa Claus rally, hal tersebut umumnya terjadi pada sepekan terakhir Desember dan pekan pertama Januari. Untuk tahun ini, volume yang tipis menjadi risiko pemberat arah Wall Street di akhir tahun.
Menurut Stock Trader's Almanac, secara historis reli terjadi dalam 5 hari perdagangan terakhir pada Desember dan dua hari pertama Januari. Jika hal tersebut tidak terjadi, maka pasar saham biasanya masuk periode bearish, tertekan setidaknya 10% dari reli tertinggi yang pernah diraih.
"Memasuki dua pekan terakhir tahun ini, kita melihat bahwa volume perdagangan menipis dan volatilitas juga meningkat," tutur Jeff Kleintop, Kepala Perencana Investasi Global Charles Schwab, seperti dikutip CNBC International.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Penetapan suku bunga acuan China (08:30 WIB)
- RUPSLB PT Zebra Nusantara Tbk (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Bank Bisnis Internasional Tbk (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Sarana Menara Nusantara Tbk (14:00 WIB)
- RUPSLB PT AKR Corporindo Tbk (16:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (November 2021, YoY) | 1,75% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | 5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,5% PDB |
Cadangan Devisa (November 2021) | US$ 145,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Likuiditas Dunia Masih Melimpah, Pasar Tengok Cadangan Devisa